Dampak Potensi Kenaikan Royalti Pada LK $INCO
Beberapa hari yang lalu ada salah satu member Pintar Nyangkut di External Community Pintar Telegram dengan Kode External Community A38138 yang share tentang rencana pemerintah menaikkan royalti nikel https://stockbit.com/post/13223345
Vale Indonesia (INCO) kini harus menerima kenyataan: mereka bukan lagi perusahaan tambang, tapi mesin ATM pemerintah. Royalti yang tadinya cuma 2-3%, sekarang mau dinaikkan ke 4,5%-6,5%. Kalau sebelumnya mereka cukup setor USD 19,45 juta (Rp 318,97 miliar), nanti setelah aturan ini berlaku, angka itu bakal naik ke USD 42,77 juta (Rp 701,39 miliar) kalau tarif 4,5%, atau USD 61,78 juta (Rp 1,01 triliun) kalau tarif 6,5%. Artinya, dalam satu tanda tangan, beban royalti Vale bisa naik 120%-217%. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Kenaikan ini jelas bukan buat kepentingan tambang atau industri. Ini soal negara butuh duit. Banyak duit. APBN makin bocor ke mana-mana, sementara pengeluaran makin membengkak. Pajak? Coretax yang seharusnya bikin penerimaan pajak lebih efektif malah jadi bencana administratif. Bukannya nambah pendapatan, malah bikin perusahaan makin repot. Jadi kalau pajak nggak bisa digenjot, ya tinggal naikkan royalti tambang. Cepat, gampang, dan dijamin langsung terasa.
Di sisi lain, ada IKN (Ibu Kota Nusantara), proyek ambisius yang harus tetap jalan meskipun investor asing masih lebih banyak nonton dari pinggir lapangan. Kalau dana luar nggak masuk? Solusi tercepat: naikkan royalti tambang dan alirkan duitnya ke proyek ini.
Belum cukup? Masih ada program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang katanya bakal memberi makan anak-anak sekolah dengan anggaran Rp 10.000 per anak. Pertanyaannya, gizi apa yang bisa didapat dengan duit segitu? Nasi, tempe, dan air putih? Atau malah cuma nasi putih dan kuah doang? Tapi tetap saja, program ini harus jalan, dan salah satu sumber dananya? Dari royalti tambang.
Lalu ada BUMN karya yang sekarat. WIKA, WSKT, dan kawan-kawannya udah di ujung tanduk. Kalau nggak diselamatkan, proyek infrastruktur bisa berhenti. Jadi, cara termudah? Naikkan royalti tambang, suntikkan duit ke mereka lewat PMN (Penyertaan Modal Negara), dan pura-pura semua baik-baik saja.
Puncaknya, ada Kredit Komando Koperasi Merah Putih, yang katanya mau bagi-bagi Rp 5 miliar per koperasi ke 80.000 koperasi. Totalnya? Rp 400 triliun. Duitnya dari mana? Salah satunya, tentu saja, dari kenaikan royalti tambang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Lalu, gimana dampaknya buat Vale? Gampang. Laba bersih mereka bakal nyungsep. Dari yang tadinya masih bisa untung USD 57,76 juta (Rp 947,66 miliar), setelah royalti naik ke 4,5%, bakal anjlok jadi USD 7,73 juta (Rp 126,80 miliar)—turun 87%. Kalau tarif naik ke 6,5%, Vale langsung rugi USD 7,09 juta (Rp 116,35 miliar). Dari perusahaan untung hampir Rp 1 triliun, tiba-tiba malah jadi perusahaan rugi.
Net Profit Margin (NPM) yang tadinya masih 6,1%, setelah aturan ini berlaku bakal terjun bebas ke 0,8% atau bahkan negatif (-0,7%). Artinya? Vale sekarang kerja buat bayar pajak dan royalti, bukan buat cari untung. Negara senang, Vale ngos-ngosan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Arus kas juga makin seret. Biaya operasional mereka nggak kecil. COGS tetap di USD 842,16 juta (Rp 13,80 triliun), bahan bakar USD 191,26 juta (Rp 3,14 triliun), gaji karyawan USD 82,60 juta (Rp 1,35 triliun). Dengan laba makin tipis, jangan heran kalau Vale mulai cari cara buat pangkas biaya, stop ekspansi, atau bahkan PHK.
Di sisi lain, saham Vale juga bisa kena dampaknya. Laba anjlok → EPS turun → PER naik → Investor panik. Saham yang tadinya masih menarik buat investor bisa kehilangan daya tarik karena profitabilitasnya mulai dikikis.
Jadi apa pilihan Vale? Naikkan harga jual? Sayangnya nggak bisa. Harga nikel ditentukan pasar global, bukan seenaknya Vale bisa naikkan harga buat nutupin beban ini. Kalau harga nikel turun? Vale kena double kill: pendapatan turun, beban naik.
Pilihan lain? Vale bisa mulai pindah investasi ke negara lain. Filipina, Australia, atau bahkan Afrika mungkin lebih menarik kalau regulasi di sana nggak doyan menaikkan royalti tiap tahun. Kalau Vale sampai cabut, Indonesia nggak cuma kehilangan pajak dan royalti, tapi juga kehilangan investasi jangka panjang dan ribuan lapangan kerja. Tapi ya, siapa peduli? Yang penting duit masuk buat bayar proyek-proyek besar.
Jadi Vale bukan lagi perusahaan tambang, tapi lebih mirip mesin ATM buat pemerintah. Dari yang tadinya bisa untung hampir Rp 1 triliun, sekarang cuma kerja bakti buat negara. Sementara pemerintah puas dengan setoran lebih besar, Vale harus cari cara buat bertahan. Vale juga sudah bagian dari BUMN sih seperti $ANTM jadi memang udah nasibnya jadi ATM Pemerintah.
Entah itu dengan pangkas biaya, stop ekspansi, atau kalau sudah nggak tahan, ya tinggal angkat kaki dari Indonesia.
🔥Potensi Dampak
1. Beban Royalti Naik Drastis
Sebelum kenaikan: USD 19,45 juta (Rp 318,97 miliar)
Setelah kenaikan 4,5%: USD 42,77 juta (Rp 701,39 miliar)
Setelah kenaikan 6,5%: USD 61,78 juta (Rp 1,01 triliun)
Potensi Kenaikan beban royalti 120%-217%
2. Laba Bersih Anjlok
Sebelum kenaikan: USD 57,76 juta (Rp 947,66 miliar)
Setelah kenaikan 4,5%: USD 7,73 juta (Rp 126,80 miliar) (turun 87%)
Setelah kenaikan 6,5%: Rugi USD 7,09 juta (Rp 116,35 miliar)
3. Net Profit Margin (NPM) Turun Drastis
Sebelum kenaikan: 6,1%
Setelah kenaikan: 0,8% atau negatif (-0,7%)
Sekali lagi ini hanya asumsi. Belum tentu benar. Ini bukan rekomendasi jual dan beli saham. Keputusan ada di tangan masing-masing investor.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://cutt.ly/XruoaWRW
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$NCKL
1/10