imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Apakah Negara Eksportir Harus Memiliki Mata Uang yang Lemah dan Sampah?

Selama ini, ada mitos yang terus hidup di benak banyak orang: kalau mau ekspor jalan, mata uang negara harus lemah. Katanya, kalau kurs turun, harga barang ekspor jadi lebih murah di pasar internasional, dan itu bikin ekspor laris. Tapi kalau kita jujur dan lihat data global, mitos ini nggak sepenuhnya benar. Faktanya, banyak negara yang jadi raksasa ekspor justru punya mata uang yang kuat atau stabil. Yang bikin ekspor mereka unggul bukan karena mata uangnya murahan, tapi karena produknya punya kualitas, industrinya efisien, sistemnya dipercaya, dan rakyatnya kompak menjaga reputasi mata uangnya. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lihat Jepang. Negara ini termasuk eksportir top dunia—mobil, elektronik, alat berat, semua laku keras. Tapi yen (JPY) justru mata uang kuat, bahkan sering jadi safe haven saat dunia panik. Saat krisis global, uang dari investor kabur ke yen, bukan dari yen. Tapi apakah ekspor Jepang turun drastis saat yen menguat? Tidak. Kenapa? Karena yang dijual Jepang bukan sekadar harga murah, tapi teknologi, presisi, dan kepercayaan. Orang rela bayar lebih untuk mobil Jepang karena tahu isinya bukan kaleng-kaleng.

Atau contoh Swiss. Negara ini ekspornya bukan komoditas mentah, tapi jam tangan mewah, alat medis, dan farmasi—produk dengan nilai tambah tinggi. Tapi franc Swiss (CHF) adalah mata uang terkuat di dunia, bahkan sampai bank sentral mereka pernah harus menahan laju penguatan franc karena ekspor terancam terlalu mahal. Tapi kenyataannya, ekspor Swiss tetap jalan, karena dunia butuh produk mereka. Kurs kuat bukan halangan karena nilai ekspor ada di kualitas, bukan diskon.

Singapura juga menarik. Negara ini ekspor jasa keuangan, logistik, dan semikonduktor, dengan mata uang yang sangat stabil. Dolar Singapura (SGD) bukan mata uang murah, tapi tetap disukai pasar karena dianggap stabil, kredibel, dan didukung sistem yang transparan. Bahkan India, negara dengan ratusan juta penduduk dan ketergantungan besar pada ekspor jasa dan produk IT, berhasil menjaga rupee (INR) tetap relatif stabil—tanpa perlu pakai aturan DHE atau intervensi besar-besaran seperti yang dilakukan Indonesia. Kenapa? Karena publiknya percaya, investornya tenang, dan strategi fiskalnya masuk akal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sekarang mari kita bandingkan dengan Indonesia, yang sudah memberlakukan aturan wajib parkir Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam dua tahap. Tahap 1 dimulai Agustus 2023, lewat PP No. 36 Tahun 2023: eksportir SDA wajib menempatkan minimal 30% DHE dalam rekening khusus di dalam negeri selama 3 bulan. Tahap 2 berlaku 1 Maret 2025, mewajibkan 100% DHE SDA diparkir di dalam negeri untuk jangka waktu minimum 3 bulan.

Tapi mari kita lihat data:

1. Rupiah pada Juli 2023 (sebelum DHE tahap 1): sekitar Rp14.900 per USD

2. Rupiah per 11 April 2025: Rp16.790 per USD
Artinya, rupiah melemah lebih dari 12,7% selama aturan DHE berlangsung.

Lebih parah lagi, saat DHE tahap 2 (100%) mulai berlaku pada 1 Maret 2025, kurs USD/IDR malah naik dari Rp16.543 ke Rp16.790 hanya dalam waktu 6 minggu—alias melemah lagi 1,7%, padahal pasokan dolar dari ekspor seharusnya membanjir karena semua DHE wajib ditahan di dalam negeri. Ini bukan strategi ekspor. Ini adalah gejala krisis kepercayaan.

Kalau ini strategi ekspor seperti yang dulu dilakukan China, harusnya jelas efeknya: ekspor melonjak, investor tetap tenang, dan masyarakat lokal tidak panik. Tapi di Indonesia, yang terjadi justru:

1. Net sell asing di SBN dan IHSG besar-besaran, terutama setelah pengumuman Trade War Jilid 2 oleh Trump. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

2. Cadangan devisa tidak naik signifikan, padahal DHE masuk.

3. Dana DHE hanya “parkir formalitas”, tidak ditukar ke rupiah, tidak dipakai belanja domestik, dan akan keluar lagi setelah 365 hari lewat.

4. Investor lokal dan pengusaha tetap simpan dolar dan SGD, bukan rupiah. Bahkan rakyat kecil pun mulai menabung dalam USD karena takut kurs anjlok.

5. Dan yang paling mencolok: saat dolar global sedang melemah, indeks DXY turun ke bawah 100, banyak mata uang seperti euro, franc, yen justru menguat terhadap dolar. Tapi rupiah malah ikut melemah terhadap semuanya, termasuk terhadap yuan yang nilainya stagnan. Ini bukti bahwa rupiah tidak lagi mengikuti logika ekonomi makro, tapi tunduk pada logika kepercayaan.

Maka kita bisa tarik kesimpulan yang pahit tapi jujur kalau penurunan rupiah ini bukan strategi ekspor. Ini adalah tanda bahwa rupiah sedang dianggap lemah—oleh pasar, oleh investor, bahkan oleh rakyatnya sendiri. Kalau rakyat sendiri lebih percaya simpan USD, pengusaha lebih suka kontrak pakai SGD, dan BI harus terus intervensi supaya kurs nggak ambruk, itu artinya rupiah belum dihormati. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi kalau ditanya, apakah negara eksportir harus punya mata uang lemah? Jawabannya: tidak. Negara eksportir butuh mata uang yang dipercaya. Dan kalau Indonesia ingin rupiah kuat dan ekspor tetap jalan, maka yang harus dibangun bukan aturan wajib DHE, tapi rasa percaya publik terhadap mata uangnya sendiri. Karena selagi mentalitas kolektif kita masih tunduk pada dolar, maka sekuat apa pun neraca dagang kita, rupiah akan tetap jadi bulan-bulanan sentimen.

Kalau benar pelemahan rupiah itu strategi ekspor agar barang Indonesia lebih kompetitif di pasar global, harusnya pemerintah biarkan rupiah melemah secara alami, bahkan mungkin disyukuri karena membantu sektor ekspor. Tapi kenyataannya? Justru sebaliknya. Pemerintah sampai mengeluarkan aturan keras wajib parkir Devisa Hasil Ekspor (DHE) dalam dua tahap—dari 30% di tahun 2023, sampai 100% di Maret 2025. Itu artinya, pelemahan rupiah bukan strategi, tapi kondisi darurat yang coba diredam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Logikanya begini kalau kurs Rp16.700 dianggap mendukung ekspor, kenapa pemerintah merasa perlu memaksa eksportir menyimpan devisanya di dalam negeri? Bukankah harusnya eksportir antusias menukar dolarnya ke rupiah untuk belanja lokal, karena kursnya menguntungkan? Tapi kenyataannya, mereka justru enggan simpan dananya di Indonesia, apalagi dalam bentuk rupiah. Sampai harus dipaksa parkir minimal 1 tahun lewat rekening khusus. Itu artinya, pengusaha sendiri tidak percaya bahwa pelemahan rupiah itu menguntungkan secara riil.

Lalu kalau benar pelemahan ini strategi, kenapa Bank Indonesia harus intervensi terus-menerus di pasar valas dan DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward)? Kenapa cadangan devisa terus dipakai untuk menjaga kurs agar tidak jebol terlalu dalam? Harusnya BI diam saja kalau pelemahan ini direncanakan. Tapi faktanya, BI pasang badan terus—karena rupiah bukan sedang diarahkan, tapi sedang dalam kondisi rawan.

Pemerintah juga menyiapkan insentif pajak (PPh final 0%) untuk eksportir yang menahan DHE lebih lama di dalam negeri, bahkan kalau dikonversi ke rupiah. Ini bentuk dorongan positif agar dana tidak kabur. Tapi kalau ini memang strategi ekspor, kenapa insentif harus diberikan? Harusnya eksportir senang dan inisiatif sendiri. Tapi tidak—mereka justru diam, dananya disimpan di luar negeri, bahkan banyak yang menunda repatriasi.

Pelemahan rupiah saat ini bukan strategi ekspor, tapi gejala lemahnya kepercayaan terhadap sistem keuangan domestik. Pemerintah memaksa DHE parkir karena tanpa paksaan, dana itu tidak akan masuk. Mereka tahu, kalau tidak diikat, rupiah akan makin dihantam. Jadi DHE bukan bagian dari rencana besar pelemahan rupiah, melainkan alat pemadam kebakaran karena pasar sudah kehilangan kepercayaan.

Kalau ini benar strategi ekspor, semua pihak—BI, eksportir, investor—harusnya jalan bareng. Tapi kenyataannya? BI panik jaga kurs. Eksportir enggan masukin dolar. Investor asing keluar. Rakyat antre beli dolar

Jadi lemahnya rupiah itu bukan strategi. Ini simptom dari sistem yang belum dipercaya—dan sayangnya, justru sedang ditambal pakai aturan wajib, bukan dibangun dengan trust jangka panjang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Secara teknis dan moral, masyarakat kecil dan konglomerat sama-sama wajib percaya pada rupiah—karena itulah mata uang sah Republik Indonesia, alat pembayaran yang diakui negara, dan simbol kedaulatan ekonomi nasional. Tapi secara realitas di lapangan? Yang terjadi justru sebaliknya. Rakyat kecil dipaksa percaya karena tidak punya alternatif, sementara konglomerat bebas memilih dan justru sering menempatkan kekayaannya dalam bentuk dolar, Singapura dollar, euro, bahkan emas dan properti luar negeri.

Masyarakat kecil gajian pakai rupiah, belanja di pasar pakai rupiah, bayar listrik dan BPJS juga pakai rupiah. Mau simpan dolar? Butuh biaya, dan kalaupun bisa, nggak praktis. Jadi mereka tidak percaya pada rupiah karena pilihan, tapi karena terpaksa. Tapi justru karena keterbatasan itu, merekalah yang paling rentan saat rupiah melemah. Harga beras naik, BBM ikut terkerek, cicilan jadi lebih mahal, dan tabungan makin tergerus nilainya. Ironisnya, mereka lah yang paling “loyal” pada rupiah, meski paling terdampak. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sebaliknya, para konglomerat, elite bisnis, dan eksportir besar justru punya semua akses untuk tidak percaya pada rupiah. Mereka bisa:

1. Menyimpan dana dalam bentuk dolar di Singapura,

2. Membeli properti di Australia atau London,

3. Transfer kekayaan lewat entitas offshore,

4. Dan bahkan, menyiasati DHE agar tidak betul-betul masuk ke sistem keuangan Indonesia.

Jadi kalau masyarakat kecil harus percaya karena nggak ada pilihan, konglomerat justru tidak percaya karena terlalu banyak pilihan. Dan celakanya, pilihan itu tidak salah secara hukum—tapi membuat sistem moneter Indonesia timpang. BI dan pemerintah susah payah jaga rupiah, tapi arus valas terus lari ke luar lewat elite yang sebenarnya punya sumber daya untuk bantu stabilkan sistem. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Padahal, dalam sistem ekonomi yang sehat, konglomerat harus jadi jangkar kepercayaan. Mereka punya kekuatan modal untuk jadi contoh, memperkuat kepercayaan terhadap rupiah lewat investasi jangka panjang, repatriasi aset, dan transaksi domestik yang masif. Tapi jika yang punya kekuatan justru main aman di luar negeri, bagaimana mungkin rakyat kecil diajak percaya?

Jadi, kalau mau bicara keadilan, masyarakat kecil tidak perlu diceramahi soal “cinta rupiah”, karena mereka tidak pernah punya pilihan selain bertahan dengan uang itu.

Yang perlu diajak duduk dan bertanggung jawab adalah mereka yang punya kuasa atas miliaran atau triliunan rupiah tapi memilih menyimpan kepercayaan mereka pada mata uang negara lain.

Karena selama yang besar tidak percaya dan yang kecil dipaksa percaya, maka rupiah hanya akan jadi alat tukar, bukan simbol kedaulatan. Dan trust seperti itu tidak bisa dipaksa lewat aturan atau kampanye. Ia harus dimulai dari atas, diteladani oleh mereka yang paling mampu. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Tapi bagaimana mungkin kita berharap konglomerat atau investor percaya penuh pada rupiah dan pemerintah, kalau sistemnya sendiri masih dipenuhi korupsi, pungli, dan premanisme birokrasi? Trust itu bukan dibangun lewat imbauan, bukan lewat aturan wajib, apalagi lewat paksaan. Trust lahir dari konsistensi, keteladanan, dan kepastian hukum. Dan di titik ini, memang Indonesia masih harus jujur mengakui: reformasi mental belum tembus sampai sistem.

Bayangkan jadi pengusaha besar di sektor ekspor, misalnya sawit atau nikel. Setiap kali mau ekspor, bukan cuma berurusan dengan bea cukai dan pajak, tapi juga harus "berdamai" dengan pungli di pelabuhan, oknum instansi, dan kadang preman lokal yang dibeking aparat. Mau izin perpanjangan? Kadang harus muter-muter berbulan-bulan. Mau investasi? Ujung-ujungnya ada “biaya koordinasi.” Sementara ketika DHE ditarik dari luar negeri, mereka malah dipaksa parkir, diawasi ketat, dan diancam sanksi. Di satu sisi diperas, di sisi lain dipaksa percaya. Itu bukan ekosistem trust, itu jebakan batman. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kondisi ini menciptakan sikap wajar: kalau sistemnya korup, maka logika bertahan para konglomerat adalah: simpan kekayaan di luar. Bukan karena mereka anti-nasionalis, tapi karena mereka merasa perlu mengamankan bisnis dari ketidakpastian. Bahkan banyak perusahaan besar yang akhirnya bikin holding di Singapura atau Belanda bukan karena ingin lari dari pajak, tapi karena mereka cari stabilitas hukum yang bisa dipercaya.

Masalah tambah pelik saat rakyat kecil pun melihat hal yang sama. Pejabat yang tampil di TV bilang cintai rupiah, tapi di belakang layar beli properti di London, simpan aset di Swiss, dan keluarganya sekolah di negara yang pakai dolar atau euro. Kalau elite saja lebih percaya pound sterling daripada rupiah, apa yang harus diteladani rakyat dan pelaku usaha?

Jadi kalau kita ingin konglomerat percaya pada rupiah dan pemerintah, perlu syarat yang sangat jelas dan tegas. Bersihkan pungli dan premanisme dari hulu ke hilir. Investor butuh kepastian, bukan ancaman informal dari “oknum.” Konsistensi kebijakan. Jangan hari ini janji insentif, besok dicabut. Jangan bilang ramah investor, tapi praktiknya ribet dan penuh jebakan. Teladan dari atas. Kalau pejabat, menteri, dan BUMN menunjukkan asetnya disimpan di rupiah, di Indonesia, dan diinvestasikan untuk membangun sektor produktif, maka trust akan tumbuh. Trust itu viral kalau datang dari pemilik kuasa.

Jadi rakyat, konglomerat, dan investor mau percaya—asal ada yang layak dipercaya. Jangan salahkan mereka karena cari perlindungan, karena yang seharusnya memberi perlindungan justru kadang jadi sumber ketakutan. Rupiah tidak bisa kuat hanya karena kita suruh orang cinta. Rupiah hanya bisa kuat kalau sistem yang menopangnya bersih, jujur, dan konsisten. Tanpa itu, trust tetap lari ke Singapura. Dan sayangnya, rupiah tak bisa mengejarnya ke sana. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBRI $BREN $PANI

Read more...

1/6

testestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy