$GIAA Emang Bagus?
Banyak banget user Stockbit yang request analisis. Tadi ada yang minta analisis GIAA bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau kita bahas Garuda Indonesia (GIAA) sekarang, rasanya kayak lagi baca sinetron yang naskahnya bagus, tapi pemain utamanya belum meyakinkan. Di atas kertas, GIAA punya banyak modal buat bangkit: harga avtur turun, trafik Lebaran meledak, cashflow operasional sehat, dan bonusnya: wacana merger dengan Pelita Air yang digadang-gadang bikin maskapai BUMN jadi holding besar. Tapi kenyataannya, harga sahamnya tetap nyungsep ke Rp41, asing net buy cuma receh, dan transaksi nego yang sempat bikin heboh ternyata cuma Rp10 miliar doang. Jadi wajar kalau publik bertanya: "GIAA ini beneran mau take off atau cuma taxiing keliling apron doang?" Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kita urai satu-satu. Mulai dari isu merger dengan Pelita Air. Wacana ini diumumkan Januari 2025, langsung dikonfirmasi oleh manajemen GIAA, bahkan Erick Thohir secara terbuka bilang merger ini "harus terjadi". Targetnya rampung akhir 2025. Skemanya cukup menjanjikan: Garuda akan fokus di full-service premium, Pelita di segmen premium-ekonomi, dan Citilink tetap main di low-cost segment. Kalau berhasil, ini bisa jadi replikasi lokal dari model bisnis Singapore Airlines Group. Tapi faktanya, sampai akhir April 2025 merger ini masih sebatas kajian awal. Tidak ada dampak ke Q1, belum ada efek ke struktur operasional, belum juga masuk ke integrasi armada atau laporan keuangan. Jadi untuk saat ini, merger ini masih sekadar narasi optimisme, belum masuk ke ranah fundamental.
Lanjut ke topik yang lebih konkret: apakah mungkin GIAA cetak laba di Q1 2025? Secara teoritis, masih sangat mungkin. Dua faktor besar mendukung: pertama, harga avtur menurun signifikan. Dari Rp13.300 per liter di Februari 2024 menjadi sekitar Rp12.000-an di April. Bahkan sempat disentuh Rp11.800 di bandara prioritas selama Maret–April. Penurunan 10% ini bisa hemat biaya fuel GIAA sekitar USD30–40 juta per kuartal, karena fuel cost adalah komponen terbesar dari biaya operasional mereka (FY 2024 flight operation cost = USD1,67 miliar). Kedua, momentum Lebaran yang jatuh di akhir Maret 2025 memberi boost besar ke load factor dan revenue. Tradisionalnya, periode ini selalu jadi pendorong kuat kinerja kuartal pertama untuk maskapai. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ditambah lagi, dari laporan keuangan FY 2024, GIAA menunjukkan bahwa cashflow operasionalnya sudah sangat sehat: USD586 juta, naik 2,6 kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Ini artinya core business-nya mulai pulih. EBITDA juga sudah kembali positif. Apalagi, mereka juga sudah mengonsolidasikan GMF AeroAsia mulai Januari 2025, yang berarti ada potensi kontribusi pendapatan dan margin tambahan dari segmen maintenance.
Tapi sayangnya, semua hal baik itu bisa langsung dihapus oleh satu masalah besar yang makin menonjol belakangan ini: kurs dolar. GIAA dalam laporan FY 2024 menggunakan asumsi kurs Rp15.800 per USD. Tapi per 22 April 2025, kurs sudah naik jadi Rp16.800–Rp16.871, alias melemah lebih dari 6%. FY 2024 saja mereka rugi kurs USD25 juta. Kalau tren ini berlanjut dan hedging mereka tidak cukup agresif, maka Q1 2025 bisa mengalami rugi kurs yang bahkan lebih besar. Dan ingat, rugi kurs ini bukan sekadar catatan di bawah—dia langsung potong bottom-line. Bahkan kalau operasionalnya untung, bisa tetap rugi bersih gara-gara kurs.
Sekarang kita bahas soal transaksi jumbo yang ramai 17 April 2025. Awalnya sempat dikira ini aksi institusi besar, bahkan sempat disebut Rp100 miliar. Tapi setelah dicek data real broker summary, faktanya broker YJ cuma beli Rp10 miliar, dan YB beli Rp800 juta. Total hanya Rp10,8 miliar—jauh dari level “akumulasi jumbo”. Jadi bukan aksi goreng institusi, apalagi bukan sinyal bullish. Lebih mungkin cuma crossing internal atau short-term speculation. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Nah, bagaimana dengan aksi asing? Ini juga sering dijadikan argumen optimisme. Tapi data aslinya nggak mendukung klaim besar-besaran. Net foreign buy YTD hanya Rp3,31 miliar. Bukan triliun. 1 bulan terakhir Rp500 juta, dan 1 minggu terakhir Rp351 juta. Kecil banget. Bahkan CMPP (AirAsia Indonesia), yang mencetak rugi lebih besar dari GIAA (Rp1,52 T vs GIAA Rp1,15 T), malah performa harganya lebih baik: CMPP turun -15%, GIAA turun -25,45%. Padahal secara fundamental, GIAA lebih efisien dan punya cashflow lebih kuat. Artinya? Pasar belum percaya. Net buy asing kecil tidak cukup jadi fondasi reversal harga.
Dengan semua itu, simpulan akhirnya begini: GIAA punya peluang cetak laba Q1 2025, dari sisi efisiensi avtur dan peningkatan trafik. Tapi peluang itu tipis dan rapuh. Jika rugi kurs besar terjadi, semua potensi itu bisa lenyap. Merger Pelita Air belum bisa dijadikan argumen kuat karena belum jalan. Transaksi nego jumbo ternyata cuma Rp10 miliar. Net buy asing receh. Dan harga saham di Rp41 adalah refleksi gamblang bahwa investor belum yakin.
GIAA hari ini ibarat pesawat yang baru aja selesai maintenance. Avtur-nya sudah lebih murah, cuaca cerah pas Lebaran, pilot (manajemen) optimis mau merger. Tapi angin kencang dari kurs dolar bisa bikin goyang. Dan sayangnya, penumpangnya (investor) masih ragu-ragu: mereka belum mau boarding sebelum lihat hasil konkret di Q1 nanti. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau kita bicara soal Garuda Indonesia (GIAA) hari ini, jujur aja: ini bukan soal bagus atau nggaknya laporan keuangan, bukan soal trafik penumpang naik, bukan juga soal harga avtur turun. Ini soal apakah ada bandar baik hati yang mau goreng saham ini, atau kita semua cuma duduk manis nonton chart datar di bawah Rp50 sambil ngelus dada. Karena faktanya, fundamental GIAA bisa dibilang campur aduk. Ada hal baik, seperti harga avtur yang makin turun dan arus kas operasional yang mulai sehat. Tapi ada juga bom waktu yang siap meledak sewaktu-waktu: kurs dolar yang udah bablas ke Rp16.800-an, bikin potensi rugi kurs makin dalam. FY 2024 aja mereka udah rugi USD25 juta gara-gara kurs. Di Q1 2025? Bisa lebih parah kalau rupiah tetap loyonya kayak sekarang.
Kalau kita bandingkan langsung, harga avtur vs kurs—yang lebih signifikan? Jelas kurs. Karena fuel cost bisa ditekan lewat efisiensi operasional dan kontrak jangka panjang. Tapi kurs? Itu langsung potong bottom line. Utang leasing Garuda dalam USD, banyak pembayaran jet fuel juga dalam USD. Jadi meskipun avtur turun dari Rp13.300 jadi Rp12.000-an, kalau kurs naik seribu perak, itu bisa jadi rugi puluhan juta dolar AS. Jadi jangan heran kalau laporan Q1 nanti ternyata “kok masih rugi, padahal tiket mahal dan pesawat penuh?”—ya karena kurs bisa membabat semuanya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu soal isu merger dengan Pelita Air, ini ibarat janji manis di tengah hubungan yang udah lama hambar. Disampaikan awal tahun, diumumkan secara resmi, bahkan disorot langsung oleh Erick Thohir. Tapi sampai Hari Bumi 2025, masih “kajian awal.” Pasar udah kenyang sama rencana-rencana BUMN yang gak kesampaian, jadi ya wajar kalau harga saham tetap diam di Rp41. Kalau merger-nya beneran jadi? Ya jelas bisa jadi sentimen positif. Tapi ingat, itu kalau beneran jadi, bukan cuma headline di media.
Nah, ini bagian paling menyentuh. Jangan pernah lupakan bahwa Chairul Tanjung, salah satu orang terkaya di Indonesia, masih nyangkut di GIAA sejak IPO Februari 2011 di harga Rp750. Hari ini? Rp41. Udah 14 tahun lebih. Sahamnya nggak pernah mendekati harga IPO lagi. Bahkan setelah restrukturisasi utang, setelah pandemi, setelah rights issue, dan setelah segala bentuk penyelamatan, harga sahamnya tetap parkir di level saham tidur. Artinya, kalau kamu berharap ada “bandar baik hati” yang bisa dorong harga naik, mungkin kamu sedang berharap pada sosok seperti Chairul Tanjung sendiri. Tapi apakah dia mau goreng? Gak ada yang tahu. Cuma bisa dibilang: kalau dia aja udah sabar nunggu belasan tahun dan masih tahan, ya silakan kamu tentukan sendiri: kamu siap nyangkut bareng beliau atau lebih baik minggir?
Karena kalau Chairul Tanjung saja bisa nyangkut selama 14 tahun dan masih belum keluar, maka kamu sebagai investor ritel harus jujur bertanya ke diri sendiri: seberapa kuat kamu bisa tahan di saham ini? Jangan cuma berharap ada institusi baik hati yang tiba-tiba mengangkat harga. Karena sejarah menunjukkan, GIAA itu naik bukan karena kinerja, tapi karena momentum dan bandarnya lagi iseng. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jadi akhirnya keputusan tetap kembali ke kamu. Kalau kamu yakin, kuat mental, dan siap nyangkut seperti Chairul Tanjung—ya silakan hajar beli. Tapi kalau kamu merasa ini cuma jadi beban batin dan dompet, ya lebih baik hindari. Karena dalam dunia saham, nggak ada paksaan. Tapi yang pasti, pasar nggak pernah kenal kasihan sama yang terlalu percaya tanpa bukti. Dan GIAA sudah kasih banyak janji selama lebih dari satu dekade—tinggal kamu yang pilih: percaya, atau cukup sampai di sini.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BREN $PANI
1/10