Investor Kabur dari $INKP , Lo Kheng Hong menampung (Study kasus INKP 2016-2019)

PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), salah satu perusahaan di bawah naungan Sinar Mas Group yang bergerak di industri kertas dan turunannya, pernah mengalami tekanan luar biasa pada tahun 2016. Kala itu, saham INKP terpuruk ke valuasi yang sangat murah berdasarkan price-to-book value (PBV) dan earnings per share (EPS). Investor kawakan seperti Lo Kheng Hong (LKH) dan Robert Susilo melihat peluang di tengah krisis dan berhasil meraup keuntungan besar ketika harga sahamnya melambung.

🧻2016: Tahun Penuh Ketidakpastian

Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2016 yang dirilis INKP, laba bersih perusahaan mengalami penurunan signifikan secara year-on-year (YoY), dari USD 181 juta menjadi hanya USD 97 juta—turun hingga 46%. Lebih mengkhawatirkan lagi, total utang berbunga INKP mencapai USD 4 miliar, dengan utang jangka pendek sebesar USD 1 miliar. Dengan laba bersih hanya USD 97 juta, arus kas operasi USD 277 juta, dan sisa kas USD 105 juta, kondisi keuangan ini tentu menimbulkan kecemasan bagi para investor.

Tekanan semakin berat ketika harga pulp—komoditas utama dalam bisnis INKP—anjlok hingga 25% dalam tiga tahun terakhir. Ditambah lagi, kebijakan tarif bea masuk 107% yang diterapkan Amerika Serikat terhadap kertas asal Indonesia semakin memperburuk situasi.

Dengan kondisi neraca keuangan yang kurang sehat dan harga komoditas yang terpuruk, tidak heran jika mayoritas investor kala itu khawatir INKP akan menghadapi restrukturisasi utang atau bahkan kebangkrutan, karena jika asumsi terburuk itu terjadi maka valuasi murah pun akan menjadi mahal karena skema restrukturiasi baik melalui pelepasan aset atau konversi saham. Pasar merespons dengan aksi jual besar-besaran, membuat harga sahamnya jatuh hingga menyentuh level Rp1.000 per lembar.

Namun, di tengah kepanikan pasar, Lo Kheng Hong justru melihat peluang. Dengan prinsip yang selalu ia pegang teguh—“Buy in bad times, sell in good times”, ia mulai mengakumulasi saham INKP di saat ketakutan memuncak.


🧻2017: Momentum Kebangkitan

Keputusan berani LKH berbuah manis ketika pada tahun 2017, harga pulp mengalami lonjakan signifikan. Salah satu pemicunya adalah kebijakan pemerintah China yang menutup sejumlah pabrik kertas demi mengurangi polusi, sehingga pasokan pulp global berkurang. Di sisi lain, permintaan kertas, terutama tisu, meningkat pesat. Kombinasi ini menciptakan momentum luar biasa bagi industri pulp dan kertas.

Hasilnya, pada 2017 INKP mencatatkan EPS sebesar Rp1.000, lalu meningkat menjadi Rp1.500 di tahun 2018. Saham yang semula diperdagangkan di kisaran Rp1.000 melonjak berkali-kali lipat. Lo Kheng Hong dan beberapa investor lain, seperti Robert Susilo, yang sudah lebih dulu masuk di harga murah, mulai melepas kepemilikannya di harga tinggi, meraup keuntungan hingga 10 kali lipat dengan kisaran nominal secara akumulatif senilai trilliunan rupiah.


🧻2019: Siklus Berulang, Harga Saham Kembali Tertekan

Namun, seperti halnya bisnis berbasis komoditas lainnya, industri kertas dan pulp bersifat siklikal. Menjelang akhir 2018, harga pulp kembali anjlok, yang berdampak langsung pada kinerja keuangan INKP. EPS yang sempat mencapai Rp1.500 di 2018 turun drastis menjadi Rp697 pada 2019.

Menariknya, pada awal 2019, masih ada investor yang membeli saham INKP di harga sekitar Rp9.000 dengan asumsi valuasi PE (Price to Earnings) yang masih rendah, yakni sekitar 6 kali. Banyak dari mereka yang menganggap INKP sebagai perusahaan growth dengan potensi kenaikan harga lebih lanjut, tanpa memperhitungkan variabel utama dalam bisnisnya—harga pulp.

Pada akhirnya, ketika laporan keuangan 2019 dirilis dan menunjukkan penurunan laba signifikan, harga saham INKP kembali merosot.


🧻Pelajaran dari Strategi Lo Kheng Hong

Kisah INKP ini memberikan pelajaran penting bagi investor. Lo Kheng Hong berani membeli saham ketika PBV dan PE sangat murah, dengan keyakinan bahwa harga pulp suatu saat akan pulih (jika laba ternyata lanjut anjlok pun PE PBV masih murah). Namun, keberhasilannya bukan sekadar keberuntungan. Ia memahami bahwa bisnis INKP sangat bergantung pada harga pulp, dan ketika momentum perubahan harga terjadi atau sekedar cukup dengan profit yang didapat, ia sudah siap mengambil keuntungan.

Sebaliknya, banyak investor yang membeli di harga tinggi dengan asumsi INKP adalah perusahaan growth tanpa memahami siklus bisnisnya. Mereka mengandalkan rasio PE tanpa menggali lebih dalam faktor-faktor fundamental yang memengaruhi kinerja perusahaan.

Kisah ini kembali menegaskan bahwa dalam investasi, memahami karakter bisnis lebih penting daripada sekadar melihat angka valuasi di permukaan. Seperti kata Lo Kheng Hong, “Beli saat buruk, jual saat baik”—sebuah prinsip yang terbukti menghasilkan keuntungan besar bagi mereka yang sabar dan memahami permainan.

Berita Fear INKP 2016 : https://cutt.ly/PriOJkMC

Berita Euforia INKP 2019 : https://cutt.ly/ZriOJkFp

Random tag emiten viral : $WIFI $ITMG

Read more...
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy