imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$SCMA: Laba Terbang Tapi CFO Anjlok

Request salah satu user Stockbit bukan di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Tak ada saham yang sempurna. Seperti itulah yang terjadi pada SCMA. Anak $EMTK ini mengalami kenaikan laba bersih +211,3% YoY, dari Rp 156 Miliar ke Rp 485,08 Miliar. Sekilas ini seperti cerita seseorang yang mendadak kaya raya, tapi begitu dicek rekeningnya, CFO nya justru anjlok. Revenue memang naik, tapi beban ikut naik lebih cepat, dan yang paling janggal: cash flow operasional (CFO) justru turun tajam. Jadi, apakah laba sister company $BUKA benar-benar mencerminkan kesehatan finansial atau hanya sekadar ilusi akuntansi? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

SCMA masih sangat bergantung pada iklan TV, meskipun segmen ini mulai kehilangan momentum. Segmen digital, termasuk Vidio dan iklan digital, tumbuh pesat +37,2%, tetapi belum cukup kuat untuk menggantikan dominasi iklan TV. Total revenue naik +8,37%, tetapi iklan TV yang stagnan membuat SCMA harus mencari sumber pertumbuhan baru. Jika tren ini terus berlanjut, SCMA harus mempercepat transisi ke digital atau menghadapi risiko kehilangan pendapatan utama di masa depan.

Meskipun revenue tumbuh, beban ternyata naik lebih cepat, menyebabkan Gross Profit Margin (GPM) turun -3,14%. Penyebab utama adalah kenaikan COGS yang lebih tinggi dari pertumbuhan revenue. Pembayaran kepada pemasok dan karyawan meningkat +23,66%, yang mengindikasikan operasional semakin mahal. Meskipun ada efisiensi di SGA (-1,7%), itu belum cukup untuk menutup kenaikan beban produksi. Jika SCMA tidak segera menekan biaya atau menaikkan harga iklan, margin bisa semakin tergerus di masa depan.

Laba SCMA memang melonjak +211,3%, tapi ini bukan karena bisnis inti yang luar biasa. Beban keuangan turun -83,7% karena SCMA hampir tidak memiliki utang berbunga. Selain itu, pendapatan non-operasional (other income) naik +363,27%, yang menandakan bahwa SCMA lebih banyak menghasilkan keuntungan dari investasi keuangan dibandingkan bisnis utama. Net Profit Margin (NPM) naik dari 2,4% ke 6,7%, tapi ini lebih karena faktor akuntansi daripada peningkatan kinerja operasional. Jika SCMA terus mengandalkan keuntungan dari investasi dan bukan bisnis inti, maka pertumbuhan laba ini tidak akan berkelanjutan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Salah satu anomali terbesar dalam laporan keuangan SCMA adalah CFO yang turun -29,63%, padahal laba bersih naik drastis. Penerimaan kas dari pelanggan memang naik +12,28%, tetapi pembayaran operasional naik lebih cepat (+23,66%), yang menyebabkan penurunan cash flow. SCMA juga menarik investasi aset keuangan sebesar Rp 1,79 Triliun, yang memperbesar kas sementara, tetapi ini bukan dari aktivitas operasional utama. Free Cash Flow (FCF) masih positif di Rp 810,3 Miliar, tetapi turun -28,1%, yang artinya SCMA menghabiskan lebih banyak cashflow dibandingkan tahun sebelumnya.

Masalah lainnya adalah beban akrual Rp 1,10 Triliun lebih besar dari CFO Rp 983,88 Miliar, yang menunjukkan bahwa ada kewajiban besar yang harus dibayar, tetapi arus kas dari operasi tidak cukup untuk menutupnya. Jika SCMA tidak bisa meningkatkan CFO, maka dalam beberapa tahun ke depan mereka bisa mengalami krisis likuiditas. Selama penerimaan kas dari pelanggan lebih besar dari beban akrual, harusnya aman. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Secara kasat mata, SCMA terlihat aman karena kas dan setara kas naik dari Rp 794,42 Miliar (2023) menjadi Rp 1,15 Triliun (2024), meningkat +45% YoY. Tapi kalau kita gali lebih dalam, kenaikan kas ini bukan karena bisnis inti yang kuat, melainkan dari penarikan investasi.

SCMA menarik investasi aset keuangan sebesar Rp 1,79 Triliun, yang kemudian meningkatkan saldo kas mereka. Artinya, kenaikan kas ini bukan berasal dari bisnis inti, melainkan dari divestasi investasi. Jika SCMA tidak menarik dana ini, kemungkinan besar kas mereka akan turun, bukan naik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi, kenaikan kas SCMA lebih karena penyesuaian strategi keuangan daripada hasil dari operasional yang kuat. Ini penting untuk dipahami karena kalau SCMA terus menarik dana dari aset keuangan tanpa meningkatkan CFO, maka ini bukan pertumbuhan kas yang sehat, melainkan strategi sementara untuk menjaga likuiditas.

Singkatnya, cadangan kas SCMA naik, tapi bukan dari bisnis inti. Jika bisnis inti tidak menghasilkan cukup kas dalam jangka panjang, kenaikan kas ini bisa bersifat sementara dan tidak sustainable.

SCMA mengalami kenaikan Net Profit Margin (NPM) dan Operating Profit Margin (OPM), tetapi Gross Profit Margin (GPM) justru turun.

GPM turun -3,14%, menunjukkan beban pokok naik lebih cepat dari revenue.

OPM naik +15,40%, berkat efisiensi operasional.

NPM melonjak +211,3%, tetapi lebih karena faktor non-operasional seperti keuntungan investasi dan turunnya beban keuangan.

CFO Margin turun -29,63%, menunjukkan bahwa kas operasional semakin melemah.

FCF Margin turun -28,1%, yang mengindikasikan bahwa SCMA semakin banyak menghabiskan kas untuk pengeluaran lain di luar operasi inti.

SCMA masih untung, tetapi kalau GPM terus turun dan CFO makin lemah, margin ini bisa tergerus di masa depan.

Secara valuasi, SCMA masih tergolong mahal. Dengan market cap Rp 14,65 Triliun dan EV Rp 13,05 Triliun, valuasinya adalah sebagai berikut:

PER = 30,2x ❌ (Mahal, standar <15x)

PBV = 1,96x ❌ (Sedikit mahal, standar <1,5x)

P/FCF = 18,08x ❌ (Mahal, standar <10x)

EV/Net Income = 26,90x ❌ (Terlalu tinggi)

EV/CFO = 13,26x ❌ (Kurang menarik)

EV/FCF = 16,10x ❌ (Mahal)

EV/Revenue = 1,85x ✅ (Masih wajar)

SCMA hanya bisa disebut murah jika laba terus naik agresif. Jika laba stagnan atau turun, valuasi ini akan terlihat sangat mahal. Dengan Revenue Growth 8% dan Net Income Growth >200% jika konsisten, bisa jadi valuasi yang sekarang malah murah.
Jika Growth lebih besar dari PER = Good.
Jika Growth lebih kecil dari PER = Bad
Jika no growth = rungkad.

SCMA seperti seseorang yang tiba-tiba kaya tapi lupa cek saldo rekeningnya. Revenue naik, tapi biaya naik lebih cepat. Laba besar, tapi sebagian besar berasal dari investasi keuangan, bukan dari bisnis utama. Cashflow lemah, meskipun laba terlihat fantastis.

Bisnis digital tumbuh, tapi belum cukup besar untuk menggantikan TV. Laba besar, tapi banyak dari pendapatan investasi, bukan bisnis utama. Cashflow berkurang, tapi tertolong oleh divestasi aset keuangan. SCMA masih untung, tapi CFO yang turun bisa jadi red flag. Kuncinya memang bagaimana bisa tetap mempertahankan momentum Growth. Revenue naik 8% tapi laba naik lebih dari 200% memang terlalu jomplang ini selisihnya. Tinggal gimana manajemen SCMA bisa mempertahankan Growth ini. Apalagi kan cadangan kas besar. Bisa trading, bisa shortsell, kalau memang sudah bingung mau growth kemana lagi.

Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/9

testestestestestestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy