Investor Saham Harus Tetap Semangat Meskipun Dunia Tidak Mendukung
Setelah libur panjang Lebaran sejak 28 Maret 2025, pasar modal Indonesia kembali dibuka pada 8 April. IHSG dibuka di 6.510,62, indeks gap down dan terus longsor tanpa ampun hingga menyentuh 5.882,60, sebelum ditutup di 5.996,14. Penurunan 514,48 poin atau -7,90% ini langsung masuk ke buku sejarah sebagai salah satu hari terburuk di bursa kita. Ini bukan koreksi. Ini mini crash. Panic liquidation secara kolektif.
Transaksi pun meledak ke Rp20,95 triliun, dengan frekuensi 1,43 juta kali. Hampir semua saham dijual. Investor lokal baru buka aplikasi setelah seminggu cuti, langsung melihat pasar global sudah berubah. Dunia sudah pricing-in Trade War Trump Jilid 2 sejak 2 April, tapi kita baru “bangun” tanggal 8. Akibatnya telat adaptasi, overreaction. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Investor asing? Tidak pakai ampun. Net sell harian tembus Rp3,87 triliun. Sejak awal tahun, mereka sudah keluar sebesar Rp33,8 triliun. Yang dibuang? Saham tulang punggung IHSG: BMRI, BBRI, BBCA, UNTR, ADRO, ANTM, MEDC, BRMS, BREN, BUKA—rata-rata perbankan dan tambang. Bahkan BBCA pun dihajar. Saat dana asing keluar dalam jumlah sebesar itu, kita bicara bukan sekadar koreksi, tapi krisis kepercayaan.
Yang menarik, di tengah distribusi besar-besaran, ada beberapa saham yang masih dibeli asing—seperti BBNI, TPIA, ASII, INDF, ICBP. Tapi harga tetap turun. ASII rontok -8,94%, GOTO -14,46%, ICBP -4,67%. Artinya, aksi beli itu bukan akumulasi penuh keyakinan, tapi kemungkinan balancing atau hedging semata. Bahkan INDF yang hijau +1,41% pun lebih karena posisinya sebagai emiten konsumsi yang stabil.
Dari sisi sektoral, kehancuran menyeluruh. Basic materials anjlok -10,54%, teknologi -10,23%, consumer cyclicals -8,82%, industrial -8,44%, infrastruktur -8,35%, energi -8,19%. Tidak ada sektor yang selamat. Bahkan sektor defensif ikut tumbang. Ini bukan rotasi. Ini penyembelihan.
Nilai tukar rupiah ikut melemah ke 16.853 per USD, naik 153 poin (+0,92%). SGD juga naik +1,65% terhadap rupiah. Ini memperparah tekanan terhadap saham-saham dengan eksposur USD, dan memicu arus keluar modal makin deras. Dari sisi komoditas, hanya tin (+2,76%) yang memberi sedikit harapan. Nickel, gas, rubber, zinc—semuanya merah.
Yang paling menyakitkan, saat IHSG babak belur, bursa global justru rebound. Nikkei Jepang naik +6,01%, DAX Jerman +2,48%, FTSE Inggris +2,71%, bahkan Hang Seng dan Shanghai hijau. Hanya Dow Jones dan S&P 500 yang terkoreksi tipis. Ini bukan krisis global. Ini masalah lokal. Ketika pasar global sudah selesai pricing-in efek geopolitik dan tarif, kita masih sibuk lebaran. Ketika kita buka pasar, semuanya sudah terlambat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Secara YTD, IHSG mencatatkan return -15,31%, menjadikannya bursa dengan performa ke-32 dari 35 negara. Hanya sedikit lebih baik dari Jepang (-17,25%), Taiwan (-19,86%), dan Thailand yang resmi menjadi bursa terburuk dunia YTD dengan -23,26%. Hanya delapan bursa global yang mencatat return positif—seperti Kolombia, Polandia, dan Brasil.
Tapi di tengah kehancuran, ada satu kekuatan ritel yang bikin IHSG tidak auto halt dua kali: XL Stockbit. Mereka jadi penguasa transaksi frekuensi (332.492 kali atau 11,86% dari seluruh transaksi nasional). Volume-nya masuk peringkat empat. Nilai transaksi Rp1,3 triliun. Tapi yang paling mencolok: net buy terbesar Rp505 miliar—melewati semua sekuritas asing maupun lokal. Saat asing buang barang dan sekuritas besar pasif, ritel XL justru menyerap distribusi. Ini bukan soal cuan. Ini moral support. Pasar tetap hidup karena masih ada yang mau beli. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Namun bukan cuma investor kecil yang nyangkut. Bahkan konglomerat pun kena. Salah satu contoh paling ikonik adalah Peter Parker alias Pak PP, pemegang saham pengendali di saham $BREN. Sejak 3 Oktober 2024 hingga 18 Maret 2025, dia borong BREN 6 kali, total 42,27 juta lembar dengan dana Rp288,58 miliar. Average buy-nya Rp6.831. Tapi per 8 April 2025, harga BREN tinggal Rp4.740. Floating loss: -30,6% atau Rp88,42 miliar.
Ini bukan aksi goreng jangka pendek. Ini akumulasi jangka panjang. Tapi hasilnya? Saham tetap longsor. Dan ini jadi pelajaran: bahkan orang dalam, yang punya remote harga, dana besar, dan akses informasi pun tetap bisa nyangkut. Apalagi retail yang cuma pegang analisa YouTube dan sinyal WhatsApp.
Yang bisa diapresiasi dari Peter Parker adalah, dia tetap pasang badan. Dia tidak lari. Tapi ini juga pengingat penting bahwa market tidak bisa dilawan dengan niat baik dan uang saja. Kalau sentimen global ngamuk, bahkan pilot bisa kehilangan arah. BREN bukan satu-satunya contoh. Banyak saham lain yang fundamentalnya baik tapi ikut terseret karena trust hancur dan sistem panik.
