imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$NICL LK Q1 2025: Laba Terbang Meskipun Harga Nikel Dunia Turun

Request dari salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Laporan keuangan Q1-2025 PT PAM Mineral Tbk (NICL) tampak seperti cerita perusahaan yang baru bangun dari tidur panjang lalu lari sprint sejauh satu kilometer tanpa ngos-ngosan. Dari sisi angka, lonjakannya luar biasa: penjualan meroket jadi Rp543,9 miliar, naik hampir 5 kali lipat dibanding kuartal yang sama tahun lalu yang cuma Rp116,8 miliar. Laba kotor ikut melonjak dari Rp43,2 miliar ke Rp291,8 miliar, dengan margin kotor yang melebar jadi 54%. Laba bersihnya lebih gila lagi: dari Rp12,2 miliar langsung loncat ke Rp193,1 miliar. Artinya, margin laba bersih sekitar 36%—dan itu bukan margin akal-akalan, tapi beneran masuk kas. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kunci cerita ini ada di dua kata: volume dan efisiensi. Tahun lalu NICL baru mulai jualan lagi, tapi sekarang sudah full speed ekspor. Volume penjualan diperkirakan sekitar 940 ribu ton bijih nikel kadar rendah (laterit saprolite <1,8% Ni), dengan harga jual rata-rata sekitar Rp580 ribu per ton atau US$34,5. Sementara biaya tunai (cash cost) untuk menggali, angkut, dan kirim cuma sekitar Rp233 ribu per ton alias US$13,9. Jadi tiap ton nikel menghasilkan selisih hampir US$20—dan itu yang bikin margin mereka setebal buku akuntansi. Ini bukan karena manipulasi laporan; seluruh transaksi dilakukan ke pihak ketiga, tanpa pihak berelasi, tanpa harga transfer. Bahkan, 91% penjualan hanya ke tiga pembeli: PT Marin Mitra Nusantara (67%), Xingda (13%), dan Longsen Metal (11%)—semuanya tercatat sebagai pembeli lokal, tapi beli dengan harga acuan ekspor (HPM).

Menariknya, meskipun seluruh penjualan tercatat sebagai "lokal", kenyataannya ore dikirim ke smelter-smelter di Morowali dan Konawe. Kontrak jual-beli menggunakan formula HPM + penyesuaian grade, artinya walau secara administratif “lokal”, secara ekonomi setara dengan ekspor. Dengan kurs Rp16.800/USD, revenue dalam rupiah makin montok, sementara banyak komponen biaya seperti kontraktor, royalti, dan gaji dibayar dalam rupiah. Efek kurs ini memperlebar gap antara revenue dan cost, bikin laba bersih tambah montok. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Struktur biaya mereka pun efisien. Biaya pokok didominasi oleh jasa kontraktor tambang (42%), biaya tongkang (26%), dan royalti (14%). Mereka juga punya terminal khusus sendiri, jadi tidak perlu sewa jetty—biaya logistik makin irit. Kontrak jasa tambang dengan PT Andalan Nusa Prakasa baru diteken Oktober 2024 dengan durasi 3 tahun, sehingga memberi kepastian harga untuk ekskavasi dan barging. Semua ini bikin cash cost mereka rendah banget. EBITDA per ton bisa tembus US$17–18, dengan margin yang tebal tapi masih rasional.

Dari sisi arus kas, ini bukan laba “kertas”. Arus kas dari operasi (CFO) di Q1-2025 tembus Rp253,7 miliar, bahkan lebih tinggi dari laba bersih. Capex minim (hanya Rp1 miliar), utang nyaris nol (sisa leasing Rp3 miliar), dan kas per akhir Maret sudah Rp479,5 miliar. Saldo laba belum dicadangkan pun sudah Rp403 miliar. Jadi kalau mau bagi dividen 30% dari estimasi laba FY25 (sekitar Rp770 miliar), bisa bagi Rp230 miliar alias Rp22 per saham. Dengan harga saham Rp600, dividend yield-nya sekitar 3,7%—dan itu belum termasuk potensi capital gain kalau market mulai melek.

Tapi pertanyaannya, apakah ini sustainable? Jawabannya tergantung dua tambang utama—Morowali dan Konawe—masih bisa jalan lancar. Cadangan terbukti di Morowali ada 5,46 juta ton, di Konawe 17,7 juta ton. Jadi total cadangan sekitar 23,2 juta ton—cukup untuk produksi 6-7 tahun ke depan kalau mereka jaga volume di atas 4 juta ton per tahun. Izin Morowali akan berakhir April 2025, jadi proses perpanjangan IUP harus diawasi ketat. Tapi izin Konawe masih panjang sampai 2034. Semua jaminan reklamasi sudah disetor, dan tidak ada sengketa yang aktif selain perkara jalan hauling yang bandingnya sudah dimenangkan NICL. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sekarang kita masuk ke valuasi. Dengan harga saham Rp600 dan saham beredar 10,635 miliar lembar, market cap NICL sekitar Rp6,38 triliun. Dengan posisi kas Rp479,5 miliar, nilai enterprise (EV) mereka sekitar Rp5,9 triliun. EPS kuartalan 18,1 rupiah; kalau disetahunkan (×4) jadi 72,5 rupiah. Maka, PER forward sekitar 8,3×—masih wajar untuk tambang dengan margin tebal dan kas segede itu. EBITDA kuartalan sekitar Rp262 miliar, jadi EV/EBITDA forward sekitar 5,6×. Tapi yang menarik adalah PBV-nya. Dengan ekuitas Rp1,071 triliun dan BVPS Rp100,7, harga Rp600 mencerminkan PBV 5,96×. Jadi pasar sedang menghargai mereka bukan sebagai perusahaan tambang biasa, tapi sebagai cash machine yang repeatable—selama semuanya berjalan sesuai rencana.

NICL sedang menikmati puncak performa. Mereka jual ore dengan harga ekspor, cost-nya rendah, margin-nya gila, cash masuk besar, dan neraca bersih tunai. Satu-satunya risiko ada di perpanjangan izin tambang Morowali dan fluktuasi harga nikel global. Tapi kalau dua hal itu aman, ini bukan sekadar hasil instan—tapi model bisnis yang sedang tancap gas. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kalau ada satu hal yang bisa mengganggu “bulan madu” NICL, itu bukan mantan pacar, tapi regulasi dan harga nikel dunia. Di atas kertas, NICL sedang berada di puncak performa: margin tebal, kas melimpah, utang nyaris nol, dan penjualan naik hampir lima kali lipat. Tapi seperti tambang-tambang lain di Indonesia, euforia ini bisa runtuh kalau satu saja variabel besar goyah—dan sayangnya, ada beberapa yang rawan.

Yang pertama dan paling krusial: izin tambang Morowali. IUP-nya akan kedaluwarsa pada 15 April 2025. Ini bukan sekadar dokumen administratif, tapi napas utama operasi mereka. Cadangan terbukti di lokasi ini sekitar 5,46 juta ton—dan sepanjang Q1-2025, diperkirakan hampir separuh volume penjualan datang dari tambang ini. Kalau perpanjangan IUP molor, tertunda, atau lebih parah—ditolak, maka operasional langsung terganggu. Padahal, tambang Konawe (dengan 17,7 juta ton cadangan) meski lebih besar, secara logistik dan kontrak belum seoptimal Morowali. Artinya, kehilangan Morowali akan sangat menyakitkan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu, harga nikel dunia juga tak bisa diabaikan. Selama Q1-2025, NICL menjual bijih nikel dengan ASP sekitar US$34,5 per ton, sementara cash cost-nya sekitar US$13,9. Tapi semua itu terjadi karena Harga Patokan Mineral (HPM) dari pemerintah masih mendukung. Kalau harga nikel LME anjlok lebih dalam, HPM akan ikut turun. Dan karena royalti ditarik berdasarkan nilai jual, margin bersih juga otomatis kena potong. Kalau ASP misalnya turun US$5 per ton saja, margin EBITDA bisa turun lebih dari 20%.

Risiko ketiga adalah potensi perubahan kebijakan ekspor. Meskipun NICL menjual ke pembeli lokal, transaksi mereka mengikuti skema ekspor terselubung—ore dikirim ke smelter-smelter Morowali atau Konawe, dan harganya berdasarkan HPM USD. Tapi pemerintah Indonesia punya rekam jejak tiba-tiba melarang ekspor ore kadar rendah. Kalau kebijakan berubah—misalnya melarang penjualan bijih nikel ke smelter non-afiliasi atau memaksa nilai tambah lebih lanjut—game over. Model bisnis NICL yang sekarang bisa lumpuh dalam semalam.

Selain itu, monopoli pembeli juga cukup riskan. Dengan 91% penjualan dikunci hanya oleh tiga pembeli, daya tawar NICL sebenarnya sangat kecil. Kalau satu saja dari tiga perusahaan itu stop order atau minta renegosiasi harga, cashflow bisa langsung keteteran. Apalagi semua transaksi dilakukan dalam USD—kalau rupiah tiba-tiba menguat tajam, margin konversi juga bisa terkikis.

Lalu jangan lupakan resiko teknikal tambang dan cuaca. Selama ini biaya gali-angkut mereka sangat rendah karena tambang open pit dengan stripping ratio kecil. Tapi seiring waktu, makin dalam tambangnya, biaya naik. Jika nanti harus korek batuan keras atau lapisan overburden makin tebal, cash cost-nya bisa lonjak. Dan musim hujan di Sulawesi? Bisa bikin hauling dan barging mandek seminggu lebih. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi, meskipun sekarang NICL lagi wangi-wanginya—margin bersih 36%, kas Rp479 miliar, dan PER forward 8×—tetap ada awan gelap yang bisa datang tiba-tiba. Izin tambang yang kadaluarsa, harga nikel global yang fluktuatif, dominasi pembeli tunggal, perubahan kebijakan ekspor, hingga faktor cuaca dan teknis tambang bisa jadi penyebab kenapa saham yang terlihat solid hari ini, bisa jeblok besok pagi. Intinya: honeymoon ini indah, tapi jangan lupa waspada, karena tambang bukan bisnis main-main. Sekali aturan berubah, kas yang tebal bisa cepat habis, dan laba yang manis bisa berubah jadi kenangan.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ANTM $INCO

Read more...

1/5

testestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy