Apakah Ada Dampak Trade War pada $GJTL?
Tadi ada salah satu user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram yang bertanya tentang dampak Trade war ke GJTL. Pertanyaan yang sangat wajar untuk External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Bayangkan kamu pegang saham GJTL. Tahun 2024, semuanya kelihatan baik-baik aja. Perusahaan ini cetak laba Rp1,18 Triliun dari penjualan Rp18,03 Triliun, dengan margin kotor 21,5%. Arus kas operasional juga positif Rp1,84 Triliun, kas cukup tebal, dan tidak ada tanda-tanda krisis. Tapi situasi berubah total di 2025 gara-gara satu hal: tarif dagang Amerika Serikat naik jadi 47% buat produk Indonesia, termasuk ban. Presiden Trump, dalam gaya khasnya, ngasih tarif resiprokal tanpa ampun, dan Indonesia salah satu korban utamanya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masalahnya, Amerika itu bukan pasar kecil buat GJTL. Dari total revenue Rp18 Triliun, sekitar Rp2,27 Triliun (12,6%) berasal dari ekspor ke AS. Bahkan, piutang usaha dari entitas berelasi terbesar adalah GITI Tire USA, nilainya Rp2,34 Triliun, yang artinya mayoritas arus kas ekspor GJTL benar-benar nyangkut di AS. Belum lagi penjualan ke pihak berelasi lainnya dari luar negeri seperti Kanada dan GITI Tire Global Trading. Jadi waktu AS tiba-tiba kasih tarif 47%, itu bukan sekadar naik ongkos kirim—itu potensi mati suri pasar ekspor GJTL.
Tarif 47% artinya ban yang sebelumnya dijual $50 sekarang jadi $73,5—naik lebih dari 40%. Siapa yang mau beli? Kompetitor dari Thailand atau Vietnam yang tarifnya lebih rendah otomatis menang harga. GJTL nggak punya pabrik di luar negeri, semua produksi masih di Indonesia. Jadi, nggak bisa ngeles, nggak bisa ngirim lewat negara tetangga, semua kena tembak tarif langsung.
Kita coba simulasikan: kalau separuh ekspor ke AS hilang, laba bisa turun jadi Rp950 Miliar, dan kalau semua ekspor AS lenyap? Laba bersih cuma tinggal Rp700 Miliar. EPS yang tadinya 341 bisa jeblok mendekati nol. PER yang awalnya 2,98x tiba-tiba naik ke 5x lebih, bukan karena sahamnya mahal tapi karena labanya anjlok. Yang dulunya murah karena undervalued, bisa berubah jadi murah karena memang susah cari cuan.
Tapi tunggu dulu, ada angin segar kecil dari dua sisi. Pertama, harga karet global lagi turun ke 166,9 sen USD/kg, alias cuma sekitar Rp26.700/kg. Buat GJTL, yang pakai bahan baku karet lokal, ini artinya biaya produksi bisa lebih rendah. Kedua, kurs rupiah juga melemah, dari rata-rata Rp16.200/USD di 2024 jadi Rp16.850/USD di April 2025. Artinya, setiap dolar dari ekspor yang masih bisa jalan nilainya jadi lebih tinggi dalam rupiah.
Sayangnya, dua hal tadi cuma bisa bantu meredam luka, tapi nggak menyembuhkan. Karena intinya, bukan soal margin doang, tapi soal volume. Kalau pembeli AS stop beli, ya ordernya hilang. Nggak peduli semurah apapun karet atau setinggi apapun kurs, kalau nggak ada yang beli ya percuma. GJTL bisa berusaha ganti pasar ke Eropa, India, atau Afrika, tapi nggak bisa instan. Bangun relasi dagang baru itu nggak kayak mindahin barang dari rak A ke rak B di gudang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Valuasi sahamnya sih tetap terlihat "murah". Market cap-nya sekarang Rp3,54 Triliun, jadi PER-nya masih di bawah 3x. PBV pun cuma 0,37x, jauh di bawah 1. Tapi ini seperti beli mobil bekas yang harganya miring karena mesinnya belum tentu bisa dipakai ke luar kota. Jadi “murah” ini bukan jaminan aman, apalagi buat investor yang pengin pertumbuhan.
Intinya, GJTL lagi kena pukulan telak dari sisi ekspor, dan kalau mereka nggak cepat cari cara keluar dari bayang-bayang tarif AS, maka yang dulunya perusahaan ekspor andalan bisa jadi hanya fokus lokal dan hidup pas-pasan dari permintaan domestik. Situasinya mirip orang punya usaha warung di jalan utama yang tiba-tiba ditutup karena proyek MRT—kalau nggak cepat pindah atau rebrand, tinggal tunggu waktu sebelum tutup permanen.