IHSG anjlok -7,90% karena efek tertunda pricing-in perang dagang.
Net sell asing Rp3,87T dalam sehari adalah pemicu utama.
Panic sell tidak hanya di big cap, tapi menyeluruh ke seluruh sektor.
Rupiah melemah, memperparah outflow dan tekanan valuasi.
Market global rebound, tapi kita justru collapse karena telat respons.
XL Stockbit jadi kekuatan penopang pasar dari sisi ritel.
Peter Parker alias Pak PP nyangkut ratusan miliar di BREN—bahkan konglomerat pun tidak bisa melawan pasar.
Ini bukan soal valuasi murah, ini soal krisis kepercayaan.
IHSG 8 April 2025 bukan cuma catatan angka. Ini adalah babak baru dalam sejarah market Indonesia: ketika trust runtuh, dana asing keluar, konglomerat nyangkut, dan ritel justru berdiri paling depan.
Sejak awal 2025, dunia dagang kembali panas. Trade War Jilid 2 resmi dimulai, dan kali ini Indonesia nggak cuma jadi penonton kayak dulu. Amerika Serikat, di bawah tekanan politik dalam negeri dan kampanye proteksionis, akhirnya menetapkan tarif baru untuk beberapa negara, termasuk Indonesia. Tarif bea masuk buat barang-barang asal RI langsung melonjak jadi 32%—khususnya untuk produk tekstil, ban, elektronik ringan, komponen logam, dan barang manufaktur lain. Singkatnya, barang kita yang dulu masuk ke pasar AS tanpa banyak hambatan, sekarang harus bayar “tiket masuk” yang lebih mahal. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Nah, pertanyaannya, apakah tarif 32% ini benar-benar ngaruh ke ekonomi Indonesia? Jawabannya iya, tapi ngaruhnya itu bukan langsung ke ekonomi real saat ini, melainkan lebih ke ekspektasi pasar dan psikologi investor. Karena kalau kita lihat dari data, ekspor Indonesia ke AS memang besar, tapi hanya sekitar USD 26,3 miliar. Bandingkan dengan Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia yang udah tembus USD 1.371 miliar—artinya, ekspor ke AS cuma sekitar 1,92% dari GDP. Kecil banget. Bahkan rasio ekspor terhadap GDP kita juga cuma 19,3%, paling kecil di antara negara-negara ASEAN utama. Jadi kalau tarif itu bikin beberapa industri ekspor megap-megap, itu bisa dimengerti, tapi kalau dibilang bikin ekonomi Indonesia ambruk, itu jauh dari kenyataan.
Tapi yang justru anjlok duluan bukan pabrik atau ekspor, melainkan kepercayaan investor dan pasar saham. Di hari pertama pasar buka setelah libur panjang (8 April 2025), IHSG langsung disikat turun -7,90% dalam satu hari, menyentuh level psikologis 5.996. Ini bukan koreksi biasa, ini panic selling. Asing kabur masif, net sell Rp3,87 triliun hanya dalam sehari, dan sejak awal tahun sudah net sell Rp33,8 triliun. Rupiah pun nggak ketinggalan, langsung melorot ke Rp16.853 per dolar AS, memperlihatkan betapa investor global benar-benar kehilangan selera terhadap emerging market seperti Indonesia, meskipun ekonomi kita masih jalan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Padahal kalau kita jujur, ekonomi real Indonesia belum kenapa-kenapa. Pertumbuhan PDB kuartal I 2025 diprediksi masih tembus 5%-an, konsumsi rumah tangga tetap jadi penopang utama, dan sektor-sektor domestik seperti energi, pangan, dan infrastruktur belum menunjukkan gejala kontraksi besar. Bahkan neraca dagang kita masih surplus, walaupun menipis karena tekanan harga dan permintaan global. Jadi yang bikin pasar jungkir balik itu bukan ekonomi kita ambruk, tapi karena investor asing menganggap kita berisiko tinggi di tengah ketegangan geopolitik dan perang dagang global. Ini soal ekspektasi, bukan soal kenyataan di lapangan.
Yang menarik, kalau kita bandingkan dengan negara ASEAN lain, posisi Indonesia justru masih relatif aman. Vietnam misalnya, ekspornya ke AS tembus USD 119 miliar alias 25% dari GDP—jadi begitu ada sinyal perang dagang, mereka langsung waspada. Singapura lebih parah lagi, rasio ekspor terhadap GDP mereka hampir 90%, dan pasar ekspor utamanya adalah China dan AS. Sedikit goyangan tarif aja, ekonomi mereka bisa langsung batuk. Sementara Indonesia? Kita memang kena tarif, iya. Tapi struktur ekonomi kita lebih domestik-driven. Jadi kalaupun goyang, kita nggak langsung masuk ICU seperti tetangga-tetangga kita.
Indonesia memang terdampak Trade War Jilid 2, dan ya, kita jadi target tarif langsung 32% dari Amerika. Tapi sampai hari ini, yang babak belur bukan pabrik, bukan ekonomi, tapi pasar keuangan dan mental investor. Ini bukan krisis ekonomi, ini krisis kepercayaan. Kalau Trade War terus memanas dan berlangsung lama, baru efeknya bisa menjalar ke sektor riil—PHK, penurunan investasi, dan pelemahan daya beli. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kalau kamu masih bisa bilang keep selot selot never all in di hari seperti ini, berarti kamu masih punya mentalitas investor. Tinggal belajar ikhlas, upgrade skill, dan jangan tinggalin pelampung kas.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ADRO $INDF
1/10