Ini Untuk Kebaikan Semuanya
Tidak ada satu pun anak di dunia ini yang memilih untuk lahir dan dibesarkan dalam keluarga tertentu. Mereka lahir sebagai titipan, sebagai amanah. Maka sungguh tidak adil jika anak-anak harus menanggung luka dan beban karena dosa yang tidak mereka perbuat dosa orang tuanya sendiri.
Anak-anak tidak layak menerima penderitaan akibat korupsi. Mereka tidak pantas tumbuh dengan stigma, cibiran, atau dibayangi rasa malu atas tindakan orang dewasa yang seharusnya menjadi teladan. Mereka juga tidak layak hidup dari hasil uang haram. Uang hasil korupsi, bila diberikan kepada anak, bukanlah bentuk kasih sayang melainkan racun yang perlahan merusak masa depan mereka. Uang itu mungkin terlihat mengenyangkan, tapi sesungguhnya ia mengotori darah daging dan mengaburkan arah hidup mereka.
Bagaimana mungkin seorang orang tua, yang seharusnya melindungi dan menyayangi, justru membiarkan anaknya makan dari hasil kecurangan, dari hasil mencuri hak orang lain? Bukankah itu sama saja menjerumuskan anak ke dalam kehancuran sejak dini?
Jika demikian, maka sesungguhnya koruptor bukan hanya mencuri dari negara tapi juga menghancurkan keluarganya sendiri, perlahan-lahan, dari dalam. Mereka menanam luka di rumah mereka sendiri, dan mewariskan warisan yang kotor kepada darah dagingnya sendiri.
Dan di sinilah pertanyaan besar muncul, apakah koruptor itu benar-benar mencintai keluarganya? Karena jika mencintai, tentu ia akan berpikir panjang sebelum membawa kehancuran masuk ke dalam rumah. Jika benar sayang, tentu ia akan bekerja keras mencari rezeki yang bersih, bukan jalan pintas yang gelap dan memalukan.
Cinta sejati bukan tentang seberapa banyak harta yang diberikan, tapi seberapa besar perjuangan menjaga anak-anak tumbuh dengan nilai-nilai yang lurus dan hidup yang bermartabat. Mendidik anak bukan hanya memberi makan dan menyekolahkan mereka, tapi memberi teladan dan tidak ada teladan yang lebih berbahaya daripada membiarkan anak melihat kejahatan sebagai sesuatu yang biasa.
Koruptor memang layak dihukum seberat-beratnya. Hukum itu bukan sekadar balas dendam, tapi efek jera. Hukuman harus cukup membuat seseorang berpikir: lebih baik mati daripada mengkhianati amanah dan menjerumuskan keluargaku sendiri. Di titik itulah, kita akan lihat kemurnian niat dan integritas seorang manusia diuji.
Dan untuk itulah, undang-undang perampasan aset hasil korupsi sangat mendesak untuk segera disahkan. Bukan demi balas dendam, tapi demi keadilan. Agar tidak ada lagi anak yang tumbuh besar dengan mewarisi kekayaan haram. Agar tidak ada lagi keluarga yang hidup mewah di atas penderitaan rakyat.
Tentu akan ada suara-suara yang berkata, “Anak tidak bersalah, mengapa harus ikut menderita?” Benar, anak tidak bersalah. Tapi membiarkan mereka hidup nyaman dari hasil kejahatan orang tuanya, justru memperpanjang rantai kebusukan. Karena pada akhirnya, jika tidak ada garis tegas, maka akan selalu muncul generasi baru yang berpikir bahwa kejahatan itu bisa dimaklumi, asal hasilnya bisa dinikmati.
Negeri ini tidak akan bersih dari korupsi hanya dengan pidato dan janji. Tapi akan bersih ketika pelaku benar-benar merasakan bahwa setiap pilihan gelap akan membawa kehancuran bukan hanya bagi dirinya, tapi juga bagi orang-orang yang paling mereka cintai.
Renungkanlah… apakah setimpal mengorbankan masa depan anak demi kenyamanan sesaat? Apakah pantas menjual nama baik keluarga hanya untuk kepuasan ego dan kerakusan?
Pada akhirnya, hanya mereka yang benar-benar mencintai yang akan berani hidup jujur. Karena mencintai itu berarti melindungi, bukan menjerumuskan.
$IHSG $BTC $BTCIDR