Catatan Pribadi. Senin, 21 April 2025.
Kata kunci: Bursa Karbon, EBT, Potensi.

Karbon Kredit: Aset Hijau Baru yang Menggoda Investor di Indonesia

Indonesia saat ini berada dalam posisi yang sangat strategis dalam lanskap perdagangan karbon global. Dengan wilayah hutan tropis yang sangat luas, lahan gambut yang mendalam, hingga ekosistem pesisir seperti mangrove dan padang lamun yang tersebar dari barat hingga timur nusantara, potensi penyerap karbon negeri ini tak tertandingi. Namun yang menarik, potensi ini tak lagi hanya menjadi urusan konservasi atau lingkungan hidup semata. Dalam beberapa tahun terakhir, karbon kredit telah menjelma menjadi sebuah asset class baru yang diperdagangkan secara aktif, baik di bursa domestik maupun pasar sukarela internasional. Para investor mulai melihat karbon sebagai komoditas masa depan: hijau, menguntungkan, dan relevan dengan tren keberlanjutan global.

Secara sederhana, karbon kredit adalah sertifikat yang mewakili satu ton pengurangan emisi karbon dioksida atau gas rumah kaca ekuivalen. Proyek-proyek yang berhasil menurunkan emisi—baik melalui reforestasi, penggunaan energi terbarukan, atau perlindungan ekosistem alami—dapat mengklaim dan menjual kredit tersebut kepada pihak lain yang membutuhkan offset emisi. Pasar karbon sendiri terbagi menjadi dua: pasar sukarela (voluntary carbon market) dan pasar wajib (compliance market). Yang pertama didorong oleh inisiatif perusahaan dalam memenuhi target ESG dan reputasi hijau, sementara yang kedua diatur secara ketat oleh kebijakan negara atau blok ekonomi seperti Uni Eropa.

Di tengah transformasi global menuju ekonomi hijau, Indonesia digadang-gadang sebagai salah satu negara dengan potensi karbon kredit terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), potensi pengurangan emisi dari sektor kehutanan Indonesia saja bisa mencapai lebih dari satu miliar ton CO2e per tahun. Sementara itu, sektor energi dan industri menyumbang potensi tambahan sekitar 400 juta ton. Secara ekonomi, nilai potensi karbon kredit Indonesia diperkirakan mencapai USD 150 miliar hingga tahun 2050 (KLHK, 2023).

Upaya konkret untuk mengakselerasi pasar karbon nasional terlihat dari peluncuran Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon pada September 2023. Bursa ini berada di bawah pengelolaan Bursa Efek Indonesia dan menjadi sarana resmi perdagangan karbon di dalam negeri. Dalam seratus hari pertama peluncurannya, volume perdagangan mencapai lebih dari 460 ribu ton karbon dengan nilai transaksi mendekati Rp29 miliar. Beberapa emiten besar seperti PLN, Pertamina, dan anak usaha Astra telah menjadi pionir dalam transaksi awal ini (BEI, 2024).

Potensi Indonesia tidak hanya berasal dari hutan hujan tropis dan gambut, tetapi juga dari ekosistem laut yang dikenal sebagai penyerap karbon biru (blue carbon). Kawasan seperti pantai utara Jawa, Kalimantan Timur, hingga Nusa Tenggara menyimpan peluang besar untuk menciptakan proyek konservasi mangrove dan lamun yang mampu menghasilkan kredit karbon dengan nilai tinggi. Selain itu, proyek-proyek energi bersih seperti pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan panas bumi juga mulai berkontribusi dalam menciptakan karbon kredit dari pengurangan emisi.

Dari sisi investasi, karbon kredit kini menjadi alternatif aset yang sangat menarik, terutama bagi investor yang memiliki mandat keberlanjutan. Harga karbon global menunjukkan tren kenaikan seiring meningkatnya regulasi lingkungan. Di Uni Eropa, misalnya, harga karbon dalam sistem EU ETS (Emission Trading Scheme) telah menyentuh angka di atas USD 90 per ton, jauh lebih tinggi dibanding harga karbon domestik di Indonesia yang masih berkisar Rp30.000–Rp80.000 per ton atau sekitar USD 2–6 per ton. Disparitas harga ini menciptakan peluang arbitrase dan mendorong investor untuk berpartisipasi lebih awal di pasar karbon lokal (World Bank, 2023).