Jadi kalau kamu nanya, "GJTL masih layak dikoleksi?" Jawabannya sekarang bukan cuma soal murah atau mahal, tapi soal mereka bisa pivot atau tidak. Karena kalau tidak, maka valuasi murah itu bukan peluang, tapi cermin dari masalah yang lebih dalam.
Kalau sekilas lihat laporan keuangan GJTL, wajar banget muncul argumen kayak gini: revenue dari Amerika Serikat “cuma” Rp2,27 Triliun atau sekitar 12,6% dari total penjualan mereka yang tembus Rp18 Triliun di tahun 2024. Artinya gak sampai seperdelapan. Terus sekarang tarif AS baru diumumkan, masih ada tenggat 90 hari, jadi dampaknya belum tentu langsung kelihatan di Q1 atau bahkan Q2 2025. Negara lain juga kena tarif. Dan pemerintah pun sedang negosiasi untuk minta tarif diturunkan. Jadi logikanya, buat apa khawatir berlebihan? Bukankah tinggal main efisiensi dan cari pasar baru?
Masalahnya, dunia nyata gak sesimpel itu. Ekspor ke AS itu memang kecil secara persentase, tapi besar dari sisi struktur bisnis dan siapa pembelinya. GJTL ekspor ke GITI Tire USA, entitas distribusi mereka di Amerika, yang nyumbang Rp2,34 Triliun ke piutang usaha—bahkan lebih besar dari nilai ekspornya sendiri. Ini artinya GJTL gak cuma jualan ke AS, tapi beroperasi lewat jaringan supply chain global yang terhubung erat dengan pasar Amerika. Kalau buyer ini terganggu karena tarif 47%, efeknya bisa merambat ke cashflow, rotasi produksi, bahkan utilisasi pabrik.
Terus soal negara lain juga kena tarif, itu memang benar. Tapi peta persaingan gak adil. Negara seperti Mexico dan Kanada bebas tarif karena mereka punya perjanjian perdagangan bebas dengan AS lewat USMCA (pengganti NAFTA). Vietnam juga punya jalur preferensi lewat CPTPP dan hubungan bilateral yang lebih lunak dibanding Indonesia. Thailand dan China memang kena tarif juga, tapi mereka punya keunggulan lain: basis produksi ban mereka jauh lebih besar, logistik lebih efisien, dan sebagian sudah bikin pabrik di luar negeri, termasuk di Meksiko—yang artinya mereka bisa bypass tarif dan tetap masuk ke AS dengan harga kompetitif.
Kalau ngomong soal kompetitor, bukan cuma Vietnam, Thailand, atau China aja. Berdasarkan data 2024, Thailand adalah eksportir ban penumpang terbesar ke AS dengan 42 juta unit, disusul Meksiko (22,9 juta unit) dan Vietnam (15 juta unit). Bahkan India, Jepang, Korea Selatan, hingga Eropa juga ikut rebutan pasar ban di AS. Jadi, GJTL bukan bersaing sama satu-dua negara, tapi dengan puluhan produsen dari berbagai zona ekonomi, dan banyak dari mereka punya akses lebih longgar secara dagang atau punya pabrik di dalam AS.
Soal efisiensi? Ya, bisa bantu. Misalnya sekarang harga karet global sedang rendah di 166,9 sen USD/kg, dan rupiah melemah ke Rp16.850 per USD, artinya biaya bahan baku turun, nilai ekspor rupiah naik. Tapi, efisiensi baru berguna kalau order tetap ada. Kalau permintaan dari AS drop drastis karena ban GJTL jadi terlalu mahal buat buyer Amerika, efisiensi jadi sekadar “menghemat kerugian”, bukan menyelamatkan profit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Negosiasi pemerintah? Wajar kita berharap hasilnya positif. Tapi jangan lupa, Amerika dalam mode proteksionis. Presiden Trump gak main-main soal tarif. Dan bahkan jika negosiasi berhasil menurunkan tarif dari 47% ke, katakanlah, 25%, tetap aja itu cukup untuk membuat produk Indonesia kalah bersaing dengan Meksiko yang tarifnya 0%. Jadi ya, menunggu hasil negosiasi tanpa menyiapkan strategi alternatif ibarat menunggu hujan sambil gak bawa payung.
Memang bukan waktunya panik—tapi juga jangan tenang-tenang banget hanya karena angka revenue terlihat kecil. Yang sedang diancam itu bukan cuma penjualan, tapi alur distribusi global GJTL, buyer strategis, dan margin ekspor. Kalau GJTL gagal ganti pasar dengan cepat atau tetap andalkan AS tanpa mitigasi, maka yang terlihat kecil hari ini bisa jadi lubang besar besok pagi.
Kalau kita pakai kacamata jernih, laporan keuangan GJTL tahun 2024 sebenarnya tidak menunjukkan perusahaan yang sedang dalam masalah. Dengan laba bersih Rp1,18 Triliun, revenue Rp18 Triliun, dan arus kas operasional Rp1,84 Triliun, GJTL punya landasan finansial yang kokoh. Tapi kekuatan internal saja tidak cukup kalau tekanan eksternal datang dari arah yang sulit dikendalikan. Dan tekanan itu datang dalam bentuk tarif 47% dari Amerika Serikat, yang langsung mengancam pasar ekspor senilai Rp2,27 Triliun dan mengguncang piutang usaha senilai Rp2,34 Triliun dari GITI Tire USA. Ini bukan sekadar risiko penurunan penjualan, tapi ancaman terhadap struktur arus kas dan utilisasi pabrik.
Dalam posisi ini, manajemen GJTL dihadapkan pada pertanyaan strategis: apakah perlu mendirikan pabrik di luar negeri untuk bypass tarif? Jawabannya tergantung pada satu hal: apakah tarif ini dilihat sebagai siklus jangka pendek atau sebagai bagian dari tren jangka panjang? Kalau manajemen meyakini bahwa tarif hanyalah reaksi sementara dari satu presiden yang akan berlalu, maka efisiensi jangka pendek, relokasi pasar, dan manuver logistik mungkin sudah cukup. Tapi jika tarif dipandang sebagai bagian dari gelombang proteksionisme global yang makin mengeras sejak era 2018—dan bisa bertahan melewati pergantian presiden—maka GJTL perlu mempertimbangkan kehadiran fisik di negara bebas tarif seperti Meksiko atau India. Karena bukan sekadar soal pajak impor, tapi soal eksistensi jangka panjang di pasar global. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Masalahnya, diversifikasi produksi ke luar negeri bukan pekerjaan semalam. Butuh dana, waktu, dan kejelasan strategi. Di sinilah data laporan keuangan membantu: GJTL masih punya ruang manuver. Modal kerja cukup, profitabilitas sehat, dan leverage tidak meledak. Tapi ruang itu tidak bisa dibiarkan kosong. Manajemen perlu mulai dari yang paling realistis: mengurangi ketergantungan pada GITI USA, membuka pasar baru non-AS, dan kalau perlu, mulai proses feasibility untuk pabrik di wilayah netral tarif. Apakah langsung bangun pabrik? Belum tentu. Tapi paling tidak, punya blueprint dan backup plan.
Lalu bagaimana investor sebaiknya memandang situasi ini? Di atas kertas, valuasi GJTL memang terlihat menggiurkan. Harga saham Rp1.015, market cap Rp3,54 Triliun, dengan PER hanya 2,98x dan PBV 0,37x. Tapi angka itu hanyalah snapshot dari masa lalu—laporan keuangan 2024 belum memuat dampak tarif. Pertanyaannya adalah, seberapa besar potensi koreksi laba jika ekspor AS terganggu? Simulasi sederhana menunjukkan bahwa kalau ekspor AS turun separuh, laba bisa turun ke bawah Rp950 Miliar. Kalau hilang semua? Bisa tinggal Rp700 Miliar. Maka PER bisa naik dari 2,98x ke sekitar 5x—masih rendah, tapi tidak se-super-murah seperti yang dibayangkan semula.
Dari sini, investor bisa mulai menyusun kerangka berpikir. Pertama, apakah GJTL mampu mempertahankan atau mengganti volume ekspor AS dengan cepat? Kedua, apakah tarif ini akan jadi permanen, atau justru mereda dalam 1-2 tahun ke depan? Ketiga, apakah perusahaan menunjukkan tanda-tanda adaptif—misalnya melalui kerja sama distribusi baru, ekspansi pasar, atau penyesuaian struktur produksi? Keempat, seberapa jauh harga saham akan merefleksikan risiko itu sebelum laporan keuangan berikutnya keluar? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jawaban dari semua pertanyaan itu akan membentuk pijakan logis untuk mengambil keputusan. Bukan sekadar karena angka PER rendah, atau karena panic sell sesaat. Karena pada akhirnya, investasi bukan soal ikut arus, tapi soal bisa membaca ke mana arus itu bergerak sebelum semua orang menyadarinya. Dan dalam kasus GJTL, arus itu sedang berbelok, pelan tapi pasti. Pertanyaannya: siapa yang bisa belok duluan sebelum jalan lurusnya amblas.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ASII $FORE
1/10