$WOOD
https://cutt.ly/8rhzala3
Terjemahan:
https://cutt.ly/CrhzalYA , Jakarta - Menteri Kehutanan Indonesia Raja Juli Antoni telah mengumumkan bahwa pemerintah akan segera meluncurkan perdagangan karbon di sektor kehutanan sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan mendorong transisi yang lebih cepat menuju ekonomi hijau .
Menurutnya, program ini akan membuka peluang yang signifikan bagi Indonesia untuk mengelola sumber daya alamnya secara berkelanjutan sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat dan bisnis lokal.
Pada tahap awal, Raja Juli menyatakan, perdagangan karbon akan difokuskan pada skema pengelolaan hutan oleh perusahaan swasta pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dan proyek Perhutanan Sosial yang masing-masing memiliki kapasitas penyerapan karbon berbeda.
Ia menyoroti bahwa kawasan PBPH berpotensi menyerap antara 20 hingga 58 ton setara CO2 per hektar, dengan harga berkisar antara US$5 hingga 10 per ton. Sementara itu, proyek Perhutanan Sosial dapat menyerap hingga 100 ton per hektar, dengan harga mencapai EUR30 per ton.
Pada tahun 2025, potensi perdagangan karbon di sektor ini diperkirakan mencapai 26,5 juta ton, dengan nilai transaksi berkisar Rp1,6 triliun hingga Rp3,2 triliun per tahun.
"Jika dioptimalkan hingga 2034, potensi perdagangan karbon dari sektor kehutanan dapat mencapai 97,9 hingga 258,7 triliun rupiah per tahun, dengan kontribusi perpajakan sekitar 23 hingga 60 triliun rupiah dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 9,7 hingga 25,8 triliun rupiah per tahun," kata Raja Juli, seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 14 Maret 2025.
Lebih lanjut, Raja Juli menjelaskan bahwa program ini dapat menciptakan sekitar 170.000 lapangan kerja di berbagai lokasi proyek karbon. Ia menegaskan bahwa perdagangan karbon tidak hanya tentang pengurangan emisi, tetapi juga berperan penting dalam percepatan reboisasi melalui konservasi dan strategi Aforestasi, Reforestasi , dan Revegetasi (ARR).
Untuk memastikan daya saing Indonesia dalam perdagangan karbon global, Raja Juli menyatakan bahwa Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup telah berkoordinasi dengan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Iklim, Hashim Djojohadikusumo.
Salah satu langkah strategis utama yang sedang diupayakan adalah penyelesaian Perjanjian Pengakuan Bersama (MRA) dengan lembaga-lembaga seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, dengan target tanggal penyelesaian Mei 2025.
Selain itu, pemerintah saat ini tengah merevisi Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk meningkatkan efektivitas dan transparansi perdagangan karbon.
"Dengan berbagai langkah tersebut, Kementerian Kehutanan optimistis bahwa perdagangan karbon di sektor kehutanan akan menjadi pendorong utama pembangunan ekonomi hijau, ketahanan pangan dan energi, serta akan memperkuat komitmen Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim . Langkah ini sejalan dengan visi Asta Cita yang digaungkan Presiden Prabowo Subianto, yaitu mencapai keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan," pungkas Raja Juli.