Valuasi dengan PBV dan PER itu menggunakan asumsi yang berbeda: Mengenal perbedaan asumsi likuidasi dan going concern dalam valuasi
Karena suatu hal, Andi bermaksud untuk menjual toko elektronik yang dimilikinya termasuk tanahnya.
Di harga berapa Andi seharusnya menjual toko tersebut?
Andi memiliki 2 pilihan:
- Yang pertama, dia menilai asetnya satu persatu, termasuk tanah dan bangunannya. Bisa saja barang dagangannya dijual ke A dan tanah beserta bangunan dijual ke B.
Ini adalah asumsi likuidasi. Tokonya berhenti beroperasi dan asetnya dijual.
- Yang kedua, Andi menjual tokonya berdasarkan asumsi bahwa tokonya akan terus beroperasi. Jadi usahanya hanya berpindah tangan saja.
Ini adalah asumsi going concern. Andi akan menilai harga jual yang pantas untuk tokonya berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan keuntungan.
Hal yang sama juga akan dipikirkan oleh calon pembelinya, katakanlah Dedi.
Ketika hendak membeli tokonya, Dedi pasti akan berpikir mau diapakan tokonya nanti. Mau dihentikan operasional lalu dijual asetnya (likuidasi) atau dilanjutkan operasionalnya (going concern).
Secara sederhana, salah satu rasio yang menggunakan asumsi likuidasi adalah PBV. Pada PBV, kita menilai suatu perusahaan berdasarkan nilai asetnya. Apakah harga yang kita bayarkan sebanding dengan nilai aset yang akan kita terima setelah dikurangi oleh kewajibannya.
Tentu PBV memiliki kelemahan. Apakah benar kita bisa menjual asetnya sesuai dengan nilai yang tercantum dalam LK?
Misalnya, apakah kita bisa menjual dagangan dengan harga normal? Jangan-jangan kita harus menjualnya dengan harga diskon besar agar bisa cepat laku.
Jika ingin lebih detail, kita bisa menggunakan valuasi Net-Net nya Ben Graham. Valuasi Net-Net ini juga pernah digunakan oleh Warren Buffett saat hendak membeli Dempster Mill.
Sementara itu, salah satu rasio yang menggunakan asumsi going concern adalah PER.
Dengan menggunakan PER, kita berasumsi bahwa perusahaan akan terus beroperasi dan menghasilkan keuntungan.
Jika ingin lebih komprehensif lagi, kita bisa menggunakan rasio PEG atau bahkan DCF yang menyertakan faktor pertumbuhan laba dalam valuasi.
Tentu saja PER, PEG, dan DCF memiliki kelemahan juga. Siapa yang bisa menjamin bahwa perusahaan akan terus bisa menghasilkan laba di masa mendatang?
Catatan akhir:
1. Pastikan kita memahami apakah kita menggunakan asumsi likuidasi atau going concern karena hasilnya bisa sangat berbeda. Sesuaikan ekspektasi kita berdasarkan asumsi tersebut.
2. Perusahaan tidak bisa dilikuidasi dan tetap beroperasi secara bersamaan. Kedua kejadian tersebut bersifat mutually exclusive.
Contohnya, saya pernah berdiskusi dengan seseorang yang mencoba menggabungkan hasil valuasi keduanya. Dia berpendapat bahwa value suatu saham adalah book value + laba bersihnya.
Gimana ya. Book value kan menggunakan asumsi likuidasi. Sementara laba bersih menggunakan asumsi going concern. Kita harus memilih mana asumsi yang kita gunakan. Ingat, kedua kejadian bersifat mutually exclusive (tidak bisa terjadi bersamaan).
Kalau kamu lebih suka pakai asumsi yang mana?
$IHSG