imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

VOCnesia

VOC, atau Vereenigde Oostindische Compagnie, dulunya adalah raksasa dunia dagang. Didirikan tahun 1602 di Belanda, VOC awalnya kelihatan kayak startup unicorn: hype besar, modal gede, janji masa depan cerah. Cuma bedanya, VOC bukan jualan aplikasi atau jasa online, tapi jualan pala, cengkeh, lada, dan rempah-rempah lain dari Asia. Sejak awal, VOC dikasih hak istimewa luar biasa: boleh monopoli dagang Asia, boleh cetak uang sendiri, boleh bikin benteng, bahkan boleh perang. Kalau startup zaman sekarang butuh suntikan venture capital, VOC tinggal minta kapal perang buat nego harga rempah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Modal awal VOC waktu IPO di tahun 1602 sekitar 6,5 juta gulden. Ini duit gede banget buat ukuran zaman itu, setara GDP negara kecil. Yang menarik, saham VOC dijual ke publik. Semua orang yang punya duit, mulai dari saudagar kaya sampai tukang kebun beruntung, bisa beli saham VOC di Amsterdam Stock Exchange. Inilah IPO modern pertama dalam sejarah dunia. Dan VOC sukses, gila-gilaan. Tiap tahun VOC bisa nyetak laba sekitar 2–2,5 juta gulden, yang kalau dikonversi ke nilai uang 2025 kira-kira Rp33–50 Triliun per tahun. Bukan triliun receh, ini laba bersih stabil bertahun-tahun.

Sumber kekayaan utamanya? Indonesia. Sekitar 70–80% laba VOC berasal dari perdagangan rempah di Maluku dan Jawa. Beli pala di Banda seharga kayak kerupuk, jual di Amsterdam semahal berlian. Marginnya kadang lebih dari 1.000%. Pikirin aja: VOC literally hidup dari pala dan cengkeh, dan saking niatnya, mereka sampai membantai penduduk asli Banda tahun 1621 cuma buat jaga monopoli pala.

Organisasi VOC dibangun megah. Mereka punya 50.000 karyawan global, 10.000–20.000 tentara pribadi, markas utama di Batavia (sekarang Jakarta), galangan kapal, gudang-gudang, bahkan kantor cabang di Jepang, India, Sri Lanka, Afrika Selatan, sampai Tiongkok. Batavia jadi pusat kekuasaan VOC di Asia, sekaligus surga korupsi. Para pejabat VOC di Batavia hidup glamor: rumah megah, vila di Ancol, ratusan budak, arisan elite kolonial. Gaji resminya kecil, tapi perdagangan gelap, suap, manipulasi pajak, semua jalan tanpa malu-malu. Jual beli jabatan? Sudah kayak lelang barang bekas.

Gubernur-gubernur jenderal VOC seperti Joan van Hoorn, Cornelis Janszoon Speelman, dan Diederick Durven terkenal bukan karena prestasi, tapi karena sukses memperkaya diri. Joan van Hoorn, misalnya, ngumpulin kekayaan pribadi sampai 10 juta gulden, padahal gajinya resmi cuma 700 gulden per bulan. Modus korupsinya macam-macam: perdagangan gelap (morshandel), selisih laporan keuangan (stille winsten), paksaan setoran berlebih ke rakyat lokal (overwichten), bahkan upeti pribadi (hommagien). Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Semua itu terjadi karena pengawasan internal VOC lemah parah. Kantor pusat di Belanda terlalu jauh, jalur komunikasi lambat, laporan keuangan bisa dimanipulasi sesuka hati. Gaji pegawai kecil, budaya nepotisme bejat, dan tidak ada sistem audit yang bener-bener jalan. Jadilah VOC berubah dari mesin uang jadi sarang tikus raksasa.

Pelan-pelan, kombinasi korupsi brutal, utang membengkak karena biaya militer, perang dengan kerajaan lokal di Nusantara, serangan saingan seperti East India Company Inggris, serta jenuhnya pasar rempah dunia bikin VOC megap-megap. Tahun 1795, Belanda sendiri jatuh ke tangan Prancis dalam Revolusi Batavia, dan VOC kehilangan dukungan politik. Tanpa sokongan negara, VOC resmi ambruk. Pada 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dengan meninggalkan utang 110 juta gulden. Semua asetnya disita negara Belanda, dan dari reruntuhan VOC lahir Hindia Belanda.

VOC itu sukses jadi raksasa ekonomi dunia bukan cuma karena dagang jago, tapi karena kombinasi modal rakyat, kekuatan negara, dan brutalitas kolonial. Tapi kesuksesan itu hancur bukan karena musuh dari luar, melainkan karena kerakusan, korupsi, dan manajemen tolol dari dalam. VOC bukti bahwa perusahaan sekaya apapun, kalau isinya maling berjamaah, ya ujung-ujungnya tenggelam juga.

Kalau dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia sekarang, VOC itu kayak Titanic raksasa yang jalan di atas lautan emas, sedangkan mayoritas perusahaan Indonesia hari ini baru sekadar perahu nelayan di pinggiran pantai.

VOC itu tiap tahun laba Rp33–50 Triliun (setara kurs 2025), stabil hampir 200 tahun. Bandingkan sama perusahaan terbesar di Indonesia, misalnya BCA, yang tahun 2024 labanya sekitar Rp50 Triliun, atau BRI yang sekitar Rp55 Triliun. Oke, dari segi angka laba, BCA dan BRI udah bisa menandingi VOC modern, tapi jangan lupa: VOC waktu itu sendirian monopoli dunia, sementara BCA dan BRI hidup dalam pasar yang kompetitif, diatur ketat, harus setor pajak, dan nggak bisa kirim kapal perang buat nutup cabang saingan.

Kalau lihat perusahaan swasta lain kayak Astra, Indofood, atau Telkom, labanya rata-rata Rp10–30 Triliun. Secara laba mereka jauh lebih kecil dibanding VOC, apalagi kalau bicara margin keuntungan dan kuasa pasar. VOC margin dagangnya bisa 1.000% lebih. Perusahaan Indonesia sekarang mau untung bersih 10% aja sudah syukur-syukur.

Dari sisi umur, VOC bertahan 197 tahun. Perusahaan tertua di Indonesia kayak Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) baru 162 tahun, Bank BRI 130 tahun, Unilever Indonesia 92 tahun. Rata-rata perusahaan swasta malah baru berumur 20–50 tahun. Bertahan 200 tahun di Indonesia itu kayak misi mustahil, karena setiap 20–30 tahun Indonesia pasti goyang: ganti rezim, krisis ekonomi, reformasi, atau chaos politik.

Soal model bisnis, VOC itu bukan sekadar perusahaan dagang. Mereka punya galangan kapal, tentara pribadi, boleh perang, boleh cetak uang sendiri. Sekarang? Bahkan perusahaan raksasa di Indonesia seperti Pertamina atau PLN tetap harus jongkok di depan aturan pemerintah dan OJK. VOC dulu kalau mau kuasai pasar, tinggal invasi pakai kapal perang. Sekarang mau kuasai pasar? Ya mesti tender, ikut regulasi, bahkan bisa kena denda monopoli dari KPPU.

Kalau lihat budaya internal, VOC memang raksasa penuh korupsi, dan ini agak mirip juga sama beberapa BUMN zaman Orde Lama yang bobrok karena nepotisme dan sogokan. Tapi bedanya, VOC korup tapi masih bisa cetak laba besar selama ratusan tahun, sedangkan korupsi di banyak perusahaan Indonesia seringkali malah bikin rugi sebelum sempat jadi raksasa. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

VOC itu seperti monster korporasi yang lahir dari modal rakyat, kuasa negara, dan ambisi kolonialisme, dengan kekuatan brutal dan nafsu tanpa batas.
Perusahaan Indonesia hari ini masih berjuang keras bertahan di dunia yang jauh lebih teratur, jauh lebih berat aturannya, dan penuh dengan kompetitor yang sama kuat.

Kalau VOC itu Ferrari yang melaju sambil nabrak siapa aja di depannya, banyak perusahaan Indonesia hari ini baru sebatas Vespa second yang jalannya harus hati-hati supaya nggak ditilang sama polisi.

Beda zamannya, beda ekosistemnya, beda mentalitasnya.
Tapi satu pelajaran penting tetap sama: kalau perusahaan isinya maling semua, mau sekaya apapun, pasti hancur juga.
Dan VOC adalah bukti sejarah paling telanjang soal itu.

Kalau mau jujur, korupsi di tubuh VOC itu bukan sekadar parah, tapi sudah stadium akhir. VOC mungkin tercatat dalam sejarah sebagai perusahaan dagang pertama terbesar di dunia, tapi di balik semua kejayaan itu, isinya kayak kolam penuh buaya lapar. Dari atas sampai bawah, korupsi bukan sekadar penyimpangan, tapi budaya sehari-hari. Mulai dari pejabat tinggi di Batavia sampai pegawai kecil di pos-pos rempah, semua berlomba-lomba memperkaya diri sendiri pakai fasilitas perusahaan.

Gaji pejabat VOC sebenarnya kecil untuk ukuran tugasnya. Gubernur Jenderal VOC di Batavia, misalnya, gajinya sekitar 700 gulden per bulan. Tapi jangan kira mereka hidup sederhana. Joan van Hoorn, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal 1704–1709, berhasil menumpuk kekayaan pribadi sampai 10 juta gulden, padahal kalau dihitung dari gaji resminya, seharusnya butuh ribuan tahun buat ngumpulin duit segitu. Ini bukan kasus tunggal. Banyak gubernur VOC lain seperti Cornelis Janszoon Speelman dan Diederick Durven yang terlibat manipulasi, perdagangan gelap, sampai suap sistemik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Modus korupsi di VOC beragam dan kreatif. Ada morshandel, alias pegawai VOC dagang barang gelap pakai kapal resmi perusahaan. Ada stille winsten, alias mark-up transaksi untuk kantong pribadi. Ada overwichten, yakni paksaan setoran berlebih dari penduduk lokal. Belum cukup? Tambah lagi contributien, yaitu upeti ilegal dari raja-raja lokal yang disetor langsung ke saku pejabat. Semua ini berjalan mulus karena VOC tidak punya sistem audit yang ketat. Pusat di Belanda terlalu jauh, laporan keuangan bisa dipoles seenak jidat, dan pengawasan internal nyaris cuma formalitas belaka.

Korupsi di Batavia sebagai markas utama VOC adalah yang paling brutal. Di sana, jabatan dijual bebas. Mau naik pangkat? Tinggal siapin amplop tebal. Para pejabat juga menjalankan bisnis pribadi pakai kapal, gudang, dan tentara VOC. Ada cerita nyata di mana satu keluarga pejabat VOC bisa punya puluhan rumah mewah di Batavia, sementara gajinya secara resmi bahkan nggak cukup buat sewa satu gudang. Tidak aneh kalau gaya hidup mereka nyentrik: vila besar di Ancol, diiringi lima budak buat sekadar jalan-jalan sore.

Karena semua dibiarkan liar tanpa kontrol, biaya operasional VOC makin menggila. Biaya perang buat mempertahankan monopoli, suap ke pejabat lokal, belanja pribadi para petinggi, semuanya numpuk. Sampai akhirnya VOC menumpuk utang sebesar 110 juta gulden di penghujung hayatnya. Ini angka gila buat ukuran abad ke-18, setara lebih dari Rp1.800 triliun hari ini. Dan yang lucu, utang ini bukan dipakai buat ekspansi besar-besaran lagi, tapi lebih banyak buat nutup bocoran internal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Korupsi di VOC pada akhirnya lebih ganas daripada musuh eksternal mana pun. VOC kalah bukan karena Inggris lebih pintar atau Perancis lebih kuat, tapi karena tubuhnya sendiri busuk dari dalam. VOC bubar tahun 1799 bukan karena lawan terlalu hebat, tapi karena VOC seperti kapal mewah yang bocor di mana-mana, ditambal pakai korupsi, sampai akhirnya tenggelam sendiri tanpa perlu ditembak meriam.

Pelajaran paling telanjang dari kasus VOC adalah: kalau maling sudah jadi bagian dari SOP, sehebat apapun perusahaannya, sekuat apapun monopoli dagangnya, sehebat apapun armada kapalnya, semua pasti ambruk juga. VOC runtuh bukan karena kurang peluang, tapi karena kerakusan tanpa batas yang dirawat bertahun-tahun tanpa ada yang berani membereskan.

Kalau bicara soal budaya korupsi di Indonesia, kita sering dengar mitos bahwa korupsi itu “budaya lokal”, bawaan dari masyarakatnya sendiri. Tapi kalau kita gali sejarahnya lebih dalam, justru kelihatan bahwa benih-benih korupsi modern di Indonesia itu bukan lahir dari tanah Nusantara, melainkan dibajak, disiram, dan dibesarkan oleh VOC—kongsi dagang Belanda yang dulu dianggap sebagai perusahaan terbesar dan terkaya di dunia. Jadi kalau ada yang bilang VOC belajar korupsi dari Indonesia, itu justru kebalik. Justru VOC-lah yang datang dengan sistem korupsi canggih, terorganisir, dan dilegalkan oleh struktur kekuasaan kolonial. Indonesia? Waktu itu bahkan belum punya negara modern, belum punya birokrasi, apalagi sistem gaji tetap.

VOC datang ke Indonesia bukan cuma bawa senjata dan kapal perang, tapi juga bawa budaya jual beli jabatan, sogokan, upeti liar, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Dari struktur VOC di Batavia (Jakarta sekarang), kita bisa lihat praktik-praktik itu udah jadi SOP harian. Mau jadi kepala gudang? Siapkan sogokan. Mau kirim kapal dagang? Bagi dulu jatah ke pejabat pelabuhan. Mau jadi kepala pos rempah di Ambon? Lobi dulu gubernur jenderalnya. Bahkan laporan keuangan pun bisa diutak-atik, karena VOC nggak punya sistem audit yang benar. Siapa yang jujur, seringkali malah disingkirkan. Yang pintar korupsi, justru naik jabatan.

Korupsi model VOC bukan kecil-kecilan. Joan van Hoorn, Gubernur Jenderal VOC, berhasil ngumpulin kekayaan pribadi 10 juta gulden, padahal gajinya cuma 700 gulden per bulan. Gila kan? Bandingkan dengan para raja lokal atau kepala adat di Nusantara yang waktu itu hidup cukup sederhana, bahkan masih berbasis barter dan pajak hasil bumi. Dalam banyak catatan, penguasa lokal justru dipaksa mengikuti sistem VOC, termasuk sistem upeti, target setoran, dan bahkan pungutan liar atas nama kontrak dagang. Artinya, yang ngajarin korupsi itu VOC, bukan penduduk lokal. VOC menanam sistem kolonial berbasis rente, eksploitasi, dan sogokan—dan dari sinilah warisan buruk itu terus bergulir hingga ratusan tahun kemudian. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Setelah VOC bubar tahun 1799, budaya itu nggak ikut bubar. Pemerintah Hindia Belanda langsung mewarisi semua aset, struktur birokrasi, dan pola-pola kerjanya. Sistem tanam paksa, cultuurstelsel, bahkan pengumpulan pajak lewat sistem ijon dan perantara semuanya adalah kelanjutan dari pola korupsi terstruktur ala VOC. Bahkan setelah Indonesia merdeka, banyak struktur pemerintahan yang mewarisi model kolonial: sentralistik, transaksional, dan minim pengawasan. Gaji rendah, jabatan politis, ketergantungan pada patronase—semuanya bikin korupsi tetap tumbuh subur.

Jadi kalau hari ini korupsi masih jadi masalah akut di Indonesia, itu bukan karena genetik atau budaya asli bangsa ini. Justru budaya korupsi itu hasil pengaruh kolonialisme, terutama yang ditanam sistematis oleh VOC. Kita nggak belajar korupsi dari nenek moyang, tapi dari pedagang asing yang datang bawa bendera bisnis tapi isinya tentara dan pencatatan ganda.

Intinya, VOC datang bukan cuma buat dagang rempah, tapi juga meninggalkan warisan sistem korupsi profesional. Warisan yang susah hilang karena setelah 350 tahun tertanam, akarnya sudah dalam. Jadi kalau hari ini kita masih lihat jual beli proyek, sogokan jabatan, dan markup pengadaan, jangan kaget—itu bukan budaya Indonesia. Itu VOCisasi mental birokrasi, yang belum selesai sampai hari ini.

Kalau mau jujur dan nggak pakai bahasa manis, Indonesia modern ini kadang terasa kayak VOC versi demokratis—bedanya, sekarang gak perlu kapal perang, cukup tender fiktif, markup proyek, dan jaringan buzzer buat jaga citra.

Secara struktur, banyak tanda-tanda kita mirip VOC. Dulu VOC punya hak monopoli, sekarang banyak BUMN dan proyek negara juga dikendalikan oleh segelintir elit. Dulu VOC bagi-bagi jabatan ke keluarga dan kroni, sekarang praktik nepotisme dan politik balas jasa juga makin vulgar. Dulu VOC tutup-tutupi laporan keuangan, sekarang juga banyak kasus "audit lewat mata kanan" yang gak pernah sampai meja hijau. Dan yang paling menyedihkan? Korupsi jadi sistemik, bukan lagi kasus individual, tapi kayak SOP yang diam-diam dianggap wajar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Data KPK sendiri menunjukkan dari tahun ke tahun, korupsi pengadaan barang dan jasa masih jadi penyumbang kasus terbanyak. Modusnya ya itu-itu aja: markup, proyek fiktif, fee proyek, sogokan. Nilainya juga gak main-main. Dalam satu kasus e-KTP aja, kerugian negara ditaksir lebih dari Rp2,3 triliun. Itu baru satu proyek. Belum yang gak ketahuan. Belum yang sengaja dibungkam. Dan jangan lupa, banyak pelaku justru punya jabatan penting—bukan pegawai kecil. Mirip VOC, yang korupsinya paling gede justru ada di level atas.

Parahnya, lembaga pengawas sekarang pun seperti mulai tumpul. KPK yang dulu tajam, sekarang disunat lewat revisi UU dan perubahan sistem kepegawaian. Dulu banyak OTT, sekarang lebih banyak klarifikasi dan "pendalaman informasi". Dulu rakyat percaya KPK bisa jadi benteng terakhir, sekarang sebagian besar malah pesimis. Wibawa hukum pun makin turun. Banyak kasus yang mandek di tengah jalan, pelaku ditahan sebentar lalu bebas, atau bahkan nyalon lagi dan menang.

Kalau dilihat dari akar masalahnya, pola Indonesia modern ini memang mengarah ke VOC-style corruption: kekuasaan terkonsentrasi, pengawasan lemah, budaya nepotisme subur, dan publik dibius pencitraan. Kita belum sampai jadi VOC sepenuhnya—karena belum punya tentara swasta dan hak monopoli rempah—tapi jalurnya mulai familiar.

Jadi, apakah Indonesia modern sedang otw jadi VOC baru yang korupsi?
Secara struktur: mirip.
Secara mentalitas: mendekat.
Dan kalau gak ada perombakan serius dalam sistem pengawasan, pendidikan integritas, dan transparansi birokrasi, ya bisa jadi... kita cuma beda seragam, tapi mainnya tetap sama: rampok pakai aturan.

Satu-satunya yang bikin beda cuma ini, dulu VOC korupsi sambil bagi dividen 30% setahun ke investor, sekarang banyak korupsi sambil bikin utang negara makin numpuk. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Apakah mungkin bisa dibilang kalau korupsi itu memang kearifan lokal?

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $ANTM $BRIS

Read more...

1/7

testestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy