iPhone $BOBA Berubah Jadi Android
Lanjutan analisis dari postingan sebelumnya tentang BOBA di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Kalau lihat laporan keuangan BOBA Q1 2025, kita bisa bilang ini contoh klasik perusahaan yang secara operasional masih aman-aman aja, tapi kelihatan belum bisa lepas dari jebakan zona nyaman. Laba bersihnya turun tipis 4,6% jadi Rp3,23 miliar. Turun sih, tapi bukan karena mereka nggak bisa jualan atau rugi gede. Justru dari sisi operasional, mereka lumayan efisien. Yang bikin menarik adalah kontras antara efisiensi produksi yang membaik dengan lesunya kinerja pendapatan dan sisi lain yang harusnya jadi penyokong laba malah bikin seret. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Coba bayangin, penjualan turun 9,6% jadi Rp38 miliar—gara-gara kontrak ekspor yang delay dan penurunan permintaan sirup di pasar lokal. Tapi biaya pokok penjualan alias COGS-nya turun lebih dalam, 16,1% jadi Rp25 miliar. Artinya, mereka berhasil tekan biaya produksi lebih kenceng dari penurunan pendapatan. Hasilnya? Gross margin naik dari 28% jadi 33%. Secara teori harusnya bagus, kan? Tapi masalahnya, margin yang bagus ini dipotong sama kenaikan beban usaha yang naik 7%—gara-gara gaji, logistik, dan ongkos kirim yang makin mahal, kayak kita yang makin sering kena ongkir kalau beli online. Jadi margin operasi naik, tapi langsung ditarik ke bawah sama pengeluaran rutin yang makin bengkak.
Nah, bagian paling ngeselin itu datang dari pos non-operasional. Biasanya, perusahaan suka dapet “bonus” dari pendapatan non-core kayak laba kurs, penjualan aset, atau penghasilan lain-lain. Tapi BOBA malah rugi dari situ. Pendapatan dari kurs dan pos lain cuma recehan, sementara beban lain-lain dan keuangan bikin laba sebelum pajaknya berkurang. Jadi, kontribusi dari non-core malah negatif Rp180 juta. Bayangin, padahal ini bisa jadi faktor pendorong laba, malah jadi pengurang. Kalo aja bagian ini netral, laba bersihnya mungkin bisa naik atau minimal flat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari sisi neraca, kas mereka lumayan kuat di atas Rp12 miliar. Aset total memang turun tipis karena kasnya kepakai buat beli bahan baku dan bayar utang. Tapi justru itu yang bikin bagus—liabilitasnya turun drastis 24%, jadi sekarang utang berbunga mereka tinggal Rp740 juta. Artinya apa? Ya kalau mau, mereka bisa lunasin semua utangnya pakai kas hari itu juga. Dan mereka masih punya cadangan buat operasional. Arus kas dari aktivitas operasi juga masih positif, Rp6,9 miliar. Turun dari tahun lalu, tapi masih sehat. Capex dan cicilan leasing tercover, jadi free cash flow-nya aman. Intinya, dari sisi likuiditas dan solvabilitas, BOBA nggak dalam bahaya. Mereka bukan perusahaan yang megap-megap kehabisan napas, tapi lebih kayak pelari yang milih jogging santai daripada sprint.
Tapi jangan buru-buru senang dulu. Kalau dibedah lebih dalam, 99,9% revenue mereka datang dari satu segmen: bahan makanan dan minuman, utamanya bahan baku bubble tea. Jadi kalau pasar bubble tea mulai bosan, atau kalah saing sama tren minuman baru yang lebih “herbal” dan “organik”, bisa-bisa revenue mereka kena hantam. Mereka punya segmen lain kayak mesin dan produk non-beverage, tapi kontribusinya nyaris nggak ada. Ini mirip kayak restoran yang cuma jual satu jenis menu, kalau pelanggan bosen, ya udah tamat.
Lebih lanjut, pembelian bahan baku dari pihak-pihak berelasi kayak PT Kavindo dan kawan-kawannya nyampe 27% dari total purchase. Memang, pembayarannya dilakukan tunai dan belum ada indikasi markup, tapi konsentrasi ini bikin rawan. Kalau hubungan internal nggak transparan atau ada konflik kepentingan yang disembunyikan, bisa jadi bom waktu. Ditambah lagi, nggak ada kebijakan hedging buat lindungi dari fluktuasi kurs, padahal mereka impor bahan baku dan akhir Maret posisi USD mereka negatif sekitar 11 ribu dolar. Emang kecil, tapi tetap aja—kalau dolar naik, margin bisa langsung kepotong. Dan jawaban manajemen? Cuma “kami pantau pergerakan kurs.” Kayak nonton gelas jatuh tapi cuma diam sambil berharap gak pecah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sisi lain, nggak ada utang berbunga variabel, jadi risiko dari kenaikan suku bunga BI aman terkendali. Mereka juga nggak punya masalah hukum yang signifikan. Bahkan mereka punya kontrak baru dengan klien besar, Quaker, yang bisa naikin penjualan hingga pertengahan tahun. Ini bisa jadi angin segar kalau dieksekusi dengan benar. Tapi ya balik lagi—semua itu tetap bergantung pada satu jenis produk. Kalau bubble tea anjlok, semua strategi bisa jadi percuma.
Jadi apa langkah logis ke depan? Pertama, mereka harus mulai cari diversifikasi. Ekspor bisa jadi jalan, atau mulai masuk ke produk lain yang masih inline tapi beda pasar. Kedua, lindung nilai harus mulai dilirik. Nggak usah langsung yang kompleks, mulai aja dari natural hedge atau forward kontrak sederhana. Ketiga, transparansi soal transaksi dengan entitas afiliasi harus ditingkatkan—termasuk ngasih info benchmarking harga transfer. Dan terakhir, kas yang nganggur bisa dimaksimalkan lewat surat berharga jangka pendek yang aman dan likuid, jadi ada tambahan income dari situ.
BOBA itu bukan perusahaan yang bermasalah besar, tapi punya risiko-risiko kecil yang kalau dibiarkan bisa ngumpul dan nyusahin. Laba turun bukan karena kegagalan strategi besar, tapi karena mereka belum berani ambil langkah lebih jauh. Operasi udah efisien, tapi sisi lain kayak pendapatan tambahan, diversifikasi, dan mitigasi risiko belum dimaksimalkan. Jadi ya, ini bukan soal kemampuan bikin cuan, tapi soal keberanian keluar dari comfort zone. Jangan sampai BOBA yang manis di mulut, malah pahit di portofolio. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau dulu BOBA bisa dibilang iPhone-nya industri bahan baku minuman—lincah, premium, dan selalu punya alasan buat jadi favorit investor—sekarang aroma downgrade mulai tercium. Bukan cuma karena labanya turun 4,6% jadi Rp3,23 miliar, tapi karena semua indikator mulai menunjukkan bahwa kejayaan ala iPhone itu mulai pudar, dan perlahan berubah jadi Android kelas menengah yang tampilannya masih kinclong tapi mesinnya mulai ngos-ngosan. Penjualan kuartal I 2025 turun 9,6% ke Rp38 miliar, dan meskipun gross margin berhasil naik dari 28% ke 33% karena COGS turun 16%, itu pun bukan karena strategi pricing jitu, tapi karena volume produksi yang mengecil dan efisiensi yang akhirnya dipaksakan. Sementara pendapatan non-core yang dulu bisa bantu angkat laba, sekarang malah nyeret ke bawah. Bukannya nambah, malah jadi beban Rp180 juta.
Tapi masalah BOBA bukan cuma ada di angka. Ada satu faktor besar yang mungkin belum dihitung dengan serius: perubahan pola hidup konsumen. Kita nggak bisa tutup mata bahwa tren "no sugar", "less calories", dan "plant-based everything" makin ngegas. Minuman manis, terutama yang berbasis sirup dan boba, makin dianggap guilty pleasure yang harus dikurangi. Gaya hidup sehat bukan sekadar tren sesaat—ini udah jadi gaya hidup baru, dan BOBA masih terlalu nyaman hidup di dunia bubble tea. Saat kompetitor mulai lirik bahan baku untuk jus organik, oat drink, atau collagen booster, BOBA masih sibuk jualan topping dan sirup. Dan karena 99,9% revenue mereka bergantung di satu segmen—bahan baku minuman kekinian—maka kalau pasar mulai ogah minuman manis, ya selesai. Udah kayak hape flagship yang cuma bisa buka satu aplikasi doang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu soal harga bahan baku, ironisnya justru menambah paradoks. Sebagian bahan baku BOBA diimpor, dan saat nilai tukar USD mulai naik, perusahaan ini malah bilang “kami pantau saja pergerakan kurs.” Mereka belum hedging, padahal posisi USD mereka negatif dan sekitar 18% bahan baku berasal dari luar negeri. Dalam dunia nyata, ini ibarat beli komponen iPhone pakai dolar tapi berharap kurs nggak berubah. Meanwhile, harga bahan baku pangan dunia cenderung fluktuatif—terutama komoditas berbasis gula dan turunan kelapa yang jadi bahan utama sirup dan topping. Jadi risiko kenaikan harga jelas nyata, dan belum ada strategi nyata buat jaga margin dari tekanan itu.
BOBA sedang mengalami sindrom Androidisasi. Dulu premium, sekarang makin kompromi. Operasional masih berjalan, tapi semua mulai terasa seperti produk generik yang menunggu giliran diganti. Mereka punya kas banyak, utang kecil, tapi sayangnya tidak digunakan untuk investasi ke arah yang lebih sehat—baik secara bisnis maupun menyambut shifting consumer behavior. Jadi, kalau dalam dua tahun ke depan pola minum masyarakat Indonesia makin condong ke infused water atau kombucha, dan BOBA masih jualan sirup rasa gula, ya siap-siap aja jadi HP ex-flagship yang akhirnya dijual second di forum. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ACES $UNVR
1/2