imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ekspektasi Market Selalu Mendahului Realitas

Market selalu bergerak duluan bukan karena tahu masa depan, tapi karena dibangun atas dasar ekspektasi kolektif—dan ini dijelaskan sangat jelas dalam behavioral economics maupun teori pasar efisien. Dalam kondisi normal, pasar mencerminkan harga berdasarkan informasi yang tersedia. Tapi dalam kondisi krisis atau ancaman krisis, seperti Trade War Jilid 2, pasar bereaksi lebih sebagai makhluk emosional ketimbang makhluk rasional. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Menurut Robert Shiller (pemenang Nobel Ekonomi 2013), pasar itu dipengaruhi oleh narrative economics artinya, cerita atau narasi punya pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku investor. Begitu muncul narasi “Trump kenakan tarif ke 144 negara”, maka pasar tidak menunggu hasil ekspor turun atau pabrik tutup. Pasar langsung diskon efek buruk yang mungkin terjadi, karena mereka tahu waktu adalah musuh. Ketika terlalu lambat, potensi kerugian bisa berlipat ganda. Makanya, reaksi pasar itu lebih cepat dari reaksi ekonomi riil.

Hal ini juga selaras dengan teori harapan adaptif dan expectations hypothesis dalam dunia keuangan. Investor akan menyesuaikan keputusan hari ini berdasarkan apa yang mereka pikir akan terjadi nanti, bukan apa yang terjadi sekarang. Dan dalam behavioral finance, ini disebut sebagai anticipatory behavior—reaksi terhadap sesuatu yang belum kejadian tapi diyakini sangat mungkin terjadi.

Ambil contoh Trade War Jilid 1 di 2018. Tarif diberlakukan awal Juli 2018. Tapi S&P 500, Hang Seng, bahkan IHSG sudah drop signifikan di kuartal kedua dan ketiga 2018, bahkan ketika data ekonomi saat itu masih kelihatan bagus

Kenapa? Karena pasar memproyeksikan produksi terganggu, rantai pasok rusak, dan margin korporasi akan jatuh

Prospect Theory oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky menjelaskan bahwa manusia (termasuk investor) cenderung lebih takut rugi daripada senang saat untung. Dalam situasi penuh ketidakpastian, investor memilih untuk "lari duluan", menjual aset berisiko, dan pindah ke safe haven seperti dolar, emas, atau obligasi negara maju. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Makanya dalam kasus Trade War Jilid 2 yang diumumkan 2 April 2025, pasar langsung turun drastis sebelum tarif berlaku 9 April. Investor global, terutama institusi besar, langsung menjual aset-aset negara berkembang seperti saham Asia, kripto, dan obligasi high-yield, karena mereka tahu dari pengalaman sebelumnya: harga akan jatuh duluan, ekonomi menyusul belakangan.

Dan ini juga dikuatkan oleh Efficient Market Hypothesis (EMH) dari Eugene Fama—yang menyebutkan bahwa semua informasi, termasuk ekspektasi masa depan, sudah tercermin di harga saat ini. Tapi realitas pasar sering kali lebih sesuai dengan teori pasar adaptif milik Shiller: bahwa pasar tidak sepenuhnya efisien, melainkan adaptif terhadap perubahan narasi dan ketakutan kolektif. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi saat semua media dan analis mulai ramai dengan narasi "Trade War Jilid 2 lebih parah dari Jilid 1", pasar pun bereaksi secara otomatis dan refleksif. Ini mirip dengan respons fight or flight pada manusia: bukan soal akurat atau tidak, tapi soal bertahan hidup.

Jadi market bergerak duluan karena investor menghindari kerugian yang belum terjadi (loss aversion). Mereka bertindak berdasarkan narasi dan ekspektasi, bukan data real-time. Ada ketakutan kolektif dan memori akan krisis sebelumnya (Trade War 2018, Covid 2020). Institusi besar dan bandar ingin “keluar duluan” sebelum likuiditas hilang. Oleh karena itu harga saat ini mencerminkan ketakutan masa depan, bukan keadaan real hari ini. Kalau lihat data real GDP Q1 2025 dan LK emiten Q1 2025 yang baru akan rilis akhir April ini, mungkin semuanya masih kelihatan baik - baik saja saja karena di Q1 2025 belum ada trade war.

Dan inilah alasan kenapa, meskipun barang belum kena tarif, IHSG bisa rontok, Hang Seng longsor, dan Bitcoin amblas—karena investor global tidak dibayar untuk menunggu realita, mereka dibayar untuk menghindari risiko sebelum terlambat.

Di tengah turbulensi pasar yang dipicu Trade War Jilid 2, investor ritel sering merasa seperti penumpang kelas ekonomi di pesawat yang turbulensi berat—gak bisa kontrol arah, gak tahu kapan mendarat, tapi masih bisa pakai sabuk pengaman dan jaga diri sendiri. Kita nggak bisa atur tarif dagang, nilai tukar, atau aksi pelaku pasar besar yang tiba-tiba ngejual triliunan. Tapi yang bisa kita kontrol itu sederhana: strategi, emosi, dan disiplin. Menghindari risiko bukan berarti kita minggat dari pasar, tapi tahu kapan harus bertahan, kapan harus nyicil, dan kapan harus minggir dulu sambil ngopi dan lihat situasi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Langkah pertama yang paling rasional adalah jangan pernah masuk pasar dengan mental serba langsung. Jangan all-in, jangan FOMO, dan jangan nekat beli sekaligus. Pasar sedang tidak rasional, jadi logika biasa belum tentu jalan. Strategi terbaik adalah beli pelan-pelan pakai sistem average down bertahap. Misalnya, kamu masuk setiap harga saham turun 15% dari harga sebelumnya, atau tiap valuasinya turun 0,1 PBV. Sisakan juga cadangan kas yang cukup, minimal 30–50% dari total dana di rekening efek atau deposito. Supaya kalau pasar makin longsor, kamu masih bisa nafas dan punya peluru buat nambah posisi dengan tenang.

Lalu pilih saham yang kuat bukan cuma di atas kertas, tapi juga tangguh di dunia nyata. Karakteristiknya sederhana: kas lebih besar dari utang, valuasi murah (PBV di bawah 1 dan PER di bawah 10), dividend yield stabil di atas 6,5%, dan arus kas operasional positif. Bisnisnya juga sebaiknya berbasis domestik dan gak terlalu tergantung ekspor atau mata uang asing, terutama dolar. Karena di masa krisis global, perusahaan dengan ketergantungan tinggi ke luar negeri bakal duluan goyah.

Selain itu, jangan semua dana kamu tanam di saham. Diversifikasi ke dunia nyata dan aset lain itu wajib hukumnya. Sisihkan sebagian di mata uang asing seperti USD atau SGD, atau logam mulia seperti emas. Dan jangan remehkan pemasukan dari kerja, usaha, atau jualan. Income di luar pasar bisa jadi penyelamat saat portofolio kamu merah semua. Dengan begitu, kamu masih bisa nyicil beli saham sehat tanpa harus jual rugi.

Satu hal penting yang sering dilupakan adalah jangan pernah pakai margin, jangan ngutang buat beli saham. Ini bukan masa untuk main api. Kalau kamu beli saham pakai margin dan harga turun 30%, kamu bukan cuma nyangkut, tapi juga bisa dipaksa jual rugi lewat margin call. Di sisi lain, yang pegang cash keras masih bisa beli diskonan dengan tenang.

Jangan lupa juga buat rutin baca arah arus dana dan indikator global. Perhatikan kurs dolar, aliran dana asing, indeks ketakutan pasar seperti VIX, dan harga komoditas. Jangan cuma lihat IHSG, karena IHSG itu akibat, bukan sebab. Kalau asing terus jualan dan dolar tembus Rp17.000, itu sinyal risiko masih tinggi. Jangan buru-buru optimis dan mikir bakal rebound besok. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Bangun portofolio juga harus pakai logika jangka panjang. Bukan beli saham kayak beli gorengan. Bangun pelan-pelan, misalnya target kamu punya Rp50 juta di saham defensif, cicil aja sedikit-sedikit. Pakai sistem “selot”—masuk 1–5 juta setiap kali ada penurunan level. Jadi rekening dana nasabah kamu nggak habis di awal, dan kamu tetap bisa konsisten beli di harga diskon.

Dan terakhir, siapkan mental nyangkut dan sabar. Rebound bisa cepat seperti waktu Covid, cuma 6 bulan. Tapi bisa juga molor seperti krisis global 2008 yang butuh 6 tahun, bahkan kayak Nikkei yang nyangkut 30 tahun. Tapi selama kamu pegang perusahaan yang sehat, cashflow pribadi aman, dan negara ini belum bubar, maka peluang untuk rebound itu selalu ada. Ingat, di pasar saham bukan yang paling cepat cuan yang menang, tapi yang paling bisa bertahan saat badai datang.

Sebagai investor ritel, kita memang kecil dibanding dana asing atau institusi, tapi kita punya kelebihan—kita fleksibel dan nggak ada tekanan performance bulanan. Kita bisa nunggu, bisa sabar, bisa beli nyicil, dan nggak harus jual saat market panik. Yang penting jangan serakah, jangan panik, dan tetap rasional di saat semua orang mabuk emosi. Karena di akhir krisis, yang akan tetap berdiri adalah mereka yang tahu cara bertahan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$DVLA $PRDA $GOTO

Read more...

1/6

testestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy