Menangkap Pisau Jatuh (?)
______________________________________
A Brief Thesis Invesment of PT. Adaro Mineral Indonesia Tbk.
Profil
PT. Adaro Minerals Indonesia, Tbk. merupakan anak usaha PT. Alamtri Resources Indonesia Tbk. (dahulu PT. Adaro Energy Indonesia Tbk) dengan fokus untuk memimpin pilar pertumbuhan grup Adaro pada pertambangan batubara metalurgi dan mineral serta pengolahan mineral.
Model Bisnis
$ADMR memiliki 2 segmen bisnis yaitu segmen pertambangan batubara metalurgi dan mineral serta segmen pengolahan mineral. Pada bisnis pertambangan batubara metalurgi perseroan memiliki 6 area konsesi yang terletak di kalimantan tengah dan kalimantan timur dengan total luas lahan 146.579 ha. Per Desember 2023 cadangan batubara perseroan sebesar 173 juta ton serta sumber daya sebesar 975 juta ton
Sebagai gambaran singkat, batubara metalurgi memiliki beberapa karakteristik unik yang membedakannya dari batubara termal. Batubara metalurgi memiliki kandungan abu, sulfur, dan fosfor yang rendah, sehingga lebih efisien jika digunakan dalam proses metalurgi. Sementara itu, batubara termal memiliki kandungan karbon yang lebih rendah, sehingga lebih cocok untuk digunakan dalam pembangkit listrik. Meskipun batubara metalurgi memiliki kandungan kalori tinggi, yaitu sekitar 5.700-8.000 kkal/kg, batubara ini tetap dapat digunakan untuk pembangkit listrik. Batubara metalurgi dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu Hard Coking Coal (HCC), Semisoft Coking Coal (SSCC), dan Pulverized Coal Injection (PCI).
Tambang operasional perseroan memproduksi semisoft coking coal (SSCC) dan hard coking coal (HCC). HCC yang diproduksi perseroan berasal dari konsesi Lampunut yang berada di bawah MC. Kandungan fosfor dan abu yang rendah serta vitrinit yang tinggi menjadikan perseroan pionir dalam produksi batubara metalurgi kualitas premium di Indonesia. Produk perseroan umumnya digunakan sebagai kokas dalam pencampuran produksi baja. Batubara perseroan diproses dengan memanaskan batubara tanpa udara guna menghasilkan kokas kaya karbon yang digunakan sebagai bahan bakar suhu tinggi untuk melelehkan bijih besi. Selain itu juga digunakan sebagai agen pereduksi dengan menghilangkan oksigen dari bijih besi, dan penopang struktur dalam tanur sembur (blast furnace).
Berada di dalam suatu Grup yang matang membawa keberkahan tersendiri bagi perseroan. Meskipun konsesi perseroan berada jauh di tengah-tengah pulau kalimantan, namun dengan infrastruktur yang memadai dari Adaro Group membuat supply chain dari perseroan tetap terjaga efisiensinya. Perseroan memanfaatkan hauling road, kapal tunda dan tongkang hingga Bulk Terminal yang dimiliki group sehingga ADMR terus mencatatkan peningkatan efisiensi dari waktu ke waktu.
Sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu mari kita menyelami industri batubara metalurgi global. Dalam pasar batubara metalurgi, Indonesia bukanlah pemain utama yang menyuplai kebutuhan dunia. Hal ini cukup berbeda dibanding dengan pasar batubara termal. Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan Australia yang mampu menyuplai kebutuhan internasional batubara metalurgi sebesar 170 juta ton atau 50% dari kebutuhan ekspor dunia. Meskipun China merupakan produsen terbesar batubara metalurgi, seluruh produksinya hampir diserap oleh industri dalam negeri. Hal ini menjadikan Australia sebagai eksportir terbesar batubara metalurgi di dunia.
Sedangkan dari segi permintaan, China masih memimpin permintaan global meskipun diproyeksikan bahwa India akan mengambil alih sebagai posisi puncak pada tahun-tahun mendatang. Mayoritas batubara metalurgi digunakan dalam industri baja, dan industri baja sendiri terkenal cukup resilient dalam kondisi krisis seperti Covid-19 kemarin. Dengan kuat nya industri hulu, membuat batubara metalurgi yang berada di hilir juga terimbas positif dengan resiliensinya di waktu-waktu rendah. Hal ini menyebabkan harga acuan batubara metalurgi akan lebih tinggi dibanding harga acuan Newcastle Index (kecuali kondisi anomali seperti pasca Covid-19).
Setiap tahunnya, China mampu memproduksi sekitar 1 miliar ton baja dan menyumbang 50% dari total produksi global. Tingginya angka ini membuat pertumbuhan industri baja di China menjadi lebih terbatas. Sementara itu, India, dengan pesatnya laju ekonomi dalam negeri, berpotensi mengambil alih posisi sebagai produsen baja global. India memiliki rencana ambisius untuk memperluas kapasitas produksi bajanya dengan target mencapai 300 juta ton pada akhir 2030.
World Steel Association (WSA) memperkirakan konsumsi baja dunia pada tahun 2025 akan tumbuh sebesar 1,2%. Meskipun pertumbuhan dari China diprediksi stagnan, India diperkirakan akan menyumbang pertumbuhan sebesar 8% dibarengi oleh pertumbuhan di negara-negara ASEAN. Dorongan permintaan baja akan ditopang oleh sektor konstruksi (43%), diikuti oleh otomotif (27%), energi (6%), dan permesinan (9%). Permintaan baja akan didorong oleh tiga faktor utama, yaitu sektor konstruksi untuk mengakomodasi tingkat urbanisasi, program Green Energy, dan pertumbuhan industri manufaktur.
Keunggulan Kompetitif
Meskipun terdapat beberapa usaha penelitian untuk mencari alternatif pengganti kokas yang lebih ramah lingkungan. Namun tak bisa dipungkiri Batubara Metalurgi masih memiliki pelbagai keunggulan yang sulit untuk di duplikasi oleh penggatinya. Para produsen baja berusaha mengembangkan teknologi alternatif seperti tungku busur listrik, direct reduction proses dan coal blending yang memanfaatkan batubara termal yang jauh lebih terjangkau. tetapi tetap saja batubara metalurgi lebih menawarkan kualitas kokas premium yang dapat digunakan untuk menghasilkan baja kelas premium. Selain itu batubara metalurgi juga dapat mengakomodasi produksi kapasitas besar dalam satu waktu dengan tetap menjaga kestabilan selama proses produksi.
Penggunaan batubara metalurgi dalam proses produksi baja juga menghasilkan economic of scales dikarenakan kapasitas produksi dan infrastruktur terpasang yang mapan membuat biaya produksi per ton besi cair di blast furnace menjadi lebih terjangkau. Kondisi ini menimbulkan multiplier effect bagi produsen batubara yang membuat margin harga menjadi lebih tinggi.
Batubara metalurgi sebagai komoditas dengan pasokan yang jauh lebih sedikit dibandingkan batubara termal. Sehingga wajar dihargai lebih tinggi oleh pasar. Selain itu, dari sisi tambang juga diuntungkan dengan produsen baja yang mayoritas terkonsentrasi di China, Jepang, dan India membuat biaya pengiriman (shipping cost) batubara metalurgi lebih murah dibandingkan batubara termal, yang harus diekspor ke berbagai penjuru dunia.
Dari sisi ADMR sendiri juga diuntungkan selain dengan supply chain yang sudah terintegrasi dengan Group Adaro tetapi juga metode pertambangan open-cut mining (tambang terbuka) yang membuat stripping ratio dari ADMR tetap rendah dengan cash cost kurang dari separuh harga jual. Berbagai keunggulan ini menjadikan ADMR sebagai industry leading cost structure yang menciptakan MOAT lebar bagi para kompetitor.
PT. Adaro Mineral Indonesia memiliki 6 konsesi tambang di Haju, Lampunut, Juloi, Bumbun, Luon, dan Dahlia dengan total Reserves 173 Mton dan Resources 975.6Mton. Dari ke 6 konsesi tersebut perseroan baru dapat memproduksi 2 konsesi yaitu Haju dan Lampunut. Diproyeksikan pada tahun 2025 perseroan dapat mencapai kapasitas produksi sebesar 6 Mton/tahun dengan ASP USD 200-230/ton. Dengan hanya 2 konsesi saja yang baru terrealisasi, perseroan mampu menunjukkan performa peningkatan laba dan efisiensi yang luar biasa. Tentu dengan 4 konsesi lain yang memiliki reserves 74 Mton kita sebagai investor dapat berharap pada peningkatan profitabilitas di masa mendatang serta keberlanjutan bisnis perseroan.
Sebagaimana dijabarkan diatas, perseroan memiliki target konsumen di negara-negara dengan perusahaan blue-chip didalamnya dengan pertumbuhan produksi yang menjanjikan. Perseroan berhasil meraih market Jepang yang terkenal dengan infrastruktur dan inovasinya, market china yang merupakan produsen terbesar sekaligus konsumen terbesar baja di dunia dan India dengan tingkat pertumbuhan yang sangat menjanjikan di masa mendatang.
Dari segi kompetisi, perseroan sejatinya tidak sedang menghadapi kompetisi yang kuat dengan pemain didalam negeri. Persaingan sesungguhnya datang dari Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Mongolia yang memiliki infrastruktur lebih matang dan total cadangan yang lebih banyak. Namun dengan bergabungnya Indonesia di BRICS diharapakan akan menimbulkan jalinan mitra perdangangan yang lebih kuat antara Indonesia dengan China dan India sehingga kedua negara tersebut akan mengurangi ketergantungan dengan produsen dari Australia dan Amerika Serikat.
Performa Keuangan
ADMR merupakan salah satu perusahaan dengan kesehatan neraca terbaik di Indonesia. Per FY 2024 ADMR melaporkan bahwa perseroan memiliki Aset sebesar USD 2.07 Miliar dengan kas dan setara kas USD 613 Juta. Sementara perseroan hanya memiliki Total liabilitas USD 571 Juta dan Net Gearing USD 296 juta. Dari posisi ini ADMR sangat mampu untuk melunasi bukan hanya hutang berbunganya saja tetapi juga seluruh liabilitas perseroan sehingga menciptakan posisi net cash bagi ADMR.
Dari sisi profitabilitas, ADMR mencatatkan selama FY 2024 Pendapatan sebesar USD 1.15 Miliar yang naik 6% dari tahun lalu. Dari sisi bottom line ADMR mencatatkan penurunan sebesar 1% YoY sehingga laba FY 2024 sebesar USD 436 Juta.
Catatan ini cukup impresif apabila melihat penurunan harga acuan selama 2024 sehingga menyebabkan ASP di angka USD 205/Mton turun 15% dari posisi USD 243/Mton di tahun lalu. Penurunan signifikan ini berhasil di offset dengan kenaikan produksi sebesar 29% dan kenaikan volume penjualan 24%. Dari sisi cost, perseroan berhasil menjaga cash cost nya tetap berada di USD 87/Mton tidak jauh berbeda dari USD 88/Mton di tahun lalu.
Performa ciamik juga ditunjukkan perseroan pada sisi Free Cash Flow. meskipun sedang berada pada tahap ekspansi dengan pembangunan smelter baru yang menghabiskan Capex USD 406 juta. Perseroan masih mampu mencetak Free cash flow sebesar USD 119 juta atau bernilai sekitar IDR 43 FCF/Share. Dengan profitabilitas dan kas yang jumbo maka para investor dapat berharap lebih bahwa perseroan akan mampu membagi Dividen secara rutin di masa mendatang.
Analisa Kualitatif
Kunci profitabilitas luar biasa yang ditunjukkan oleh perseroan adalah keberhasilan manajemen dalam meningkatkan ASP (Average Selling Price) sambil menjaga cash cost. ASP perseroan terus meningkat dari 200 USD/ton menjadi 280 USD/ton. Begitu pula dengan volume produksi yang berhasil ditingkatkan dari 1 juta ton pada 2019 menjadi 5 juta ton pada 2024, dan proyeksi target 6 juta ton pada 2025. Dari segi biaya, perseroan berhasil mempertahankan cash cost yang stabil di kisaran 90-110 USD/ton. Jika dianalisis lebih lanjut, lebih dari 3/4 struktur biaya perseroan berasal dari royalti, jasa pertambangan, dan pengangkutan. Untuk royalti, selama tarifnya tidak dinaikkan oleh pemerintah, maka hal ini akan tetap aman bagi perseroan. Sementara itu, untuk jasa pertambangan, ADMR mendapatkan harga khusus dari SIS. Sedangkan untuk pengangkutan, perseroan menggunakan jasa MBP dan IBT, yang ketiganya merupakan entitas dalam satu grup Adaro. Ketiga entitas ini saja telah menyumbang 43% dari Beban Pokok Pendapatan perseroan.
Sinergitas dari Adaro Group menimbulkan efek positif bagi ADMR berupa harga jasa yang lebih murah, peningkatan efisiensi, dan peningkatan market value. sedangkan untuk penjualan, perseroan juga telah menjual 40% batubara nya ke AIS yang merupakan entitas satu Group yang berkedudukan di Singapura. Alhasil ADMR hanya perlu berfokus pada sisi produksi dan efisiensi usaha sedangkan penjualan sudah ada AIS yang siap untuk mencarikan customer.
Industri baja diprediksi akan terus bertumbuh di masa mendatang. Secara global, permintaan terhadap baja diproyeksikan masih akan meningkat, didorong oleh faktor-faktor seperti peningkatan taraf ekonomi dan urbanisasi, transisi menuju green energy, serta inovasi dalam industri manufaktur, yang diyakini akan menjadi penggerak utama pertumbuhan permintaan baja secara global. Sementara itu, untuk industri baja nasional, pemerintah melalui program TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan permintaan baja dalam negeri. Menurut data IISIA (Indonesian Iron and Steel Industry Association), produksi baja nasional pada 2024 diproyeksikan mencapai 15,9 juta ton dan diperkirakan akan naik hampir dua kali lipat menjadi 33-35 juta ton pada 2030. Dari sisi permintaan, IISIA mencatat konsumsi baja nasional berada di angka 18,3 juta ton dan diproyeksikan meningkat menjadi 27 juta ton pada 2030. Ke depan, industri baja nasional tidak hanya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga dapat bersaing di kancah ekspor global.
Meskipun menurut report dari International Energy Agency yang mengatakan bahwa batubara metalurgi sudah mengalami overcapacity sebesar 37%, namun dengan masih kuatnya industri baja untuk 5 tahun mendatang. Harga acuan batubara metalurgi juga diprediksi masih tetap akan tinggi di range 180-220 USD/Mton. Hal ini didorong dengan masih tingginya ekspansi dari India dan China.
Selain bermain di pertambangan batubara, perseroan juga telah mulai masuk pada industri permunian logam melalui JV (Joint Venture) dengan 65% kepemilikan saham di PT. Kalimantan Aluminium Industry. Perseroan memiliki pandangan yang jelas terhadap bisnis baru ini dengan membangun smelter di kawasan industri di Kalimantan Utara.
Per 2024 permintaan aluminium nasional berkisar di angka 1 juta ton/tahun dengan tingkat produksi nasional hanya berkisar 275 ribu ton/tahun. Oleh sebab itu masih terdapat defisit sekitar 725 ton/Tahun yang harus dipenuhi secara impor. PT KAI diproyeksikan akan bisa menambah produksinya sebesar 500 ribu ton/tahun di setiap fase nya. Sehingga pada 2030 dan setelah melewati 3 fase pengembangan, KAI akan mampu memproduksi aluminium hingga 1.5 Juta ton/tahun. Sebagai perbandingan PT Inalum per 2024 baru bisa memproduksi 275 ribu Ton/Tahun yang akan terus dikembangkan hingga mencapai 900 ribu ton/tahun di tahun 2028.
Permintaan aluminium diproyeksi akan mengalami kenaikan sebesar 6.1% CAGR dalam 30 tahun mendatang. Yang mana konsumen terbesar akan datang dari negara-negara Asia seperti China, India dan Jepang. Kebutuhan tersebut akan digunakan 21% untuk konstruksi, 25% otomotif, 15% EBT, 16% kebutuhan rumah tangga, dan 21% lain-lain. Sedangkan Perseroan memproyeksikan bahwa permintaan aluminium akan meningkat dengan CAGR 6% hingga tahun 2030.
Kelangkaan alumina pada tahun 2023-2024 diprediksi akan mengalami surplus pada 2025 sehingga diharapkan harga alumina akan mengalami penurunan mulai dari tahun 2025. Ditambah lagi dengan pelarangan ekspor bauksit diharapkan akan menciptakan iklim hilirisasi yang baik di dalam negeri sehingga KAI akan mendapatkan harga bahan baku yang lebih terjangkau.
Perseroan membuka keran bahan baku alumina baik dari impor maupun produksi dalam negeri yang di supply oleh $CITA yang mana $ADRO telah mengamankan potensi bahan baku dengan membeli kepemilikan saham CITA sebesar 3.7%. Selain itu sebagai industri smelter yang sangat memerlukan banyak tenaga listrik, sumber daya KAI untuk sementara akan di supply oleh pembangkit batubara milik Group dan nantinya pada fase 3 akan dialihkan pada pembangkit hydro yang juga sedang dikembangkan oleh Group.
Fase 1 diproyeksikan akan COD pada Q3 2025 sehingga diharapkan akan memberikan tambahan pendapatan bagi perseroan sebesar USD 1.2 Miliar/ tahun. Sehingga jika ketiga fase sukses dilaksanakan, manajemen berpendapat bahwa akan ada tambahan pendapatan lebih dari USD 3.75 Miliar/tahun.
Produksi Aluminium, alumina, dan bauksit memiliki perbandingan 1:2:6. Artinya jika ADMR pada tahap pertama memproduksi 500 ribu ton aluminium berarti ADMR membutuhkan 1 juta ton alumina yang didapat dari 3 juta ton bauksit. Padahal sebagaimana diketahui Indonesia pada Tahun 2025 baru bisa memproduksi 1,5 juta alumina. SGAR sendiri berencana untuk mengembangkan produksinya hingga 2 juta ton pada fase II dan jumlah inipun akan diserap 100% oleh Inalum. Oleh sebab itu mau tidak mau ADMR harus mengimpor alumina dari luar negeri sekadar untuk memenuhi produksi pada tahap I.
Tantangan
Sebagaimana tantangan pada sektor pertambangan lainnya, perseroan juga dihadapkan pada tantangan cuaca yang dapat mengganggu produksi. Sederhananya apabila cuaca di sekitar area konsesi mengalami curah hujan yang tinggi akan membuat produktivitas dari perseroan turun dan akhirnya akan berakibat pada penurunan pendapatan. Namun apabila curah hujan sangat sedikit juga akan berimbas dari turun nya muka air di sungai-sungai tempat perseroan menyalurkan batubaranya sehingga akan menciptakan hambatan dalam supply chain.
Selain itu sebagai perusahan komoditas pada umumnya, perseroan juga terpapar akan volatilitas harga acuan global. Pelemahan harga acuan akan membuat ASP perusahaan turun sehingga dapat menurunkan pendapatan. Hal yang lebih buruk dapat terjadi apabila harga acuan turun lebih rendah dibanding cash cost dari ADMR yang berada di range USD 90-110/ton.
Harga acuan batubara sebenarnya cukup mudah untuk diprediksi. Para investor cukup melihat supply dari negara-negara top produsen batubara dan juga demand dari industri baja. Apabila industri baja di proyeksikan masih akan bertumbuh maka diharapkan harga acuan batubara metalurgi juga akan bertumbuh. Sebaliknya jika demand dan kondisi industri baja sedang lesu baik karena oversupply ataupun pelemahan permintaan maka harga acuan batubara juga akan ikut lesu.
Dan sayangya menurut beberapa analis, proyeksi industri baja dan batubara metalurgi pada tahun 2025 dan 2026 masih akan stagnan dan belum menunjukkan akan adanya perbaikan harga. Hal ini sejalan dengan belum pulihnya perekonomian dunia pasca covid-19, tensi global yang masih memanas, perang dagang yang diluncurkan oleh Amerika dan pelemahan indsutri property di China.
Tantangan juga datang dari India, dimana pada Bulan Desember tahun lalu Pemerintah India telah resmi membatas Impor Batubara Metalurgi selama 2 kuarter awal 2025. Indonesia menjadi negara yang paling berdampak atas hal tersebut. Jika sebelumnya Indonesia mampu mengimpor 600-700 ribu Ton/kuartal maka dengan adanya pembatasan tersebut, Indonesia hanya diperbolehkan Impor sebanyak 33 ribu Ton/Kuartal.
Industri baja dalam negeri juga mengalami permasalahan berupa rendahnya utilitas sebagaimana dialami pada industri keramik. Permasalahan ini di akibatkan oleh gempuran baja impor terkhusus pada industri hilir. Namun sebenarnya produksi baja nasional memiliki kualitas yang tak kalah baik dari baja impor, terlebih banyak baja yang di impor tak memenuhi SNI. maka dari itu diperlukan peran aktif pemerintah agar bencana impor dan dumpinh yang terjadi di industri keramik dan tekstil tidak terjadi di industri baja.
Dari sisi smelter aluminium, ADMR menghadapi tantangan kelangkaan alumina. Sebagaimana diketahui pelarangan ekspor biji bauksit yang dilakukan oleh pemerintah diharapkan akan dapat menciptakan nilai tambah berupa hilirisasi produk pertambangan di dalam negeri. Indonesia memiliki cadangan bauksit sebesar 1.2 Miliar Ton menjadikanya posisi ke-6 dengan 4% cadangan global. Dari sisi produksi Indonesia mampu menambang 30 Juta ton bauksit/tahun dengan serapan nasional pada 12 juta ton/tahun.
Sedangkan Indonesia sendiri dirasa belum terlalu siap untuk menampung 18 juta ton ekses mengingat kapasitas smelter alumina nasional yang hanya 1.500.000 ton/tahun sedangkan laju investasi smelter alumina tidak secepat smelter nikel sebagaimana diharapkan oleh pemerintah.
Untuk bisa mengolah 2 juta ton bauksit diperlukan investasi sebesar USD 1.2 Miliar, jadi pemerintah perlu memastikan akan ada investor yang mampu memenuhi USD 10.8 miliar agar semua stok ‘mati’ bauksit dalam negeri dapat terolah.
Gangguan rantai pasok ini dikhawatirkan akan menekan profitabilitas ADMR terkhusus pada KAI sehingga bukannya menciptakan value added bagi ADMR, justru di khawatirkan akan menjadi beban bagi perseroan.
Defisit bahan baku lokal yang dihadapi perseroan mengakibatkan perseroan harus mengalokasikan anggarannya untuk mencari supplier dari luar negeri yang dikhawatirkan akan menekan profitabilitas perseroan. Ditambah lagi jika terdapat gangguan supply chain berupa kelanggkaan kontainer berpotensi akan mengganggu proses produksi dari KAI.
Valuasi
Metode valuasi yang akan kita gunakan adalah potensi pendapatan perseroan dari kapasitas produksi pertahunnya. Akan kita gunakan asumsi Harga Acuan di USD 200/Mton dengan Cost 50% dan Royalti 15% dari harga acuan.
Perseroan memiliki cadangan reserve sebesar 173 Juta Mton dengan kapasitas produksi sebesar 6 Juta ton/tahun. Akan kita gunakan asumsi konservatif dimana ADMR tidak ada penambahan produksi pada tahun-tahun mendatang. Atas dasar asumsi tersebut ADMR memiliki waktu 29 tahun lagi hingga cadangan reserved nya habis.
Dari asumsi tersebut kita peroleh net profit per tahun sebesar USD 420 juta yang konstan selama 29 tahun mendatang. Kemudian kita diskontokan dengan discount rate 6%, lalu kita tambah dengan total kas dan kita kurangi total liabilitas. Pada akhirnya kita memperoleh value sebesar USD 5.72 Miliar. Dengan asumsi USD 1= IDR15.000 maka diperoleh Value/Share sebesar 2.100.
Dari hasil tersebut diperoleh harga beli maksimal berdasar MOS 50% adalah di 1050. Sedangkan harga 755 per 4 Maret 2025 menunjukkan MOS 64%.
Hitungan diatas sudah sangat konservatif. Dengan harga acuan, cost hingga kapasitas produksi yang sudah tidak bertumbuh. Sehingga dari hasil asumsi yang konservatif saja sudah memberikan MOS yang besar maka kita mendapat bantalan yang cukup lebar apabila ADMR mengalami pelemahan performa di masa mendatang. Ditambah lagi kita belum memasukkan profit dari smelter aluminium yang tentu akan menciptakan value added bagi perseroan.
Kesimpulan
ADMR merupakan sebuah perusahaan dengan profitabilitas luar biasa serta berada di group yang sangat suportif. Perseroan memanfaatkan ekosistem pertambangan yang sudah mapan dari group Adaro mulai dari sisi Production,Human Resources, RnD, hingga Supply Chain. Atas hal tersebut, ADMR memiliki MOAT Low Cost Producer yang menjadi pembeda antara perseroan dengan perusahaan tambang lainnya.
Selain itu perusahaan juga telah melebarkan sayapnya demi menyambut industri baru dan terbarukan dengan membangun smelter aluminium di Kalimantan Utara. Dengan produksi batubara yang masih terus meningkat, cadangan yang masih besar, dan juga diversifikasi pada industri hilirisasi tentu membuat ADMR menarik untuk diperhatikan. Namun apakah penurunan harga pada beberapa waktu terakhir dapat menggoyahkan iman para investor/calon investor ADMR?