imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Mungkin Melarang Bandar?

Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Di dunia pasar modal Indonesia, istilah “bandar” seringkali diasosiasikan dengan sosok licik yang memainkan harga seenaknya demi keuntungan sendiri. Bagi investor pemula, sosok ini terdengar seperti penjahat di balik layar—mengatur ritme saham, menciptakan euforia palsu, dan menghilang saat harga sudah tinggi. Tapi kalau kita bedah dari sudut pandang ekonomi dan psikologi, keberadaan bandar bukan sekadar mitos urban pasar saham. Justru, bandar adalah bagian vital dari sistem yang mendukung likuiditas pasar. Tanpa mereka, pasar bisa lumpuh. BEI tidak akan dapat fee dari transaksi yang kecil-kecil, harga saham tidak akan bergerak, dan IHSG akan jadi museum digital tanpa kehidupan. Ironisnya, makhluk yang sering dikutuk investor ritel ini sebenarnya adalah salah satu elemen yang bikin bursa tetap hidup dan berdenyut. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Analogi sederhananya begini, pasar modal itu seperti kolam renang umum. Investor ritel itu anak-anak yang baru belajar berenang, masih pakai ban dan pelampung. Kalau cuma mereka yang berenang, airnya tenang-tenang aja. Tapi nggak rame. Begitu masuk bandar—yang dalam analogi ini adalah orang dewasa berbadan besar yang lompat dari tepi kolam—air langsung berguncang. Ada ombak, ada riak, semua jadi bergerak. Kadang anak kecil kena cipratan, kadang tenggelam juga. Tapi tanpa mereka, kolam itu kosong dan dingin. Sepi. Nggak ada dinamika.

Secara teori ekonomi, fungsi utama pasar modal adalah menyediakan tempat bertemunya penjual dan pembeli, dalam volume besar, dengan harga yang efisien. Tapi kenyataannya, mayoritas investor ritel hanya bisa nyicil lot kecil. Sebagian besar transaksi bernilai di bawah Rp10 juta per akun. Kalau hanya mengandalkan mereka, transaksi harian di IHSG tidak akan menyentuh angka Rp10 triliun seperti saat ini. Di sinilah bandar berperan. Mereka masuk dengan modal besar, menciptakan gelombang harga, dan memancing minat beli—atau panik jual—dari investor kecil. Tujuannya? Likuiditas. Mereka butuh volume untuk keluar masuk, dan pasar pun butuh volume untuk hidup. Di luar negeri, ini disebut market maker. Di Indonesia, nama kerennya: bandar. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Masalahnya bukan keberadaan bandar, tapi bagaimana mereka memanfaatkan kecenderungan psikologis investor ritel yang sangat mudah terbaca. Ini bukan tuduhan ngawur, tapi sudah dibuktikan dalam studi psikologi perilaku keuangan. Salah satu yang paling terkenal adalah Prospect Theory dari Daniel Kahneman dan Amos Tversky, yang menemukan bahwa manusia lebih takut rugi ketimbang senang dapat untung. Akibatnya, saat harga saham jatuh, ritel panik dan menjual dalam rugi besar. Sebaliknya, saat harga naik, ritel langsung FOMO dan beli di pucuk. Bandar tidak perlu menyuap siapa-siapa. Cukup menciptakan narasi, memainkan bid-offer, atur frekuensi broker, dan bikin grafik yang menarik—ritelnya akan datang sendiri.

Gambaran kasarnya seperti ini, bandar itu mirip pesulap jalanan. Mereka tahu trik-trik sulap visual yang bikin penonton fokus ke tangan kanan, padahal aksi sesungguhnya dilakukan di tangan kiri. Grafik saham digerakkan sedikit, volume dibumbui angka-angka cantik, lalu muncul narasi samar dari influencer pasar. Ritel datang bukan karena dipaksa, tapi karena “penasaran” dan berharap kali ini bisa menang. Padahal, sejak awal bandar sudah tahu siapa yang akan jadi penonton, siapa yang akan jadi atraksi.

Contoh paling umum bisa dilihat di saham-saham yang tiba-tiba naik 20–25% dalam dua hari, hanya karena rumor, sentimen, atau pemberitaan samar yang dibesar-besarkan. Dalam hitungan hari, saham bisa naik dua kali lipat tanpa fundamental yang mendukung. Ritel masuk dengan semangat, lalu ketika harga diguyur bandar, mereka nyangkut dengan santai. Bahkan di forum-forum saham, banyak yang sudah tahu pola ini tapi tetap masuk, dengan harapan “kali ini gue bisa keluar duluan”. Lagi-lagi, emosi mengalahkan logika.

IHSG sendiri memang sudah seperti panggung drama ekonomi yang ditulis oleh psikolog. Naik turun bukan selalu karena fundamental emiten, tapi lebih karena persepsi kolektif pelaku pasar. Nah, bandar sangat paham psikologi massa ini. Mereka tahu kapan ritel mulai serakah, kapan mulai takut, dan kapan mulai bosen. Semua dimanfaatkan dalam koreografi harga yang mematikan. Apalagi, BEI tidak melarang aktivitas seperti marking the close, front-running, atau hidden distribution asal masih dalam batas hukum. Jadi, ruang gerak bandar terbuka lebar, dan mereka memanfaatkannya dengan cerdas. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lucunya, justru tanpa bandar, banyak saham akan stuck. Tidak bergerak. Investor juga akan malas trading. BEI bisa kehilangan fee transaksi yang jadi sumber pendapatan utama. Sekuritas pun bakal sepi nasabah. Jadi meskipun terlihat meresahkan, bandar sebenarnya memberi “darah” pada pasar. Tanpa mereka, IHSG bisa mati pelan-pelan. Maka tak heran kalau bandar dianggap sebagai “necessary evil”—sesuatu yang menyebalkan tapi tidak bisa dihilangkan.

Bayangkan saja pasar modal seperti pasar malam. Bandar itu kayak pedagang besar yang pasang lampu terang, musik keras, dan promo buy 1 get 7. Apakah semua pengunjung sadar ini gimmick? Iya. Tapi tetap datang, karena pasar jadi hidup. Kalau mereka disuruh tutup karena “terlalu gaduh”, pasar malam itu sepi, pedagang kecil ikut mati, dan nggak ada yang belanja lagi. Pasar tanpa bandar ya seperti taman bermain tanpa wahana—sunyi dan tidak menguntungkan siapa-siapa.

Pertanyaannya sekarang, apa yang bisa dilakukan investor ritel? Jawabannya bukan berharap bandar dilarang, karena itu mustahil. Justru, solusi satu-satunya adalah belajar memahami pola permainan mereka. Investor perlu upgrade skill. Bukan cuma baca laporan keuangan atau indikator teknikal standar, tapi juga belajar baca tape (bid-offer), mengenali pola akumulasi dan distribusi, memperhatikan broker summary, serta mengenali saham yang sering jadi mainan. Jangan cepat FOMO, jangan latah ikut saham yang viral, dan jangan terlalu percaya sinyal dari grup Telegram yang isinya cuma “besok ARA”. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Karena pada akhirnya, IHSG itu bukan pasar ideal ala textbook. Ini adalah medan perang antara logika dan emosi, antara big money dan retail noise. Bandar sudah lebih dulu paham dua-duanya—dan investor ritel hanya bisa bertahan kalau tahu cara menari di tengah badai. Jangan berharap pasar jadi adil, karena tidak akan pernah. Yang bisa dilakukan adalah belajar, bertahan, dan jangan pernah jadi mangsa yang mudah ditebak. Kalau kamu masih berharap pasar akan adil, coba bayangkan ini: kamu duduk di meja judi poker, dikelilingi pemain profesional yang udah main puluhan tahun. Mereka tahu kapan harus bluffing, kapan harus fold. Sementara kamu baru tahu aturan mainnya semalam. Kalau kamu terus ngotot ikut main tanpa belajar dulu, jangan salahkan meja kalau chip kamu habis duluan. Karena kalau kamu tidak tahu siapa yang jadi korban di meja permainan saham, besar kemungkinan… kamulah korbannya.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BREN $BBRI $ANTM

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy