imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Chairul Tanjung Benar - Benar Nyangkut di $GIAA Selama 14 Tahun?

Pertanyaan salah satu user Stockbit di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Kalau ada satu saham yang bisa bikin konglomerat sekaliber Chairul Tanjung ikut nyangkut lebih dari satu dekade, itu adalah Garuda Indonesia (GIAA). Kisahnya bukan cuma soal fluktuasi harga, tapi juga drama nasional soal IPO gagal, permintaan tolong dari pemerintah, dan realita pahit bahwa uang triliunan pun bisa terkubur di bursa jika bandarnya nggak niat goreng. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Semua dimulai pada Februari 2011. GIAA resmi IPO dengan harga penawaran Rp750 per lembar, menawarkan 6,33 miliar saham atau 27,98% dari modal disetor. Tapi publik tak begitu tertarik: hanya 52,5% saham yang terserap pasar. Sisanya—sekitar 3 miliar lembar—terpaksa diserap tiga sekuritas pelat merah: Danareksa, Bahana, dan Mandiri Sekuritas, sesuai perjanjian underwriter full commitment. Artinya, saham sisa senilai Rp2,25 triliun terpaksa ditanggung sendiri. Dan di sinilah pemerintah turun tangan.

Maret 2012, Menteri BUMN saat itu, Dahlan Iskan, menghubungi lima taipan nasional lewat SMS: Nirwan Bakrie, Rachmat Gobel, Sandiaga Uno, Anthony Salim, dan Chairul Tanjung. Tujuannya? Bantu selamatkan saham Garuda. Responsnya? Yang menanggapi hanya tiga, dan yang maju betulan hanya Chairul Tanjung. Lewat PT Trans Airways, dia menyerap 2,47 miliar lembar saham sisa dengan harga diskon Rp620/lembar, senilai total Rp1,53 triliun. Jumlah ini setara 10,88% dari total saham GIAA.

Lalu, Mei 2021, Chairul kembali menambah kepemilikan dengan membeli 635 juta saham GIAA dari Finegold Resources seharga Rp499/lembar, total Rp317 miliar. Setelah pembelian ini, total kepemilikan Trans Airways melonjak jadi 28,26%, atau sekitar 7,3 miliar saham. Pemerintah masih pegang 60,54%, sisanya publik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sayangnya, semua suntikan dana itu tak menyelamatkan harga saham. Saat artikel ini ditulis April 2025, harga GIAA hanya Rp41. Artinya, floating loss Chairul Tanjung? Diperkirakan lebih dari Rp11,2 triliun menurut Komisaris GIAA sendiri, Peter Gontha. Belum termasuk bunga dan inflasi.

Peter bahkan menyebut langsung di akun Instagramnya bahwa CT "sudah rugi Rp11 triliun lebih." Hitungannya: kurs dolar saat CT masuk masih Rp8.000, sekarang Rp16.800. Harga beli Rp620-625, sekarang Rp41. Dan yang lebih menyakitkan lagi, saham ini bahkan belum pernah kembali menyentuh harga IPO Rp750 selama 14 tahun terakhir.

Tentu, ini bukan kerugian realized. CT tidak pernah menjual, artinya rugi ini masih "di atas kertas." Tapi tetap saja, investor publik jadi bertanya-tanya: kalau seorang Chairul Tanjung aja bisa nyangkut 14 tahun, kita ini siapa? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Padahal, berkali-kali GIAA mencoba restrukturisasi. Pernah melakukan rights issue, merestrukturisasi utang leasing, hingga wacana merger dengan Pelita Air pada 2025. Tapi hasilnya? Harga tetap stagnan. Bahkan setelah GIAA mengumumkan efisiensi operasional, arus kas positif (CFO FY24: USD586 juta), dan potensi laba dari penurunan harga avtur, investor tetap ogah masuk. Alasannya sederhana: kurs dolar. FY 2024 GIAA rugi kurs USD25 juta, dan Q1 2025 bisa lebih buruk karena kurs menyentuh Rp16.800.

Net foreign buy? Kecil. YTD cuma Rp3,31 miliar, sebulan terakhir Rp500 juta, seminggu Rp351 juta. Bahkan transaksi nego jumbo 17 April 2025 yang sempat dikira institusi, ternyata cuma Rp10 miliar saja, bukan Rp100 miliar.

Jadi, bisa disimpulkan: yang membuat GIAA tidak naik bukan karena kinerjanya tidak membaik. Tapi karena tidak ada kepercayaan bahwa saham ini bisa digoreng kembali. Para bandar? Diam. Asing? Cuek. Investor publik? Trauma.

Tapi... bukan berarti tak ada harapan. Kalau kamu punya nyali dan stamina kayak Chairul Tanjung—yang sudah nyangkut sejak 2011, beli di harga 620, dan masih sabar nunggu harga balik—ya silakan ambil risiko itu. Karena kalau someday harga GIAA kembali ke Rp300-an aja, beliau bisa cuan ratusan miliar. Tapi sampai hari itu tiba, ini tetap jadi saham yang lebih cocok buat koleksi museum, bukan portofolio harian.

Kisah ini adalah pelajaran bahwa pasar tidak peduli siapa kamu. Mau kamu konglomerat, pejabat, atau ritel kecil. Begitu kamu beli di harga salah, dan bandarnya nggak niat goreng, kamu tetap akan nyangkut. Dan Garuda Indonesia, sampai saat ini, tetap menjadi simbol nasional yang sayangnya terbangnya hanya tinggi di langit... bukan di grafik harga saham. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

User Stockbit di External Community Pintar Nyangkut itu ada yang tanya apakah mungkin itu cuci uang? Topik soal potensi pencucian uang di GIAA dengan menggunakan nama Chairul Tanjung memang bukan perkara sepele, dan harus dibahas dengan kepala dingin, fakta, serta kehati-hatian penuh. Hingga saat ini, tidak ada bukti hukum maupun temuan resmi dari PPATK, KPK, atau OJK yang menyatakan Chairul Tanjung terlibat dalam skema pencucian uang di GIAA. Namun, karena ini BUMN dan ada banyak uang negara serta sejarah kelam IPO yang penuh drama, publik memang punya hak buat bertanya.

Mari kita mulai dari awal. Tahun 2011, IPO GIAA gagal total. Dari total 6,33 miliar saham yang ditawarkan, hanya 3,32 miliar saham (52,5%) yang terserap pasar. Sisanya, sekitar 3 miliar saham (47,5%), harus diserap paksa oleh tiga sekuritas BUMN: Bahana, Danareksa, dan Mandiri Sekuritas. Harga IPO? Rp750 per lembar. Tapi karena tidak laku, saham-saham itu jadi beban di neraca para sekuritas negara. Nah, di sinilah Chairul Tanjung masuk sebagai “penyelamat”.

Tahun 2012, CT lewat Trans Airways membeli 2,47 miliar lembar saham GIAA seharga Rp620, total Rp1,53 triliun. Angka itu lebih murah dari harga IPO, tapi tetap besar—dan disebut sebagai harga “diskon” oleh berbagai media. Masalahnya, pembelian ini menimbulkan pertanyaan: kenapa cuma dia yang bisa ambil semua saham dengan harga lebih rendah? Kenapa bukan investor publik? Dan bagaimana dana sebesar itu bisa cair cepat hanya untuk menyelamatkan saham nyangkut milik BUMN sekuritas?

Pertanyaan tambah panas ketika Indonesian Audit Watch menyebut transaksi ini berpotensi melibatkan skema “Rolling Program” ala Bank Secure Private Placement, yang dikenal di lingkaran keuangan sebagai celah cuci uang. Ditambah lagi, waktu itu Chairul Tanjung adalah Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN). Jadi pertanyaannya masuk akal: apakah dia menggunakan posisi strategisnya untuk mendapatkan akses atau deal yang tidak bisa diakses investor biasa? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kasus makin tajam ketika pada 2013, muncul kabar KPK memeriksa kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terkait saham GIAA atas nama Muhammad Nazaruddin. Dalam kasus ini, KPK menyita aset senilai Rp300 miliar berupa saham Garuda. Apakah ada hubungannya dengan transaksi besar Chairul Tanjung? Tidak ada bukti langsung. Tapi fakta bahwa saham GIAA pernah digunakan untuk praktik TPPU sudah terjadi. Artinya, saham ini memang pernah jadi “kendaraan”.

Lalu pada 2021, CT kembali beli saham GIAA dari Finegold Resources sebanyak 635 juta lembar dengan harga Rp499/saham senilai Rp317 miliar. Lagi-lagi transaksi besar, lagi-lagi dilakukan bukan di pasar publik. Semua ini membuat publik bertanya, benarkah ini murni investasi? Atau sekadar parkir dana?

Kerugian? Komisioner Garuda Peter Gontha sendiri yang hitung: CT sudah rugi lebih dari Rp11 triliun selama 9 tahun. Kalau benar rugi sebesar itu, dan CT masih bertahan, tetap diam, dan tidak menjual sahamnya sedikit pun, maka cuma ada dua kemungkinan: dia memang investor paling sabar di negeri ini… atau ada motif lain di luar hitung-hitungan cuan dan loss.

Apakah ini bukti pencucian uang? Belum tentu. Tapi red flag-nya banyak: diskon gede di IPO, posisi strategis CT saat akuisisi, volume transaksi jumbo, saham yang sama pernah dipakai Nazaruddin untuk cuci uang, dan nilainya sudah rugi belasan triliun tapi tetap dipertahankan tanpa keluhan.

Jadi belum ada bukti sah bahwa ada praktik cuci uang lewat nama Chairul Tanjung di GIAA. Tapi publik punya hak buat curiga dan bertanya, terutama karena semua sinyalnya mengundang tanda tanya besar. Dan selama belum ada audit forensik terbuka, kecurigaan akan terus bergema, apalagi ketika GIAA tetap nyungsep di Rp41 sementara "pemegang 1,5 triliun" tetap diam, sabar, dan… entah apa tujuannya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi dari data publik yang ada, susah untuk membuktikan kalau Chairul Tanjung itu terlibat cuci uang. Dari transaksi yang ada di keterbukaan publik, Chairul Tanjung memang nampaknya Nyangkut. Belum ada indikasi mengarah ke TPPU atau cuci uang. Tapi ya, who knows. Positive thinking aja dulu, CT bersih.

Kalau kotor? Ya, ikhlaskan aja. Ingat moto iklan Rinso, berani kotor itu baik. Tapi sekali lagi, dahulukan Positive Thinking dan asas praduga tak bersalah. Skeptis boleh tapi jangan langsung menuduh CT terlibat pencucian uang tanpa adanya bukti yang valid.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BREN $BBTN

Read more...

1/6

testestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy