Menyelami Laporan Laba Rugi: Mencari Karakter Perusahaan di Balik Angka 🤿🤿
Ketika tertarik dengan sebuah saham, laporan laba rugi biasanya menjadi tempat pertama yang saya cek. Bukan hanya soal berapa besar laba bersih yang dicetak, tapi bagaimana pendapatan berubah menjadi laba, serta beban-beban apa saja yang menggerusnya.
Saya selalu memulai dengan sedikit kecurigaan. Bukan berarti pesimis, tapi lebih kepada berpikir kritis. Dalam dunia investasi, ada kemungkinan perusahaan tidak sepenuhnya transparan—entah karena alokasi modal yang kurang efisien atau ada kepentingan tertentu di balik angka-angka yang ditampilkan.
🤔Mencermati Beban yang Mencurigakan
Ada beberapa hal menarik yang pernah saya temui dalam laporan keuangan:
• Sewa aset dari istri pemegang saham pengendali (PSP) dengan harga setara gaji CEO, padahal asetnya terlihat seperti rumah (jika dicek di Google Maps).
• Beban proyek metaverse yang tidak ada hubungannya dengan bisnis inti, ditambah pengeluaran besar untuk jasa konsultasi YouTube.
• Akuisisi perusahaan sekarat, lalu setelah membaik, malah memberikan pinjaman tanpa bunga ke afiliasi.
• Pinjaman berbunga tinggi dari afiliasi (di atas 10%), lalu melakukan right issue untuk melunasinya.
Apakah ini bentuk “kenakalan”? Tidak selalu. Bisa jadi memang budaya bisnisnya seperti itu. Tapi sebagai investor, kita punya kebebasan untuk setuju atau tidak dengan model bisnis seperti ini. Tidak heran banyak perusahaan yang dihargai di bawah nilai bukunya (PBV <1), karena alokasi modal yang kurang efisien—bisa disengaja, bisa juga karena kondisi bisnis yang sedang sulit.
🤔Membaca Pola Bisnis dari Laporan Laba Rugi
Dari laporan laba rugi, ada beberapa pola yang bisa terlihat:
• Pendapatan menunjukkan segmen bisnis mana yang paling berkontribusi.
• Beban usaha membantu memahami efisiensi operasional dan potensi kebocoran keuangan.
• Gaji karyawan bisa menjadi indikator apakah perusahaan lebih banyak mengalokasikan biaya ke tenaga kerja lapangan atau justru ke administrasi yang diisi oleh PSP dan relasinya.
Untuk gaji, saya biasanya membandingkan kenaikannya secara YoY terhadap pendapatan. Logikanya sederhana—pekerja digaji untuk menghasilkan output yang tercermin dalam pendapatan. Namun, perlu juga dilihat dari fase bisnisnya. Ada yang memang menggelembungkan biaya, tapi ada juga yang sedang dalam tahap ekspansi, sehingga wajar jika ada kenaikan gaji.
Misalnya, perusahaan di sektor pariwisata mungkin perlu melakukan promosi besar-besaran dan mengadakan workshop di luar negeri. Ini membuat beban gaji naik karena harus menggaji pekerja dalam mata uang asing atau bahkan membuka kantor cabang agar lebih efisien dalam jangka panjang.
🤔Mencari Karakter Perusahaan di Balik Angka
Menyelami laporan laba rugi bukan sekadar melihat laba bersih, tetapi lebih kepada memahami pola bisnisnya dari waktu ke waktu. Dalam dunia usaha, 1+1 tidak selalu 2. Bisa saja investasi yang dilakukan saat ini belum berdampak signifikan, tetapi di tahun-tahun berikutnya memberikan pertumbuhan yang lebih besar.
Tidak semua perusahaan di BEI benar-benar menghargai investor minoritas. Ada yang menjadikan status sebagai perusahaan terbuka hanya untuk mempermudah transaksi atau pendanaan. Ada yang lebih suka menggaji diri sendiri tinggi daripada membayar dividen. Ada juga yang memilih menerbitkan obligasi berbunga tinggi daripada mengundang investor pasif.
Bagi saya, sweet spot adalah perusahaan yang keran uangnya mengalir ke dividen. Dengan begitu, kepentingan saya sebagai investor selaras dengan pemilik mayoritas. Risiko “dikerjai” lebih kecil, dan jika laba naik, hasilnya benar-benar bisa dinikmati—bukan sekadar memegang sertifikat kepemilikan saham.
Tentu, laba rugi hanyalah langkah awal. Setelah ini, neraca dan arus kas operasional juga perlu diperiksa untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap. Tapi itu pembahasan lain. Kali ini, saya hanya ingin berbagi cara menyelami laporan laba rugi dengan lebih kritis dan objektif.
$BBRI $IHSG $BMRI