Meski demikian, perjalanan Indonesia menuju ekonomi karbon belum tanpa tantangan. Saat ini masih terdapat keterbatasan pada jumlah lembaga verifikasi lokal yang kredibel, rendahnya literasi karbon di kalangan pelaku usaha, serta kompleksitas regulasi yang berbeda antara pusat dan daerah. Risiko greenwashing juga menjadi perhatian, mengingat tingginya tekanan terhadap perusahaan untuk terlihat hijau di mata publik. Namun dengan roadmap transisi energi yang semakin jelas, insentif fiskal dan nonfiskal dari pemerintah, serta dorongan dari pasar global, Indonesia berada di jalur yang tepat untuk mengukuhkan diri sebagai eksportir karbon kredit kelas dunia.

Bagi investor pasar modal dan institusi keuangan, karbon kredit tak hanya menawarkan imbal hasil finansial, tetapi juga reputasi, mitigasi risiko lingkungan, dan kepatuhan terhadap standar ESG global. Kini adalah saat yang tepat untuk tidak sekadar menjadi pengamat, melainkan mengambil peran aktif dalam ekosistem karbon yang sedang tumbuh ini.

Dampak Bursa Karbon bagi Emiten Energi Terbarukan di Indonesia

Peluncuran Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon telah membuka babak baru dalam lanskap investasi hijau, termasuk bagi sejumlah emiten energi terbarukan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Lima perusahaan yang mencuri perhatian dalam konteks ini adalah PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Hero Global Investment Indonesia Tbk (HGII), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dan PT United Tractors Tbk (UNTR). Kelimanya, dengan berbagai pendekatan terhadap energi bersih, kini memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan melalui perdagangan karbon.

ARKO, misalnya, merupakan pengembang pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang tengah memperluas kapasitasnya dengan proyek PLTA Yaentu (10 MW) dan Kukusan (5,4 MW). Walaupun kinerja keuangan semester I-2024 mencatatkan penurunan laba dan pendapatan, potensi monetisasi kredit karbon dari proyek-proyek barunya berpotensi menjadi katalis positif bagi ARKO di masa mendatang.

Sementara itu, KEEN sudah memproduksi lebih dari 350.000 MWh energi terbarukan per tahun dari berbagai sumber seperti PLTA dan biomassa. Perusahaan ini telah lebih dulu aktif dalam perdagangan karbon domestik, dan langkah tersebut tercermin dalam peningkatan laba bersihnya di tengah penurunan pendapatan. Ini menjadi bukti konkret bahwa kredit karbon dapat menjadi sumber pendapatan tambahan yang signifikan.

HGII adalah pemain baru yang tengah menyiapkan proyek PLTA berkapasitas total 35 MW di Sumatera Utara. Meski belum memiliki kontrak jual-beli listrik dengan PLN, perusahaan ini memiliki prospek cerah untuk meraih pendapatan dari kredit karbon begitu proyek mulai berjalan. Rencana IPO yang dilakukan dengan harga penawaran di kisaran Rp200–230 per saham menunjukkan antusiasme investor terhadap ekspansi energi terbarukan.

Berbeda dengan emiten lain, BREN sudah mencatatkan pendapatan dari kredit karbon—yakni sekitar USD3,57 juta pada 2022. Anak usaha dari Barito Pacific ini juga memperluas portofolio energinya dengan mengakuisisi tiga proyek pembangkit tenaga angin berkapasitas total 320 MW di tiga lokasi strategis di Indonesia. Langkah ini tidak hanya memperkuat posisi BREN sebagai pemimpin energi bersih, tetapi juga membuka ruang baru untuk memperdagangkan lebih banyak kredit karbon.

UNTR, yang dikenal sebagai pemain utama di sektor alat berat dan pertambangan, kini mulai serius masuk ke ranah energi hijau. Melalui anak usahanya, UNTR telah mengakuisisi sebagian saham ARKO dan berinvestasi di proyek geothermal melalui PT Supreme Energy Sriwijaya. Langkah ini mempertegas arah transformasi UNTR menuju perusahaan yang lebih ramah lingkungan sekaligus memanfaatkan peluang dari bursa karbon.

Secara keseluruhan, kelima emiten ini berada dalam posisi yang tepat untuk meraup manfaat dari kebijakan perdagangan karbon yang mulai mengakar di Indonesia. Dengan regulasi yang makin jelas dan meningkatnya permintaan global terhadap kredit karbon, investor kini memiliki alternatif baru yang tidak hanya menjanjikan keuntungan finansial, tetapi juga memberikan kontribusi nyata terhadap keberlanjutan lingkungan.

Referensi:

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 2023

Bursa Efek Indonesia (BEI), IDXCarbon Report, 2024

World Bank, State and Trends of Carbon Pricing 2023

IESR, Indonesia Energy Transition Outlook 2023

https://cutt.ly/hrg7jDgm, BloombergTechnoz, dan https://cutt.ly/Qrg7jFpO (2024)

$UNTR $ARKO $BREN

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy