Menakar Investasi Soros Fund di $TMPO : Strategi Keuangan atau Narasi Geopolitik?
Belakangan ini, perhatian publik kembali tertuju pada investasi Soros Fund melalui instrumen Obligasi Konversi berbunga 0% per tahun yang diberikan oleh Media Development Investment Fund (MDIF) kepada PT Tempo Inti Media Tbk (TMPO). Obligasi ini memiliki klausul pelunasan pada 2028 atau dapat dikonversi menjadi saham saat entitas anak TMPO, yakni IMD, melaksanakan IPO dalam kurun waktu 2–4 tahun mendatang.
Dalam dunia investasi, keputusan setiap pemodal didasarkan pada keyakinan terhadap prospek masa depan. Sebagai contoh, apabila investor percaya bahwa dominasi produk impor dari Tiongkok tidak akan mengganggu prospek bisnis PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk ($RALS), maka saham RALS dapat menjadi pilihan investasi yang menarik. Namun, benar atau tidaknya asumsi tersebut hanya akan terjawab seiring waktu.
Hal yang serupa juga berlaku pada pendanaan Soros Fund di TMPO. Skema ini bukanlah hibah murni, melainkan sebuah investasi dengan ketentuan yang jelas—baik melalui pelunasan di 2028 maupun konversi ekuitas saat IPO IMD. Oleh karena itu, narasi yang menyebutkan bahwa Soros ingin “mengobrak-abrik” Indonesia melalui TMPO terkesan berlebihan dan kurang berlandaskan fakta ekonomi yang objektif.
Soros dan Strategi Investasi: Belajar dari Krisis Poundsterling
Nama George Soros kerap dikaitkan dengan spekulasi mata uang, terutama dalam peristiwa Black Wednesday (1992), di mana ia berhasil meraup keuntungan besar dengan melakukan short-selling terhadap Poundsterling. Keberhasilan strategi ini bukan semata karena manuver Soros sendiri, melainkan kombinasi dari beberapa faktor, seperti fondasi ekonomi Inggris yang lemah, gelombang besar aksi jual di pasar, serta ketidakpercayaan investor terhadap Poundsterling, meskipun suku bunga telah dinaikkan hingga 12%.
Secara teknikal, fenomena ini dapat dianalogikan dengan pola perdagangan saham. Ketika terdapat volume jual yang besar pada suatu saham, pelaku pasar sering kali menganggap adanya sesuatu yang tidak beres, sehingga aksi jual semakin meluas. Namun, apabila fundamental perusahaan tetap kuat dan valuasinya sudah terlalu murah, maka tekanan jual dapat mereda dengan masuknya investor berbasis nilai (value investor), investor kontrarian, atau bahkan aksi beli dari perusahaan itu sendiri.
Dalam kasus Poundsterling, ketika tren net sell terjadi dalam kondisi fundamental yang lemah serta overvaluasi mata uang, Soros pun diuntungkan karena visinya menjadi kenyataan—yakni Poundsterling memang terbukti melemah.
Kembali ke TMPO: Antara Narasi Politik dan Fundamental Ekonomi
Lalu, apakah investasi Soros Fund di TMPO merupakan langkah yang bertujuan mengguncang perekonomian Indonesia? Hal ini tentu sangat bergantung pada kondisi ekonomi nasional. Jika fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat dan kebijakan pemerintah responsif terhadap berbagai tantangan, maka narasi bahwa TMPO akan menjadi alat untuk mengguncang stabilitas negara tidak memiliki dasar yang kuat.
Perlu diingat, dalam sejarah kebebasan pers di Indonesia, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah membubarkan Departemen Penerangan dengan semangat membiarkan pasar yang menilai kualitas media. Jika sebuah media tidak kredibel, pembaca pada akhirnya akan meninggalkannya.
Di sisi lain, bagi investor minoritas di TMPO, perhatian terhadap aspek keuntungan finansial tetap menjadi hal yang krusial. Perusahaan diharapkan tidak hanya membagikan “dividen semangat perjuangan,” tetapi juga memberikan apresiasi nyata kepada pemegang saham dalam bentuk dividen yang riil.
Pada akhirnya, investasi di pasar modal selalu mengandung risiko dan peluang. Keputusan Soros Fund di TMPO dapat dilihat sebagai strategi investasi yang sah, tetapi dampaknya terhadap pasar dan industri media di Indonesia baru akan terlihat dalam beberapa tahun mendatang.