imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Data Makro Indonesia Bagus Banget, Tapi Kenapa Rupiah Tetap Lemah?

Kalau kita duduk sebentar, buka data makro Indonesia tahun 2024 dan awal 2025, kelihatannya semuanya baik-baik saja. Ekonomi tumbuh stabil, inflasi jinak, neraca dagang surplus, cadangan devisa kuat. Secara teori, rupiah seharusnya kokoh berdiri, bahkan bisa jadi contoh buat negara-negara berkembang lain. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: rupiah justru semakin melemah, bahkan tembus Rp16.790 per USD di April 2025. Dan ini terjadi di saat indeks dolar AS (DXY) sedang turun di bawah 100, alias dolar AS secara global lagi melemah. Jadi, kalau ditanya kenapa rupiah melemah, jawabannya bukan karena dolar menguat, tapi karena rupiah yang sedang kehilangan wibawa. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Pertama, dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia berhasil mencetak PDB +5,05% di 2024. Di tengah perang dagang global dan ketidakpastian pasar, angka ini patut diapresiasi. Tapi kalau ditelusuri, pertumbuhan ini ditopang oleh konsumsi politik jelang pemilu dan penyelesaian proyek-proyek lama, bukan lonjakan investasi asing atau ekspor non-komoditas. Malah, FDI (foreign direct investment) relatif stagnan dan banyak investor asing justru mencatat net sell di pasar saham sebesar Rp62,6 triliun hanya dalam 6 bulan terakhir. Dalam skala seminggu saja (5–11 April), asing lepas saham senilai hampir Rp6 triliun. Ini menunjukkan bahwa walaupun ekonomi terlihat tumbuh, modal asing memilih keluar diam-diam.

Lalu soal inflasi. Maret 2025 inflasi hanya 1,03% year-on-year, yang secara angka sangat rendah dan tampak menenangkan. Tapi mengapa pasar justru tidak merespons positif? Karena pasar tahu, inflasi rendah ini bukan hasil dari kekuatan ekonomi domestik atau efisiensi sistemik, melainkan karena intervensi harga yang masif. Pemerintah menahan tarif listrik, menyubsidi BBM, mengatur harga pangan. Efeknya: harga memang tidak naik, tapi keuangan negara tertekan. Ini bukan inflasi sehat, tapi inflasi yang ditahan napasnya. Dan investor global bisa membedakan antara stabilitas yang organik dan stabilitas hasil rekayasa fiskal.

Neraca perdagangan pun tetap kuat. Januari 2025 mencetak surplus USD 3,5 miliar, naik 75% dari tahun lalu. Tapi lagi-lagi, pasar tidak terlalu antusias. Kenapa? Karena hasil ekspor itu tidak benar-benar masuk ke sistem domestik. Pemerintah sampai mengeluarkan aturan wajib parkir DHE (Devisa Hasil Ekspor) 100% di bank dalam negeri selama minimal 3 bulan, padahal sebelumnya hanya 30%. Artinya, para eksportir tidak percaya sistem dalam negeri cukup aman dan menarik untuk menyimpan dolar mereka. Mereka lebih nyaman simpan di Singapura, atau lewat skema pembelian aset di luar negeri. Kalau sistem domestik memang sehat dan kredibel, uang seharusnya masuk sendiri tanpa perlu dipaksa.

Sekarang masuk ke cadangan devisa. BI mencatat cadangan sekitar USD 137 miliar pada awal April 2025—angka yang solid. Tapi kenapa BI tetap harus intervensi nyaris tiap minggu di pasar valas? Karena meski cadangan kuat, arus keluar valas terus terjadi, dan tekanan ke rupiah makin besar. Apalagi di tengah gejolak global akibat tarif ekspor dari AS ke Tiongkok dan mitra dagang Asia lain, Indonesia masuk ke dalam daftar negara yang paling sensitif karena masih bergantung pada ekspor komoditas.

Hal ini diperparah oleh masalah struktural dalam negeri. Korupsi sistemik seperti kasus Ketua PN Jaksel yang ditangkap karena menerima suap Rp60 miliar untuk membebaskan korporasi sawit dari jerat hukum, membuat investor luar negeri mengerutkan kening. Kalau sektor hukum bisa ditawar, maka kontrak bisnis juga tidak aman. Kepercayaan bukan cuma dibangun dari angka ekonomi, tapi dari kepastian hukum dan tata kelola negara. Dan itu yang masih jadi PR besar buat Indonesia. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan yang pahit tapi penting: data makro Indonesia memang terlihat bagus, tapi rupiah tetap lemah karena pasar tidak percaya. Bukan tidak percaya pada angka, tapi tidak percaya bahwa angka itu ditopang oleh sistem yang bisa dijaga. Pasar melihat ketidakkonsistenan dalam kebijakan, dominasi narasi politik di atas logika ekonomi, dan ketergantungan yang terlalu besar pada kontrol pemerintah alih-alih membiarkan pasar bekerja.

Uang tidak suka dipaksa. Uang suka stabilitas, transparansi, dan kredibilitas. Dan saat ini, meski angka-angka makro sudah lumayan meyakinkan, ketiga elemen itu masih belum utuh di Indonesia. Makanya, rupiah tetap jadi tumbal dari krisis kepercayaan yang tak bisa ditambal hanya dengan data pertumbuhan dan inflasi. Karena pada akhirnya, kepercayaan tidak bisa dicetak seperti uang. Dia harus dibangun, dipelihara, dan dijaga dengan integritas.

Kalau kita mau jujur, memperkuat rupiah itu bukan soal magic dari Bank Indonesia atau cuma sekadar naikin suku bunga lalu semua masalah hilang. Rupiah itu kayak cermin: dia ngasih tahu seberapa sehat sistem ekonomi dan seberapa besar kepercayaan publik—baik dalam negeri maupun luar negeri—terhadap negara ini. Jadi kalau kita ingin rupiah kembali kuat, bukan hanya stabil sementara tapi benar-benar dihargai pasar, maka yang harus dibenahi bukan cuma permukaannya, tapi akarnya.

Pertama-tama, kepercayaan harus dikembalikan. Karena sejatinya, mata uang itu adalah simbol kepercayaan rakyat terhadap pemerintah dan sistemnya. Hari ini, bahkan ketika data makro kita kelihatan bagus—GDP tumbuh di atas 5%, inflasi Maret 2025 hanya 1,03%, surplus dagang masih kuat—rupiah tetap melemah karena pasar tidak percaya pada fondasi hukum dan birokrasi yang mengelola ekonomi ini. Jadi langkah pertama yang paling fundamental adalah bersihkan sistem hukum dan peradilan. Jangan sampai pejabat tinggi pengadilan ditangkap karena suap Rp60 miliar, tapi kita masih mengharap investor asing percaya dan betah simpan uang di rupiah. Nggak akan terjadi. Sistem hukum yang bisa dibeli artinya semua kontrak bisnis bisa dijungkir balikkan. Uang nggak mau tinggal di negara yang aturannya bisa dinego. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu soal kebijakan ekspor dan DHE. Kalau rupiah mau kuat, uang hasil ekspor harus balik dan tinggal di dalam negeri. Tapi kenyataannya, pemerintah sampai harus pakai aturan wajib DHE 100% karena pelaku ekspor lebih senang simpan dolar di luar negeri. Kenapa? Karena mereka merasa sistem perbankan di Indonesia kurang aman, return-nya kecil, dan kebijakannya sering berubah-ubah. Solusinya? Berikan insentif: bunga deposito valas yang menarik, pajak ringan untuk simpanan ekspor, dan yang terpenting: kepastian aturan. Kalau sistem kita kompetitif dan stabil, devisa nggak perlu dipaksa pulang—dia akan pulang sendiri.

Di sisi fiskal, pemerintah juga harus mulai berhenti bikin kebijakan populis yang mahal tapi nggak produktif. Subsidi memang membantu jangka pendek, tapi kalau terlalu besar dan tidak tepat sasaran, justru menggerus APBN dan bikin pasar panik. Ingat, investor global bisa lihat postur fiskal kita. Kalau setiap tahun defisit makin besar, tapi belanja negara banyak dipakai untuk subsidi yang tidak efisien, pasar akan menganggap kita boros dan tidak disiplin. Maka salah satu cara memperkuat rupiah adalah dengan mengelola anggaran secara transparan, disiplin, dan berbasis produktivitas.

Jangan lupakan juga kekuatan dari rakyat sendiri. Kalau masyarakat Indonesia lebih percaya simpan emas, dolar, atau bahkan kripto, itu artinya mereka sendiri nggak percaya rupiah bisa mempertahankan nilainya. Maka tugas pemerintah bukan hanya menjaga kurs di layar Bloomberg, tapi menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok, memberikan akses investasi yang aman dan menguntungkan dalam rupiah, dan mendidik publik soal pentingnya menabung dan bertransaksi dalam mata uang sendiri. Kepercayaan publik dalam negeri adalah pondasi yang tidak bisa dibeli oleh BI sekalipun.

Dan terakhir, jangan lagi gunakan pendekatan yang represif. Ekonomi itu bukan tentara, nggak bisa disuruh baris lewat aturan dan paksaan. Kalau ingin rupiah kuat, sistemnya harus membuat orang mau percaya dan mau tinggal. Karena pada akhirnya, mata uang yang kuat bukan cuma karena punya cadangan devisa besar atau neraca dagang surplus, tapi karena sistem negaranya layak dipercaya dan dihuni oleh uang. Rupiah akan kembali kuat saat negara ini menunjukkan bahwa ia bisa menjaga uang, menjaga hukum, menjaga logika, dan menjaga keadilan secara konsisten—tanpa perlu drama mingguan dari rapat darurat kebijakan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $FORE $BBCA

Read more...

1/10

testestestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy