Rapat atau Trump atau Ormas?
Kalau kamu merasa kerjaanmu di kantor belakangan makin monoto, isi hari cuma pindah dari satu rapat ke rapat lain, dengerin bos ngomong pakai jargon ala seminar motivasi, dan pulang dengan to-do list yang bahkan gak jelas siapa yang nulis — selamat, kamu tidak sendiri. Ini bukan cuma masalah kantormu yang kebanyakan gaya, tapi bagian dari penyakit global yang lebih besar: dunia kerja yang makin penuh distraksi, dan ekonomi dunia yang makin labil gara-gara kelakuan politisi yang mengira Tiktok adalah tempat bikin kebijakan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Indonesia belakangan ini punya semacam budaya kerja yang mirip kayak ajang pencitraan. Semakin sering kamu ikut rapat, semakin kamu dianggap penting. Gak peduli kamu ngerti apa enggak, yang penting hadir dan senyum. Mau rapatnya ada 10 orang tapi yang ngomong cuma 2? Gak masalah, yang penting “kolaboratif.” Jamie Dimon, bos JPMorgan yang udah kenyang pengalaman pimpin bank raksasa, nulis surat tahunan sepanjang 57 halaman, dan isinya gak cuma bahas neraca atau ROE. Dia justru ngegas soal kebiasaan rapat yang mubazir. Dia bilang: buang rapat yang gak penting, kasih waktu mulai dan selesai yang jelas, undang hanya yang relevan, dan yang paling penting — jangan main HP pas orang lagi ngomong. Menurut dia, itu gak sopan dan buang-buang waktu. Dan kalau Jamie Dimon saja sudah sampai naik darah soal ini, bayangin berapa banyak waktu dan uang yang terbuang karena meeting yang lebih mirip acara reunian.
Lalu ada Trump. Ah, Trump. Presiden yang menganggap kebijakan ekonomi bisa diganti kayak status WhatsApp. Baru naik jabatan lagi, langsung ngumumin tarif impor baru ke China yang nilainya hampir nyamain bencana Smoot-Hawley tahun 1930. Bedanya, zaman sekarang dunia udah lebih saling terhubung, jadi efeknya jauh lebih instan. Begitu dia ngumumin tarif baru, S&P 500 langsung anjlok 5% pada 3 April, dan lanjut nyungsep 6% di 4 April. Investor panik, pasar obligasi US dibuang rame-rame, dan — ini yang luar biasa — bahkan dolar ikut dijual. Padahal biasanya, kalau dunia lagi chaos, semua orang lari ke dolar dan US Treasury. Tapi kali ini? Bahkan uang pun udah muak.
Efeknya sampai ke Indonesia? Jelas. Begitu pasar global mulai batuk, emerging market kayak kita langsung flu berat. Net foreign sell tembus triliunan, rupiah tertekan, dan IHSG merah merona bukan karena fundamental jelek, tapi karena Trump kebanyakan main X. Ekspor kita ke China dan AS jadi rawan diganggu. Komoditas goyang. Investor nahan diri. Dan ekonomi domestik? Ya mandek, sambil tetap pura-pura optimis di depan media. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Sementara itu, di kantor-kantor Jakarta, Surabaya, Medan, sampai Makassar, para manajer masih sibuk bikin meeting tanpa output, dengan peserta yang kebanyakan diam, dan presentasi penuh slide warna-warni yang intinya cuma “kita harus bersinergi lintas fungsi dengan pendekatan holistik.” Jamie Dimon pasti udah tepok jidat baca itu. Karena dalam dunia kerja yang sudah terlalu banyak omong dan terlalu sedikit aksi, saran Dimon sangat sederhana: omong yang jelas, kerja yang fokus, dan tolong, matikan HP pas rapat. Karena rapat bukan tempat nonton story gebetan.
Yang lebih ironis, di saat sebagian orang berharap teknologi bisa bantu efisiensi, yang terjadi malah sebaliknya. Startup AI sekarang malah bikin “asisten rapat digital” yang bisa jawab sendiri pertanyaan di Zoom, bahkan bisa “menghadiri” meeting pakai avatar. Jadi manusia bisa liburan, dan robot yang kerja. Sounds cool? Mungkin. Tapi masalahnya bukan karena manusianya capek, tapi karena meeting-nya gak jelas. Kasarnya, bukan kita kekurangan teknologi, kita cuma kebanyakan bullshit.
Sementara itu, investor global juga gak kalah bingung. Di satu sisi, mereka tahu bahwa market itu irasional — kayak karakter Mr. Market yang pernah didiagnosis Warren Buffett sebagai “makhluk mood swing berat.” Tapi di sisi lain, mereka juga manusia biasa. Dan waktu harga saham turun 10% cuma dalam dua hari gara-gara satu kebijakan yang dibatalkan 3 hari kemudian, ya siapa yang gak muntah? Bandingkan dengan krisis besar lain: saat COVID 2020, saat krisis 2008, saat crash 1987 — semuanya punya pemicu yang jelas dan logis. Tapi sekarang? Penyebabnya lebih mirip nonton sinetron: Trump bangun pagi, lihat cuaca cerah, lalu memutuskan naikkan tarif. Besok hujan, dia batalkan. Lusa panas, dia naikkan lagi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Akhirnya, semua ini nyambung: perusahaan penuh rapat tak berguna, dunia dipimpin oleh orang yang tak konsisten, dan investor jadi makin skeptis. Kita hidup di zaman yang, sayangnya, dipenuhi kepastian palsu, kebijakan impulsif, dan overconfidence akibat ilusi informasi. Studi klasik dari Brad Barber & Terrance Odean bahkan nunjukin, investor yang terlalu sering dapat informasi dan terlalu sering transaksi justru performanya lebih buruk. Mereka lebih yakin, lebih aktif, dan... lebih rugi. Sama seperti manajer yang terlalu banyak rapat dan akhirnya gak sempat kerja, investor juga kebanyakan tahu tapi gak sempat mikir.
Jadi apa pelajarannya? Simpel: kalau kamu bos, stop rapat gak penting. Kalau kamu investor, stop overreacting. Dan kalau kamu politisi, stop mikir negara itu seperti akun Tiktok. Karena pada akhirnya, ekonomi butuh ketenangan, pasar butuh konsistensi, dan manusia butuh ruang untuk fokus. Gak usah canggih-canggih dulu. Cukup hentikan distraksi, buat keputusan yang jelas, dan jangan terlalu sering gonta-ganti arah kayak lagi main gasing. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Karena satu hal yang pasti: pasar gak peduli siapa kamu, tapi dia selalu tahu kapan kamu gak serius.
Kalau disuruh milih mana yang lebih parah: kebanyakan rapat, trade war internasional, atau ormas pungli yang bebas tutup pabrik seenaknya — maka jawabannya bukan soal siapa paling nyebelin, tapi siapa yang paling cepat bikin investor angkat kaki dan perusahaan gulung tikar. Dan sayangnya, dari ketiga penyakit kronis itu, yang paling mematikan justru yang lokal, yang nggak perlu visa buat bikin kerusakan: ormas pungli yang merasa punya hak veto atas kegiatan usaha, tanpa modal, tanpa izin, dan tanpa rasa malu.
Mari kita bandingkan satu per satu. Kebanyakan rapat itu memang bikin perusahaan mandek, tapi skalanya masih “internal bleeding”. Produktivitas anjlok, eksekusi lambat, dan karyawan burnout. Tapi setidaknya, kalau CEO-nya waras dan manajemennya sadar, penyakit ini masih bisa diobatin: potong rapat, rombak struktur, pakai OKR, dan semua bisa balik efisien dalam waktu 6–12 bulan. Jamie Dimon sendiri buktikan ini di JPMorgan, yang tetap cetak laba bersih USD 49,6 miliar tahun lalu meski dia ngamuk soal budaya meeting. Artinya? Rapat berlebihan bisa bikin rugi, tapi gak langsung bikin bangkrut. It’s slow poison — annoying, yes, but survivable.
Lalu trade war, terutama antara AS dan China, jelas efeknya global. Ketika Trump main tarif, S&P 500 bisa jatuh 10% dalam dua hari, ekspor global goyah, rantai pasok rusak. Saham-saham komoditas dan ekspor Indonesia seperti SRIL PBRX langsung babak belur. Tapi perlu dicatat: trade war itu ada sistemnya. Walau nyebelin dan bikin pasar volatile, masih ada negosiasi, masih bisa baca tren, dan masih bisa disiasati lewat diversifikasi pasar ekspor. Bahkan ketika Trump ngumbar tarif, Indonesia masih bisa jual batu bara ke India, nikel ke Korea Selatan, atau sawit ke Pakistan. Jadi efeknya luas, tapi bisa dimitigasi.
Nah, sekarang kita masuk ke ranah yang lebih absurd — ormas pungli yang bisa tutup pabrik pakai ancaman, sweeping, atau demo kecil-kecilan. Ini bukan slow poison. Ini bukan volatilitas pasar global. Ini adalah bom molotov langsung di jantung iklim investasi. Begitu ada satu video viral soal pabrik ditutup karena “tidak bayar iuran ormas”, bukan cuma operasional yang stop. Investor asing langsung ambil koper. CEO perusahaan global langsung berpikir dua kali sebelum buka cabang di Indonesia. Dan ini bukan teori: beberapa tahun terakhir, ada kasus nyata seperti pabrik sepatu di Jawa Barat yang akhirnya pindah ke Vietnam karena tidak tahan diganggu. Tenaga kerja hilang, pajak hilang, ekspor hilang. Semua gara-gara segelintir orang yang merasa hukum bisa dinegosiasikan di pos ronda. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu efek makronya? Jauh lebih menghancurkan. Kalau trade war bikin investor waspada, pungli ormas bikin investor trauma. Kalau rapat kebanyakan bikin cash flow seret, pungli bikin bisnis mati total. Bahkan negara semaju apapun, kalau tidak bisa jamin keamanan usaha dan supremasi hukum, gak akan bisa tahan talenta dan modal. Dan Indonesia saat ini sedang menggadaikan dua hal yang paling berharga di mata investor: kepastian hukum dan jaminan operasional.
Jadi siapa pemenangnya dalam kontes “siapa paling merusak ekonomi”? Maaf, tapi gelarnya jatuh ke: ormas pungli yang kebal hukum. Karena mereka bukan cuma ganggu efisiensi, tapi langsung merusak fondasi dasar berusaha — sesuatu yang tidak bisa diperbaiki dengan rapat efisiensi, stimulus fiskal, atau penguatan BI Rate. Satu ormas brutal bisa membatalkan 10 tahun promosi investasi.
Karena pada akhirnya, investor global cuma minta dua hal: stabilitas dan kepastian hukum. Mereka gak butuh jalan tol pribadi, gak butuh disambut gamelan di bandara, dan gak butuh menteri selfie di lokasi groundbreaking. Mereka cuma pengen tahu: kalau saya buka pabrik di sini, ada jaminan gak pabrik saya gak disegel mendadak oleh yang bukan aparat? Kalau pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan yakin, maka maaf, Vietnam dan Malaysia akan tetap menang, meskipun mereka juga kadang suka rapat dan kena dampak trade war. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $ADRO $AADI
1/2