Krisis 2015 vs Krisis 2025: Survive
Tahun 2015 menandai munculnya sebuah krisis ekonomi global skala menengah yang mengguncang pasar dunia, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia, Brasil, Rusia, dan Malaysia. Namun, krisis ini tidak datang dari ledakan gelembung kredit atau kehancuran sistem keuangan seperti 2008. Krisis 2015 lebih bersifat “slow burn” — lambat tapi menggigit. Akar utamanya adalah perlambatan tajam ekonomi China, negara yang waktu itu menyumbang sekitar 30% pertumbuhan global. GDP China tahun itu turun menjadi 6,9%, terendah sejak 1990, dan hal ini menciptakan gelombang kekhawatiran terhadap permintaan global. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Puncaknya terjadi saat pemerintah China melakukan devaluasi Yuan sebesar 1,9% pada Agustus 2015, langkah mengejutkan yang memicu gejolak pasar global. Bursa saham China sendiri sudah crash lebih dulu — Shanghai Composite ambruk lebih dari 30% dalam waktu dua bulan, menyebabkan kapitalisasi pasar senilai triliunan dolar AS menguap. Ketika pasar global mulai menyadari bahwa China tidak sedang ‘melambat teratur’, tapi benar-benar mengalami penurunan ekonomi struktural, sentimen langsung berubah drastis dari optimisme ke ketakutan.
Efek dominonya terasa kuat di pasar komoditas. Harga minyak mentah Brent jatuh dari $58/barel di awal 2015 menjadi hanya $37/barel di akhir tahun, harga batu bara longsor ke bawah $53/ton, dan logam seperti tembaga dan nikel ikut rontok. Negara-negara eksportir komoditas kehilangan pendapatan besar-besaran. Indonesia, misalnya, mengalami penurunan tajam nilai ekspor, terutama dari sektor pertambangan dan perkebunan. Tak heran kalau pertumbuhan ekonomi RI tahun itu anjlok ke 4,79%, terendah sejak krisis global 2009.
Pasar saham Indonesia juga tidak ketinggalan terseret badai. IHSG yang sempat mencetak rekor 5.523 di bulan Maret, jatuh hingga ke level 4.100-an pada Agustus, turun lebih dari -20%. Rupiah pun melemah tajam hingga menembus Rp14.800/USD, memicu kekhawatiran stabilitas moneter. Cadangan devisa Indonesia turun sekitar $6 miliar karena intervensi BI di pasar valas. Investor asing melakukan net sell besar-besaran dari bursa saham dan obligasi.
Fast forward ke 2025, dan dunia mengalami guncangan lagi — tapi kali ini datang dari arah yang berbeda. Bukan karena perlambatan China atau krisis bank besar, tapi dari serangan kebijakan dagang unilateral oleh Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump. Pada akhir Maret 2025, Trump mengumumkan “Liberation Day”, yakni paket tarif agresif terhadap seluruh mitra dagangnya. Tarif sebesar 32% dikenakan terhadap barang-barang dari Indonesia, 34% untuk China, dan 20% untuk Uni Eropa. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pasar keuangan global langsung merespons negatif. Dow Jones Industrial Average anjlok 1.600 poin dalam sehari pada 3 April 2025, diikuti penurunan S&P 500 sebesar lebih dari 6%. Di Indonesia, IHSG langsung jatuh lebih dari -7% dalam satu hari, dan Bursa Efek Indonesia sempat menghentikan perdagangan (trading halt) pada 18 Maret dan lagi pada 8 April. Nilai tukar Rupiah melemah ke Rp16.970/USD, rekor terburuk dalam sejarah modern Indonesia. Sementara itu, investor asing ramai-ramai menarik dananya, menyebabkan net foreign sell besar-besaran.
Pasar komoditas juga terguncang, tapi kali ini bukan karena permintaan melemah, melainkan karena ketakutan akan resesi global akibat perang dagang. Harga minyak Brent kembali jatuh ke kisaran $60/barel, sementara harga logam dasar seperti tembaga turun hampir 10% hanya dalam beberapa hari setelah pengumuman tarif. Uniknya, harga emas justru melonjak ke di atas $3.000 per ons, karena investor panik beralih ke aset safe haven.
Secara garis besar, 2015 dan 2025 punya kesamaan dalam dampaknya — keduanya membuat nilai tukar Rupiah terpuruk, membuat IHSG jatuh, dan memperlemah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tapi penyebabnya sangat berbeda. 2015 adalah krisis permintaan global, terutama karena China melambat dan harga komoditas rontok. Sedangkan 2025 adalah krisis akibat kebijakan global yang agresif dan tidak rasional, khususnya dari sisi perdagangan internasional. Kalau 2015 digambarkan sebagai penyakit metabolik yang muncul perlahan dan progresif, maka 2025 lebih mirip serangan jantung mendadak karena kebijakan sembrono.
Bedanya lagi, di 2015 dunia masih cenderung bekerja sama (G20 aktif, China responsif, AS hati-hati soal suku bunga), sedangkan di 2025 kecenderungan tiap negara adalah proteksionisme dan nasionalisme ekonomi. Dunia 2025 jauh lebih tidak terkoordinasi dibandingkan 2015. Dan itu membuat penyembuhannya bisa lebih rumit. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Singkatnya, kedua tahun itu bukan kembar, tapi saudara tiri yang sama-sama menyebalkan. Satu karena ekonomi melambat, satu lagi karena kebijakan bikin kacau. Beda penyebab, tapi sama-sama bikin pasar panik dan bikin emerging market ngos-ngosan.
Sebagai investor ritel di Indonesia, biar bisa tetap waras dan selamat di tengah krisis kayak tahun 2015 dan 2025, yang realistis itu bukan ngejar return bombastis, tapi survive dulu sambil siapin posisi buat loncat waktu badai reda. Gampangnya, jangan jadi orang yang sok jagoan waktu pasar naik, tapi kehabisan peluru waktu pasar ambruk.
Pertama, selalu siapkan cadangan kas. Nggak usah ikut aliran full saham demi “return maksimal” — percuma kalau pas krisis datang malah panik atau kehabisan amunisi. Minimal pegang 20–30% dari portofolio dalam bentuk kas, deposito, atau SBN ritel. Di 2015, IHSG turun 25%, di 2025 sempat anjlok lebih dari 7% dalam sehari. Kalau kamu punya cash, justru bisa belanja waktu semua orang jualan. Yang punya cash di saat krisis, ibarat punya ember di tengah kebakaran diskon.
Kedua, jangan all-in di sektor yang hype. Di 2015, banyak yang nyangkut di batu bara dan CPO. Di 2025, banyak yang kejebak saham ekspor yang kena tarif AS. Diversifikasi itu bukan cuma teori — itu alat bertahan. Punya campuran sektor konsumer, telko, utilitas, bahkan sedikit healthcare bisa bantu portofolio kamu tetap bernapas saat sektor siklikal dihantam. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Ketiga, pantau makro, bukan cuma teknikal dan laporan keuangan. Banyak investor ritel sibuk cari support-resistance, tapi nggak tahu The Fed baru naikkin bunga atau Trump baru bikin tarif dagang. Padahal nilai tukar rupiah, suku bunga global, inflasi, dan harga komoditas punya dampak langsung ke portofolio. Tahun 2025, gara-gara tarif AS dan geopolitik, Rupiah tembus Rp16.970/USD dan pasar saham langsung rontok. Jadi jangan tutup mata soal berita besar — minimal tahu arah angin ekonomi global.
Keempat, hindari utang buat beli saham. Waktu pasar naik, margin dan paylater saham itu kelihatan manis. Tapi pas pasar jatuh, margin call itu kejam. Banyak ritel kehabisan peluru bukan karena salah pilih saham, tapi karena ditendang sistem sebelum sempat recovery. Mending sabar, beli bertahap, dan pakai dana dingin.
Kelima, jangan takut cut loss kalau memang harus. Bertahan bukan berarti harus tahan semua saham sampai kiamat. Kadang, langkah paling bijak justru lepas beban dan alihkan ke saham yang lebih tahan banting. Lebih baik rugi 20% di saham lemah, daripada rugi 70% dan nyangkut 3 tahun.
Dan terakhir, yang sering dilupain: tetap belajar dan upgrade wawasan investasi. Investor yang bisa bertahan itu bukan yang paling pintar waktu market tenang, tapi yang paling siap waktu market kacau. Krisis itu siklus, bukan kejutan. Yang siap, bisa beli murah. Yang panik, cuma jadi exit liquidity buat yang cerdas.
Intinya, survive dulu, baru bicara untung. Karena di dunia saham, yang bisa bertahan lama biasanya justru yang nggak terlalu serakah, tapi tahu kapan nahan, kapan belanja, dan kapan minggir.
Buat investor ritel di Indonesia, apalagi yang nggak punya privilege gaji tinggi atau akses dana jumbo, strategi paling realistis untuk bertahan di tengah krisis kayak 2015 dan 2025 bukanlah jadi trader harian yang sibuk mantengin candle, tapi justru bangun portofolio dari instrumen aman yang nyetor uang sendiri tiap bulan. Simpelnya: kamu biarin uang kerja buat kamu, lalu kamu pakai hasilnya buat nyicil beli saham dividen yang harganya masih ramah kantong tapi kualitasnya oke — di bawah Rp1.000 per lembar, dividend yield di atas 6,5%, utangnya minimal, dan kasnya tebal. Bukan strategi keren buat dipamerin, tapi strategi ini bisa jadi fondasi keuangan yang kokoh banget.
Kita mulai dari mesin kasnya dulu. Misalnya kamu punya portofolio total Rp100 juta. Kamu bagi jadi tiga: Rp40 juta masuk ke SBN ritel dengan kupon tetap 6,5%, hasilnya sekitar Rp2,6 juta per tahun atau Rp217 ribu per bulan. Lalu Rp30 juta kamu parkir di reksa dana pasar uang (RDPU) yang return-nya stabil di kisaran 4,5% per tahun, artinya ada tambahan Rp112 ribu-an per bulan. Sisanya Rp30 juta kamu masukin ke deposito bunga maksimal LPS 4,25% (netto-nya sekitar 3,4%), dan hasilnya kurang lebih Rp85 ribuan per bulan. Kalau ditotal, kamu punya passive income rutin sekitar Rp414 ribu per bulan — nggak gede, tapi ini murni hasil dari portofolio low risk yang tetap setor uang meski IHSG ambruk, rupiah rontok, atau global market panik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Nah, duit inilah yang kamu pakai buat belanja saham dividen satu per satu. Dengan harga saham under Rp1.000, artinya 1 lot kurang dari Rp100.000. Jadi tiap bulan kamu bisa beli 4–5 lot saham yang punya dividend yield di atas 6,5%, utang minim, dan kas perusahaan tebal. Ini bukan saham hype yang naik karena rumor, tapi saham yang kasih kamu income pasif tiap tahun lewat dividen. Pelan-pelan, kamu bangun portofolio dividen yang nggak cuma tahan banting, tapi juga bisa balik nyetor uang ke kamu. Tahun pertama kamu beli dari hasil bunga, tahun kedua kamu beli dari bunga plus dividen, tahun ketiga kamu udah bisa reinvest lebih besar — snowball-nya jalan.
Praktiknya gampang. Kupon SBN masuk otomatis ke rekening. Hasil RDPU bisa kamu cairkan T+1 dari aplikasi Bibit atau Bareksa. Bunga deposito? Tinggal ambil tiap jatuh tempo, cuma pakai bunganya aja, pokoknya digulung terus. Lalu tinggal setor ke RDN, beli saham yang kamu incar. Kamu nggak perlu ngutak-atik market tiap hari, nggak perlu ngandelin gaji bulanan, dan yang pasti: kamu tetap bisa nambah aset meskipun kondisi ekonomi lagi nggak bersahabat. Strategi ini memang nggak glamor, tapi realistis, doable, dan bikin kamu tetap bertahan bahkan saat orang lain panik jualan.
Tapi strategi ini kelihatannya emang membosankan banget — nggak ada drama candlestick, nggak ada thrill ngejar auto reject atas, nggak ada pameran gain 30% dalam seminggu. Tapi justru itu kekuatannya. Membosankan = disiplin = tahan lama. Sementara yang seru-seruan biasanya juga cepat gosong.
Strategi kayak ini tuh cocok buat yang sadar: “gue nggak mau kaya mendadak, tapi gue juga nggak mau kerja selamanya.” Dia kerja pelan-pelan, belanja saham dari hasil bunga, nambah lot tiap bulan, dan bangun portofolio yang makin lama makin produktif. Sementara orang lain masih bolak-balik beli jual saham gorengan, dia udah tinggal tunggu dividen cair tiap tahun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lagian, membosankan itu bukan berarti nggak menghasilkan. Kapan lagi kamu bisa bangun portofolio dividen cuma dari hasil bunga, tanpa keluarin uang baru? Kayak nanem pohon—awalnya cuma nyiram tiap hari, kelihatan nggak ngapa-ngapain, tapi tau-tau lima tahun lagi udah panen buah tiap musim. Kalau boring kayak gitu sih, mendingan, kan?
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$RALS $PRDA $BTPS
1/10