$GJTL Ganti Utang Dollar Jadi Rupiah
Lanjutan dari analisis sebelumnya di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode A38138 https://stockbit.com/post/13223345
Laba Gajah Tunggal tahun 2024 katanya "terbang", tapi kalau dilihat lebih dalam, yang terbang itu bukan pesawat jet, tapi layangan yang ditarik angin cuan dari pos non-operasional dan manuver keuangan yang kebetulan tepat waktu. Laba bersih naik dari Rp1,17 triliun ke Rp1,19 triliun. Naik sih naik, tapi cuma 1,7%. Itu bukan “terbang”, lebih ke “melayang pelan” sambil digedor biaya bunga dan stagnasi margin. Pendapatan naik 6,2% jadi Rp18 triliun, tapi margin kotor tetap mentok di 21,5%. Jadi kalau cari alasan laba naik, bukan dari penjualan yang melejit atau efisiensi biaya yang dramatis, tapi dari pos lain-lain yang tahun ini bantuin angkat angka. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pos "keuntungan lain-lain" melonjak dari Rp81 miliar ke Rp123 miliar. Lonjakan ini bukan dari hasil jual ban, tapi dari revaluasi aset keuangan dan pendapatan sewa dari relasi. Artinya: satu, ini bukan sumber laba yang bisa diandalkan tiap tahun, dan dua, kalau tahun depan bintang-bintang nggak lagi sejajar, laba bisa nyungsep tanpa banyak peringatan. Jadi, ya, tidak bisa disebut sebagai pertumbuhan operasional yang sehat. Ini lebih ke “cuan numpang lewat”.
Tapi titik balik yang bikin laporan keuangan tahun ini patut dapat kredit adalah keputusan pelunasan obligasi dolar US$175 juta. Obligasi ini diterbitkan 23 Juni 2021 saat kurs dolar sekitar Rp14.400, dengan nilai rupiah waktu itu sebesar Rp2,52 triliun. Di akhir 2024, kurs sudah naik ke Rp16.162, dan pada 10 Januari 2025 saat pelunasan dilakukan, kurs JISDOR sudah mencapai Rp16.217. Kalau manajemen nunggu lebih lama, bisa-bisa pelunasan di kurs Rp16.800 seperti April 2025 sekarang. Artinya, mereka berpotensi hemat lebih dari Rp300 miliar hanya dari timing pelunasan. Langkah ini mungkin tidak revolusioner, tapi sangat masuk akal dan menunjukkan manajemen tidak sedang tidur di belakang kemudi.
Pelunasannya pun tidak pakai kas sendiri, tapi diganti dengan pinjaman sindikasi baru sebesar Rp2,8 triliun dalam rupiah. Suku bunga pinjaman ini IndONIA + 2,23%, dengan tenor 8 tahun. Jadi mereka geser dari utang dolar berbunga tetap 8,95% ke utang rupiah berbunga mengambang. Jelas lebih aman dari risiko kurs, tapi mereka sekarang menghadapi risiko suku bunga. Kalau BI Rate naik, beban bunga ikut naik. Tapi secara struktur, utang ini lebih panjang dan fleksibel. Dan yang paling penting: mereka sekarang nggak lagi harus mikirin dolar yang makin menggila tiap tahun. Secara strategi, ini langkah yang bikin napas keuangan lebih panjang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sisi aset, GJTL kelihatan sedang mempersiapkan sesuatu. Uang muka pembelian mesin melonjak dari Rp456 miliar ke Rp1,08 triliun. Ini sinyal ekspansi kapasitas produksi. Persediaan tetap stagnan di Rp2,73 triliun, artinya belum ada lonjakan produksi yang berjalan. Total aset naik 8,4% ke Rp20,56 triliun, sementara liabilitas naik lebih pelan, 4,5% ke Rp11,1 triliun. Ekuitas naik signifikan 13,2% ke Rp9,46 triliun, didorong oleh laba ditahan. Tidak ada revaluasi properti, tidak ada injeksi modal dari luar. Jadi kenaikan ini memang datang dari hasil operasional dan pengelolaan kas yang lebih baik.
Arus kas operasi juga solid: naik 44% dari Rp1,28 triliun ke Rp1,83 triliun. Angka ini lebih besar dari laba bersih, yang menunjukkan kualitas laba cukup bagus. Tapi tetap harus dicatat: arus kas ini terbantu oleh restitusi pajak sebesar Rp176 miliar. Jadi tidak murni hasil dari bisnis inti. Tapi tetap, kas masuk ya tetap kas masuk, dan ini jadi modal yang bagus buat nutup cicilan pinjaman baru sekaligus bayar dividen Rp174 miliar.
Tapi jangan lupa, GJTL masih berdansa di atas tambang darurat. Piutang dari GITI Group—grup relasi utama mereka—mencapai Rp2,85 triliun atau 83% dari total piutang usaha. Ini seperti semua telur ditaruh di satu keranjang, lalu keranjangnya ditaruh di rak paling atas yang sudah lapuk. Kalau GITI ngadat, GJTL bisa ikut kepleset. Belum lagi ada dealer guarantee sebesar Rp1 triliun, yang artinya kalau distributor mereka kolaps, perusahaan wajib kembalikan dana itu. Dan dengan pinjaman baru berbunga floating, kalau BI Rate loncat ke 7-8%, bunga bisa ikut melonjak ke atas 9% dan bikin margin meleleh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Segmen usaha paling menguntungkan tetap ban. Kontribusi dari ban ke revenue total hampir 97%, dan segmen ini pula yang menyumbang mayoritas laba operasional. Unit usaha lain seperti tyre cord dan synthetic rubber hanya jadi pelengkap penderita. Dengan komposisi seperti ini, jelas arah GJTL masih akan bergantung pada dunia perbanaan (bukan perbankan). Dan kalau mereka gagal naikkan margin per ban atau ketinggalan tren pasar global, bisa kejebak di model bisnis yang stagnan.
Gajah Tunggal sekarang ada di persimpangan: mereka bisa jadi pemain dominan ban lokal yang efisien dan bebas risiko kurs, atau jadi korban dari ekspansi setengah matang dan bunga mengambang. Langkah lunasi obligasi lebih awal di tengah gejolak kurs jelas jadi highlight. Tapi jalan ke depan tetap penuh jebakan: dari BI rate, kinerja GITI, sampai keberhasilan ekspansi mesin baru. Mereka sedang naik sepeda di jalanan berlubang—kalau konsisten kayuh dan hati-hati milih jalur, masih bisa finish mulus. Tapi kalau lengah dan percaya diri berlebihan, siap-siap ganti ban—dan bukan ban produksi sendiri. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BREN $ADRO
1/2