@yatsukawa Kalau bicara soal properti, hukumnya jelas: begitu konsumen sudah bayar lunas—apalagi cash keras—developer wajib menyerahkan unit. Nggak peduli dia beli tahun ini atau tujuh tahun lalu, kalau uang sudah masuk full, maka hak konsumen otomatis melekat. Contohnya, sebut saja konsumen Pak J, yang sejak 2017 sudah bayar Rp286 juta untuk unit tipe studio di proyek milik Perusahaan A. Sampai 2025, jangankan kunci, kabar kepastian pun belum ada. Bahkan sempat ditawari opsi tukar unit dengan tambahan biaya—padahal dia udah lunas dari awal. Ini bukan lagi soal keterlambatan teknis, tapi sudah masuk kategori wanprestasi berat. Kalau merujuk UU Perlindungan Konsumen, dan aturan Menteri PUPR, developer itu wajib serah terima sesuai janji kontrak, kecuali ada force majeure yang sah. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Nah, kenapa developer bisa gagal serah terima? Di balik layar, Perusahaan A ini ternyata sudah digugat pailit pada 2020 karena utang menumpuk hingga Rp7 triliun dari lebih dari 15 ribu kreditur. Akhirnya pengadilan kasih jadwal cicilan utang dan penyerahan unit yang diatur bertahap sampai 2027. Tapi progresnya lambat, dan unit yang benar-benar diserahkan baru belasan ribu dari puluhan ribu yang sudah terjual. Akibatnya, induk usahanya—sebut saja Perusahaan B—kena imbasnya. Tahun 2025, Perusahaan B terpaksa lakukan rights issue besar-besaran karena uang kas sudah terkuras buat menyelamatkan proyek anak usahanya. Mereka butuh dana segar, entah buat bangun unit, bayar vendor, atau nutup lubang utang jangka pendek. Akses pinjaman bank pun makin seret karena nama mereka sudah tercoreng di mata publik dan investor.
Developer wajib serahkan unit kalau konsumen sudah bayar lunas. Kalau nggak bisa, harus siap dituntut. Dan kalau kasusnya sampai gagal skala besar seperti ini, bukan cuma konsumen yang buntung, tapi holding-nya juga bisa kehabisan napas dan harus cari modal darurat lewat jalan seperti rights issue. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
$LPCK $LPKR $LPPF