Terombang-Ambing di Kora-Kora $PJAA: Dari Optimisme ke Realita
Tahun lalu, saya akhirnya merealisasikan kerugian di PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk (PJAA), sebuah emiten yang sebelumnya saya yakini memiliki prospek pertumbuhan cerah. Keyakinan saya didasarkan pada moat yang kuat berupa brand ternama serta lokasi strategis di Jakarta. Selain itu, proyek Museum Rasulullah dan rencana reklamasi yang saya anggap sebagai game changer turut memperkuat optimisme saya terhadap saham ini.
Namun, realita berbicara lain. Bahkan setelah harga sahamnya turun menjelang rilis laporan keuangan kuartal I-2024, saya sempat beberapa kali menambah posisi. Namun, ketika laporan tersebut akhirnya dirilis, sejumlah beban operasional mengalami lonjakan yang melebihi batas toleransi saya, sementara pendapatan dari segmen utama justru merosot tajam. Atas dasar itu, saya memutuskan untuk melakukan net sell secara bertahap.
🎢Lonjakan Beban dan Penurunan Pendapatan
Salah satu kenaikan biaya yang mengganggu adalah beban penyelenggaraan pertunjukan, yang melonjak dari Rp5,5 miliar menjadi Rp9,7 miliar—naik Rp4,2 miliar. Secara nominal mungkin terlihat kecil, tetapi kenaikan hampir dua kali lipat ini mencerminkan ketidakefisienan dalam alokasi modal. Padahal, pada kuartal II yang bertepatan dengan Lebaran, acara yang diselenggarakan jauh lebih besar, sehingga beban ini berpotensi meningkat lebih jauh.
Namun, beban pertunjukan bukanlah perhatian utama saya. Yang paling mengkhawatirkan adalah penurunan pendapatan dari wahana wisata yang anjlok hingga 15%. Ini merupakan penurunan terbesar sebelum pandemi, yang menimbulkan pertanyaan: apakah ini murni akibat melemahnya daya beli masyarakat, atau justru karena daya tarik Ancol terhadap pengunjung mulai berkurang?
Bahkan, meski harga tiket pintu gerbang telah naik 10%, jumlah penjualan hanya meningkat 16%—atau jika disesuaikan dengan kenaikan harga, pertumbuhannya hanya sekitar 6%. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan pendapatan lebih banyak disebabkan oleh penyesuaian harga ketimbang peningkatan jumlah pengunjung, yang semakin memperkuat kekhawatiran saya terhadap kondisi fundamental bisnis PJAA.
Saya beberapa kali mengunjungi Ancol pada Januari, Februari, dan Maret 2024 untuk melihat perkembangan di lapangan. Dibandingkan dengan Januari 2023 yang macet luar biasa, suasana Ancol pada Januari 2024 terasa jauh lebih sepi. Di bulan puasa, saya menyaksikan acara reguler ngabuburit dengan ceramah yang dilanjutkan musik live, tetapi jumlah pengunjung minim. Hal ini sempat menimbulkan kekhawatiran bahwa beban operasional akan naik signifikan tanpa dampak positif terhadap pendapatan—dan ternyata, kekhawatiran itu terbukti benar.
🎢Kesalahan Fatal: Ekspektasi Growth di Saham BUMD
Kesalahan mendasar dalam investasi saya di PJAA adalah terlalu berharap pada pertumbuhan (growth) dalam saham yang mayoritas dimiliki oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Secara historis, saham BUMD cenderung rentan terhadap politisasi, dan PJAA tidak luput dari permasalahan ini.
Beberapa katalis yang sebelumnya saya anggap akan menjadi pendorong pertumbuhan justru tidak berjalan sesuai ekspektasi:
• Museum Rasulullah akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (DKJ), menghilangkan potensi kontribusi bagi PJAA.
• Reklamasi yang semula diharapkan menjadi sumber pertumbuhan justru mengalami ketidakpastian perencanaan dan pemanfaatannya.
• Tidak adanya rencana rights issue oleh DKJ sebagai pemegang saham mayoritas, dengan kecenderungan lebih memilih skema Build-Operate-Transfer (BOT) untuk menggaet investor asing.
• Lahan-lahan di Ancol yang belum maksimal dikembangkan akibat terkunci oleh izin yang masih dipegang pengusaha tanpa ada kejelasan pembangunan.
Bahkan dalam sebuah site visit ke $PANI bersama Stockbit, saya mendapatkan informasi bahwa margin bisnis reklamasi ternyata sangat tipis karena biaya yang sangat tinggi. Atas dasar ini, saya memutuskan untuk tidak lagi memasukkan proyeksi reklamasi sebagai faktor pertumbuhan PJAA dan lebih realistis menganggap tahun 2024 sebagai titik keseimbangan baru (new normal).
🎢PJAA Butuh Efisiensi Sebelum Berharap Pertumbuhan
Meski memiliki lokasi strategis dan brand yang kuat, PJAA menghadapi tantangan struktural yang tidak bisa diabaikan. Efisiensi biaya menjadi langkah mendesak yang harus dilakukan sebelum perusahaan berharap pada ekspansi.
Sebagai perbandingan, PT Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) mampu menyetor dividen sebesar Rp100-300 miliar, jauh lebih besar dibandingkan dividen yang disetorkan oleh PJAA. Ini mengindikasikan bahwa meskipun PJAA merupakan kontributor utama dalam operasional Ancol, ada beban di tingkat holding atau unit usaha lain yang tidak menghasilkan laba optimal, sehingga menghambat value bagi investor.
Saat ini, valuasi PJAA memang terlihat murah, dengan asumsi dividen di kisaran 5-6% dan rasio price-to-earnings (PE) yang cukup menarik. Namun, dengan kondisi pasar yang sedang mengalami koreksi dalam dan menawarkan banyak peluang menarik lainnya, pertanyaannya adalah: apakah harga PJAA sudah cukup murah untuk tetap dipertimbangkan?
Ke depan, menurut saya salah satu cara bagi PJAA untuk keluar dari stagnasi, selain efisiensi, adalah dengan menjalin kesepakatan yang lebih menguntungkan dengan DKJ—misalnya, mendorong pemegang saham mayoritas untuk mempertimbangkan rights issue dan insentif atau membuka peluang bagi investor asing untuk berkolaborasi dalam pengembangan Ancol.
Alih-alih memakai modal sendiri di proyek Transit Oriented Development (TOD) yang padat modal—meski sangat bagus untuk wisata Ancol ke depannya—PJAA perlu memastikan skema investasi yang lebih menguntungkan dan berkelanjutan.
Selamat bekerja untuk Pak Winarto dan tim. Semoga amanah dalam mengelola PJAA dan dapat memperjuangkan negosiasi yang lebih baik demi masa depan perusahaan.