Hanya Ada 26 Saham yang Ijo di Sesi 1 $IHSG 8 April 2025
Pagi ini, 8 April 2025, pasar modal Indonesia langsung dikagetkan dengan salah satu pembukaan paling brutal dalam sejarah BEI. Belum juga sempat ngopi habis, bursa baru buka sekitar 4–5 menit, indeks langsung anjlok 5% dan sistem secara otomatis mengaktifkan tombol trading halt. Ya, itu fitur darurat yang bikin semua transaksi dihentikan sementara karena pasar jatuh terlalu cepat dalam waktu singkat. Setelah pasar dibuka lagi, bukan membaik, justru IHSG makin ambles hingga sesi 1 ditutup di level 6.008,48, turun -502,14 poin (-7,71%). Ini level psikologis yang udah bikin semua investor dari pemula sampai profesional refleks pegang kepala. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dari 877 saham yang dipantau, 708 saham berakhir di zona merah, 96 saham stuck alias 0%, dan 143 saham disuspend alias gak bisa ditransaksikan—entah karena ARA bawah atau karena teknis suspensi oleh bursa. Cuma 26 saham yang berhasil naik, dan itu pun dengan nilai transaksi yang sangat kecil. Bisa dibilang, hari ini pasar seperti ladang merah penuh luka, dan cuma beberapa rumput liar yang masih berdiri. Feeling-nya bener-bener déjà vu sama momen panik Covid-19 tahun 2020.
Kita lihat lebih dekat saham-saham yang naik, siapa tahu ada sinar harapan. Yang jadi top gainer hari ini adalah:
SOSS (Shield On Service) naik +24,73%, tapi total transaksi cuma Rp48 juta.
RUIS naik +13,04% dengan nilai transaksi Rp563 juta.
TIFA naik +10%, nilai transaksi Rp82 ribu (iya, ribu).
CTBN naik +9,95%, nilai Rp1 juta.
WIDI, TALF, TGKA, INRU, dan GDYR naik di kisaran +5–7%, tapi lagi-lagi dengan nilai transaksi super tipis, bahkan banyak yang gak sampai Rp100 juta.
Total transaksi dari seluruh saham yang naik hari ini cuma sekitar Rp826 juta, artinya tidak sampai 0,01% dari total transaksi pasar yang mencapai Rp12,57 triliun. Ini bukan tanda kekuatan beli, ini lebih ke arah saham-saham kecil yang belum kebagian panik, atau memang tidak dilirik big fund sama sekali. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sisi lain, mari kita lihat korban massal yang tumbang di medan perang:
$SMGR ambruk -14,72%
INCO nyungsep -14,76%
MDKA longsor -13,64%
$GOTO jeblok -14,46%
BRPT, TINS, BRMS, INTP, semuanya jatuh lebih dari -10%
Saham consumer seperti LPPF, MAPI, ACES, ERAA, AUTO juga ikut dihajar, sebagian besar koreksi lebih dari -8%
Bahkan saham-saham defensif seperti INDF dan ICBP ikut terseret arus
Jadi, pertanyaannya: ini semua gara-gara apa? Jawabannya bukan sekadar “karena dolar naik” atau “karena ekonomi jelek”. Ini semua karena satu kata: ekspektasi.
Pasar global saat ini lagi dilanda ketakutan luar biasa karena Trade War Jilid 2. Trump kembali menciptakan badai setelah pada 2 April 2025 mengumumkan tarif baru untuk 144 negara, termasuk ASEAN. Bahkan ketika Vietnam mencoba negosiasi dengan tawaran “zero tariff” untuk barang-barang AS, Penasihat Perdagangan Trump, Peter Navarro, langsung tolak mentah-mentah. Dia malah menuduh Vietnam relabel produk China dan menyebut defisit dagang AS sebagai "darurat nasional".
Narasi seperti itu udah cukup bikin investor institusi global keluar dari pasar negara berkembang tanpa pikir panjang. Mereka lari ke dolar, ke emas, ke obligasi US Treasury. Emerging market seperti Indonesia langsung kena getahnya. Valuta asing yang diborong bikin rupiah melemah ke Rp16.050 per USD. Tapi yang penting dipahami: bukan karena IHSG jatuh lalu dolar naik, melainkan karena investor takut—mereka pindahkan uang ke dolar, dan itu yang bikin rupiah jeblok. Artinya, dolar naik duluan karena ketakutan global, lalu disusul dengan arus jual dari pasar saham. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
IHSG turun bukan karena laporan keuangan emiten jelek (toh Q1 baru akan rilis akhir April), bukan juga karena ekonomi RI tiba-tiba ambruk (GDP Q1 masih diproyeksikan tumbuh 5%+). Tapi ini murni respons terhadap narrative risk dan anticipatory behavior. Investor institusi, khususnya asing, gak dibayar buat jadi sabar. Mereka dibayar buat antisipasi, buat keluar sebelum “darah menggenang”.
Dan ini semua sudah dijelaskan dengan gamblang oleh para tokoh behavioral finance seperti Kahneman, Tversky, dan Shiller. Ketika ada narasi besar seperti Trade War, pasar tidak menunggu data real. Pasar bergerak duluan. Harga saham anjlok bukan karena realitas, tapi karena ekspektasi akan realitas yang lebih buruk. Sama seperti 2018 saat Trade War Jilid 1. Harga jatuh lebih dulu, ekonomi baru belakangan.
Dalam situasi seperti ini, investor ritel harus waras. Jangan ikut-ikutan panik, tapi juga jangan jadi pahlawan kesiangan. Strategi terbaik? Jangan all-in. Jangan pakai margin. Jangan beli sekaligus. Bagi jadi 4–5 tahap average down. Pilih saham dengan PBV < 1, PER < 10, kas > utang, dan arus kas operasi positif. Hindari saham ekspor yang sensitif terhadap dolar dan tarif. Cari perusahaan yang basisnya domestik, karena mereka lebih tahan terhadap guncangan global.
Dan satu hal penting: jangan remehkan posisi cash. Mereka yang sekarang pegang cash adalah raja. Sementara mereka yang pakai margin hari ini? Mungkin udah diambang margin call.
Kondisi seperti ini akan berlalu, tapi waktunya tidak pasti. Bisa rebound 3 bulan kayak Covid-19. Bisa juga lama kayak krisis 2008. Yang penting bukan siapa paling cepat cuan, tapi siapa yang paling kuat bertahan.
Pasar itu bukan logis, tapi emosional. Dan saat emosi kolektif menguasai, hanya strategi dan disiplin yang bisa menyelamatkan.
Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/10