imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$WIFI: Prabowo Memang Kapok Main Saham Tapi Adiknya Tetap Semangat Cuan Saham

Lanjutan diskusi di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Presiden Prabowo Subianto pernah bicara blak-blakan tentang pengalamannya main saham. Dalam salah satu wawancara, beliau mengaku kapok main saham. Katanya, pasar modal itu kejam, dan orang miskin pasti kalah, hanya bandar besar yang menang. Tapi ironi justru muncul dari lingkaran terdekatnya: sang adik, Hashim Djojohadikusumo, malah semakin aktif dan agresif di bursa. Bukan sekadar beli saham buat koleksi, Hashim masuk langsung ke jantung pengendalian, mengakuisisi perusahaan-perusahaan kunci, dan kini tampil sebagai pemain utama dalam proyek infrastruktur digital skala nasional. Salah satu proyek paling mencolok yang ia pegang saat ini adalah PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI), sebuah emiten teknologi yang sedang melakukan rights issue jumbo senilai Rp5,9 triliun untuk membangun jaringan internet rumah di Pulau Jawa. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Langkah Hashim tidak setengah hati. Lewat PT Arsari Sentra Data, ia membeli 45% saham PT Investasi Sukses Bersama (ISB)—entitas induk pengendali WIFI—pada 23 Desember 2024, hanya beberapa minggu sebelum rights issue diumumkan. Transaksi ini membuat Hashim menguasai 22,55% saham WIFI secara tidak langsung. Tak hanya itu, nama-nama besar lain seperti Arwin Rasyid (eks Dirut Telkom dan CIMB Niaga) dan politisi senior Fadel Muhammad juga masuk melalui kepemilikan tidak langsung. Mereka mengambil porsi saham di atas WIFI melalui entitas Media Wiguna Nusantara. Meski tak ada perpindahan saham di pasar publik, arah dan kendali perusahaan jelas sudah berubah tangan. Artinya, ini bukan lagi proyek bisnis biasa—melainkan proyek yang telah masuk ke orbit elite kekuasaan dan regulator masa lalu.

Rights issue WIFI sendiri dirancang untuk mengumpulkan dana Rp5,9 triliun melalui penerbitan 2,95 miliar saham baru dengan harga Rp2.000 per lembar. Rasio yang ditetapkan adalah 4:5—artinya pemegang 4 saham lama dapat 5 HMETD. Jika semua diserap, jumlah saham beredar naik jadi 5,31 miliar lembar, dan valuasi pasar dengan harga Rp2.250 bisa tembus Rp11,95 triliun. Dana ini akan dikucurkan seluruhnya ke anak usaha, PT Integrasi Jaringan Ekosistem (IJE), untuk membangun 4 juta homepass jaringan fiber-to-the-home (FTTH) di Pulau Jawa. Target layanan: internet rumah 200 Mbps dengan harga Rp100.000 per bulan. Proyek ini didesain sejalan dengan rencana pemerintah yang sedang disiapkan oleh Kominfo—yakni penyediaan layanan fixed broadband murah dengan kecepatan 100 Mbps dan tarif antara Rp100.000–Rp150.000.

Menariknya, jadwal rights issue ini nyaris berbarengan dengan rencana pemerintah melelang spektrum 1,4 GHz untuk mendukung fixed broadband murah pada semester I 2025. Artinya, ketika pemerintah butuh infrastruktur digital siap pakai, WIFI sudah punya blueprint dan siap roll out jaringan. Dari 70,6 juta rumah tangga di Indonesia, baru sekitar 21,31% yang memiliki koneksi internet tetap. Artinya, masih ada 55 juta rumah yang jadi target pasar, dan WIFI menyiapkan 4 juta jaringan langsung di garis depan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Namun di balik narasi strategis ini, investor publik sebaiknya tidak silau dulu. Untuk membuat valuasi Rp11,95 triliun masuk akal, perusahaan harus mampu mencetak laba bersih sekitar Rp796,7 miliar per tahun. Dengan margin laba bersih 30%, ini artinya revenue harus mencapai Rp2,65 triliun. Jika tarif langganan Rp100.000 per bulan, dibutuhkan sekitar 2,2 juta pelanggan aktif. Artinya, utilisasi jaringan minimal 55%. Ini angka besar dan menantang, apalagi jika tidak ada kontrak resmi dari pemerintah atau program bulk-buy dari BUMN seperti PLN atau Telkom.

Transparansi proyek juga patut jadi perhatian. Sampai hari ini, belum ada nama vendor, kontraktor, atau EPC (engineering, procurement, construction) yang diumumkan. Satu-satunya mitra yang disebut adalah Jasa Marga Related Business (JMRB) anak $JSMR untuk penempatan jaringan di ruas tol. Jika vendor utama ditunjuk belakangan dan ternyata memiliki afiliasi dengan pemilik saham pengendali, maka investor publik tak punya alat untuk mengawasi efektivitas dana Rp5,9 triliun yang akan dibakar untuk proyek ini. Seluruh dana rights issue mengalir ke anak usaha—bukan ke kas induk atau untuk membayar utang—jadi investor publik tidak mendapat jaminan arus kas balik dalam waktu dekat, apalagi dividen.

Dan itu baru dari sisi fundamental. Dari sisi teknikal pasar, ada risiko nyata jika harga saham tidak dijaga. Kalau saat ex-right harga saham jatuh ke bawah Rp2.000, HMETD jadi tidak bernilai. Investor yang beli saham sebelum cum-right bisa langsung nyangkut. Kalau ini terjadi, potensi gagal rights issue meningkat, proyek bisa tertunda, dan harga saham bisa rontok. Tapi kalau harga dijaga di atas Rp2.000 dan publik ikut menebus, maka ISB tidak perlu menyerap semua dananya, tapi tetap mendapatkan peningkatan kendali—sebuah posisi strategis dengan biaya minimum. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Risiko lainnya datang dari sisi politik. Selama proyek ini di bawah lingkar kekuasaan, mungkin banyak yang mendukung. Tapi jika suatu saat terjadi perubahan rezim, atau muncul sentimen negatif terhadap elite tertentu, maka proyek bisa terbawa arus. Investor publik akan menjadi pihak yang paling rentan terhadap perubahan arah angin ini. Apalagi struktur kepemilikan pasca-RI akan membuat ISB berpotensi menguasai lebih dari 69% saham, membuat RUPS hanya formalitas.

Di sisi lain, potensi upside proyek ini juga besar. Kalau semua berjalan lancar, rights issue terserap, jaringan terbangun, pelanggan masuk, dan proyek diserap pemerintah atau BUMN, maka WIFI bisa berubah dari pemain kecil jadi penyedia infrastruktur digital nasional. Mereka bisa bersaing dengan Telkom, Biznet, dan First Media, khususnya di kota tier 2 dan 3. Jaringan FTTH ini juga bisa disewakan ke ISP lain, OTT seperti Netflix, atau digunakan untuk proyek smart city dan IoT. Bahkan bisa saja IJE dipisahkan dan IPO sendiri, seperti pola yang terjadi di Tower Bersama ($TOWR) dan Sarana Menara Nusantara (TOWR). Jika Danantara—superholding BUMN—ikut masuk, proyek ini bisa langsung masuk ke jalur subsidi dan kontrak jangka panjang dari negara.

Jadi rights issue WIFI adalah cerita yang tak hanya bicara soal angka dan proyek digital, tapi juga tentang bagaimana kekuasaan, modal, dan kebijakan bertemu di satu titik. Investor publik diundang untuk ikut urunan dalam proyek besar ini, tapi harus sadar bahwa peran mereka bukan sebagai pengendali, melainkan sebagai sponsor. Jika berhasil, reward-nya bisa luar biasa. Tapi jika meleset, publik bisa hanya jadi penyokong infrastruktur yang kendalinya tidak pernah mereka miliki. Ini bukan sekadar saham. Ini adalah panggung politik-ekonomi yang dikemas dalam bentuk emiten. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy