BEI Mau Menyelamatkan IHSG? Real? Omon - Omon?
Apakah mungkin BEI bisa menyelamatkan IHSG yang sudah anjlok parah sejak awal tahun?
BEI katanya mau menyelamatkan IHSG, tapi pertanyaannya, mau diselamatkan pakai apa? Ini bukan sekadar isu teknikal di pasar modal, tapi sudah masuk ke krisis kepercayaan investor terhadap Indonesia. Rupiah babak belur, investor asing kabur, pemerintah cuek, regulasi malah memperburuk keadaan, dan trust issue terhadap ekonomi Indonesia makin menumpuk. Kalau BEI benar-benar ingin menyelamatkan IHSG, mereka harus menghadapi masalah fundamental yang jauh lebih besar daripada sekadar volatilitas pasar.
Sejak awal tahun, IHSG terus anjlok, sementara nilai tukar rupiah mencapai 16.575 per USD, level terlemah dalam sejarah. Ini bukan kebetulan, melainkan cerminan dari bagaimana investor asing memandang rupiah dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Saat pasar saham rontok di negara lain, biasanya ada campur tangan pemerintah atau otoritas keuangan untuk menjaga stabilitas. Tapi di Indonesia? Tidak ada langkah konkret sama sekali. Justru yang terjadi malah kebijakan yang memperburuk situasi, seperti melegalkan short selling di tengah pasar yang sudah sekarat. Ini seperti melihat kapal bocor, bukannya ditambal, malah dikasih lubang tambahan biar tenggelam lebih cepat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pertama, rupiah melemah parah. Investor asing anggap mata uang sampah
Rupiah saat ini di level 16.575 per USD, titik terlemah dalam sejarah. Ini bukan sekadar angka, tapi sinyal paling jelas bahwa investor asing sudah kehilangan kepercayaan pada rupiah dan ekonomi Indonesia. Ketika mata uang lokal melemah, semua aset berbasis rupiah ikut terkena imbasnya, termasuk saham. Investor asing bukan cuma melihat harga saham naik atau turun, tapi juga melihat nilai tukar sebagai faktor utama dalam perhitungan keuntungan mereka. Mereka masuk ke Indonesia dengan modal dolar, dan yang mereka pikirkan adalah berapa banyak dolar yang bisa mereka bawa pulang setelah keluar. Kalau kurs rupiah terus melemah, maka meskipun harga saham mereka tidak turun, mereka tetap rugi dari sisi konversi mata uang.
Misalkan seorang investor asing masuk ke pasar saham Indonesia saat kurs masih Rp15.000 per USD. Dia berinvestasi 1 juta USD di saham, yang berarti setara dengan Rp15 miliar. Setelah setahun, harga sahamnya naik 10% dalam rupiah, sehingga nilai portofolionya menjadi Rp16,5 miliar. Tapi ketika dia ingin menjual sahamnya dan mengonversi kembali ke dolar, kurs sudah naik ke Rp16.575 per USD. Saat dihitung ulang, Rp16,5 miliar hanya bernilai sekitar 995.000 USD.
Artinya, meskipun sahamnya naik 10% dalam rupiah, dia tetap rugi sekitar 0,5% dalam dolar karena depresiasi rupiah lebih besar dari kenaikan harga sahamnya. Ini baru contoh ringan. Jika kurs rupiah melemah lebih dalam atau harga saham turun, kerugiannya bisa jauh lebih besar. Oleh karena itu, investor asing lebih memilih pasar yang lebih stabil dan aman dibanding harus bertaruh dengan rupiah yang terus tergerus.
Bahkan obligasi pemerintah Indonesia (SBN) yang dianggap lebih aman dibanding saham juga sudah mulai dilepas oleh investor asing. Kenapa? Karena meskipun SBN menawarkan bunga yang tinggi, keuntungannya tetap bisa lenyap kalau rupiah melemah terlalu tajam. Investor asing lebih memilih obligasi AS (US Treasury) yang imbal hasilnya semakin naik seiring dengan suku bunga The Fed yang tetap tinggi.
Jadi, dari sudut pandang investor asing, berinvestasi di Indonesia saat ini ibarat menabung di ember bocor. Tidak peduli seberapa besar potensi keuntungan di saham atau obligasi, selama rupiah terus melemah, keuntungan mereka akan terus tergerus, atau bahkan berubah jadi kerugian.
Kedua, pemerintah tidak peduli IHSG, BEI seperti anak tiri.
Pemerintah tidak peduli dengan IHSG, jadi BEI seperti anak tiri yang ditinggalkan begitu saja. Presiden Prabowo sendiri sudah kapok main saham dan terang-terangan menganggap saham itu judi. Kalau kepala negara saja tidak punya urgensi untuk menjaga stabilitas pasar modal, siapa yang mau repot-repot? Di negara lain, pemerintah punya strategi untuk menopang bursa saat krisis. Misalnya, China, Korea Selatan, dan Taiwan sering melakukan intervensi langsung dengan membatasi short selling atau menggunakan sovereign wealth fund mereka untuk membeli saham saat pasar panik. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di Indonesia? Pemerintahnya sibuk ngurus bansos dan jalan tol, sementara IHSG dibiarkan jatuh tanpa ada usaha penyelamatan. Tidak ada stimulus untuk menarik investor kembali ke pasar modal. Tidak ada strategi untuk meredam kepanikan di bursa. Bahkan komunikasi dari otoritas keuangan juga minim.
Ketiga, BEI melegalkan short selling di tengah pasar yang sekarat
BEI malah melegalkan short selling di saat pasar sedang hancur. Ini seperti ada kapal yang bocor, tapi bukannya ditambal, malah dikasih lubang tambahan supaya makin cepat tenggelam. Short selling itu memungkinkan investor bertaruh agar harga saham turun, dan semakin banyak yang melakukan short, semakin cepat harga saham anjlok.
Keempat, sistem JATS BEI tidak bisa mencegah short selling ilegal
Masalahnya bukan hanya soal short selling legal, tapi juga short selling ilegal yang tidak terdeteksi oleh sistem BEI. Sistem JATS yang digunakan BEI tidak cukup kuat untuk mencegah dan mendeteksi transaksi short sell ilegal. Kalau benar-benar ingin menyelamatkan IHSG, BEI harusnya bisa melacak transaksi short selling yang tidak sesuai regulasi.
Kelima, pelaku short selling ilegal cuma dapat peringatan tertulis
Lebih parah lagi, kalaupun ketahuan ada pelaku short selling ilegal, hukumannya hanya sebatas peringatan tertulis. Di negara lain, short selling ilegal bisa bikin hedge fund bangkrut atau bahkan membuat pelakunya masuk penjara. Di Indonesia? Cuma dapat surat cinta dari BEI yang bilang ‘Jangan diulang ya’.
Keenam, trust issue di Indonesia makin parah
Investor itu butuh kepastian dan kepercayaan sebelum menaruh uangnya di suatu negara. Tapi apa yang terjadi di Indonesia? Trust issue di mana-mana, dari pemerintah sampai sektor swasta, dari kebijakan absurd sampai skandal berulang-ulang. Semua ini bikin investor berpikir ribuan kali sebelum memasukkan uang mereka ke pasar modal Indonesia.
Mulai dari Coretax yang menghabiskan anggaran triliunan tapi justru bikin sistem perpajakan tambah berantakan. Bayangkan, ini sistem yang seharusnya mendukung transparansi pajak, malah jadi sumber kegaduhan. Kalau urusan pajak saja kacau, bagaimana investor mau percaya sama stabilitas ekonomi Indonesia? Pajak aja nggak bisa dibuat efisien, apalagi sistem pengawasan bursa saham.
Lalu ada harga batu bara dan nikel yang anjlok, dua komoditas andalan Indonesia yang dulu jadi magnet bagi investor. Harga batu bara sudah turun jauh, sementara nikel yang dulu digadang-gadang sebagai "emas baru" malah oversupply.
Kemudian ada pungli ormas yang bikin bisnis di Indonesia seperti bayar "pajak tambahan" yang tidak tertulis. Mau buka bisnis? Ada biaya keamanan "sukarela". Mau distribusi barang? Harus bayar "jasa pengamanan". Mau investasi jangka panjang? Pastikan sudah ada "konsultasi" dengan pihak tertentu. Ini kayak mafia berkedok organisasi masyarakat. Investor asing yang biasa dengan sistem hukum yang jelas bakal langsung kabur begitu lihat fenomena begini.
Lalu ada isu BBM oplosan dan korupsi di BUMN. Pertamina, yang harusnya jadi simbol ketahanan energi nasional, justru terus-terusan dihantam isu Pertamax oplosan, bocornya subsidi, hingga dugaan permainan harga. Bayangkan, bahkan bensin aja masih ada yang oplosan, lalu bagaimana investor bisa percaya kalau laporan keuangan emiten-emiten BUMN itu bersih?
Dengan situasi begini, investor asing jelas nggak bakal mau nekat masuk ke Indonesia. Mereka nggak peduli dengan janji-janji manis tentang “pertumbuhan ekonomi 5%” atau “potensi pasar yang besar.” Yang mereka lihat adalah regulasi yang lemah, korupsi yang merajalela, kebijakan yang tidak konsisten, dan kepercayaan yang semakin runtuh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Dengan kombinasi rupiah yang terus melemah, pemerintah yang tidak peduli, dan regulasi yang justru memperburuk kondisi pasar, maka upaya BEI untuk menyelamatkan IHSG bukan hanya terdengar mustahil, tapi juga kontradiktif. Kalau tidak ada perubahan kebijakan yang nyata, IHSG tidak hanya sulit diselamatkan, tapi malah bisa terus turun lebih dalam lagi.
Lebih baik BEI fokus perbaiki regulasi daripada cuma wacana mau selamatkan bursa tapi isinya omon-omon. Kalau BEI benar-benar serius mau menyelamatkan IHSG, bukan cuma sekadar pencitraan dan basa-basi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki regulasi dan sistem pengawasan yang selama ini amburadul. Percuma teriak-teriak soal "menyelamatkan IHSG" kalau kebijakan yang diterapkan justru kontradiktif dengan niat tersebut.
Yang paling jelas, short selling dilegalkan di saat pasar sedang sekarat. Ini sama aja kayak orang yang lagi sakit parah, bukannya dikasih obat malah dikasih racun. BEI harusnya tahu bahwa dalam kondisi pasar yang lagi anjlok, membebaskan short selling itu ibarat memberi pelaku pasar alat resmi untuk menekan IHSG lebih dalam. Lihat saja negara-negara lain, Korea Selatan langsung melarang short selling begitu pasar mereka goyah, sementara Indonesia? Malah dibuka lebar-lebar, tanpa ada sistem pengawasan yang ketat.
Lalu, masalah short selling ilegal yang jelas-jelas terjadi, tapi sistem JATS BEI malah tidak bisa mendeteksi dan mencegahnya. Bursa efek harusnya bisa memastikan bahwa setiap transaksi short punya underlying yang jelas, bukan malah membiarkan naked short selling yang membuat harga saham bisa jatuh tanpa alasan yang rasional. Kalau sistem pengawasannya saja sudah lemah, buat apa bicara soal menyelamatkan IHSG?
Tidak hanya itu, sanksi terhadap pelaku short selling ilegal juga sangat lemah. Cuma peringatan tertulis? Di negara lain, short selling ilegal bisa bikin hedge fund bangkrut atau bahkan bikin pelakunya masuk bui. Di Indonesia? Cuma dapat surat cinta dari BEI yang bilang ‘Jangan diulang ya’. Apakah itu cukup untuk menimbulkan efek jera? Jelas tidak. Selama hukumannya cuma setara teguran bocah SD, maka pelaku akan terus mengulanginya.
Masalah lain yang tidak kalah penting adalah transparansi laporan keuangan dan trust issue terhadap emiten. Kasus seperti Danantara dan skandal korporasi lainnya menunjukkan bahwa regulasi terkait transparansi dan akuntabilitas masih sangat longgar. Banyak emiten yang laporan keuangannya mencurigakan, tapi tetap lolos listing dan tidak ada tindakan berarti dari otoritas. Kalau BEI benar-benar mau menyelamatkan bursa, seharusnya yang pertama diperketat adalah aturan soal transparansi dan pengawasan keuangan emiten. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Tidak kalah penting, BEI harus memastikan bahwa regulasi pajak dan kebijakan ekonomi makro juga sejalan dengan tujuan untuk memperbaiki pasar modal. Masalah seperti Coretax yang kacau balau dan kebijakan fiskal yang inkonsisten justru menambah ketidakpercayaan investor. Kalau sistem pajak dan kebijakan makro saja membingungkan, bagaimana bisa investor merasa aman berinvestasi di Indonesia?
Daripada cuma wacana menyelamatkan IHSG yang isinya omon-omon, lebih baik BEI fokus memperbaiki regulasi yang sudah jelas-jelas banyak kelemahannya. Selama pengawasan bursa masih penuh dengan celah, selama regulasi masih membiarkan manipulasi pasar terjadi, dan selama trust issue terhadap emiten dan ekonomi Indonesia belum terselesaikan, maka tidak peduli berapa banyak wacana penyelamatan IHSG yang diumumkan, hasilnya tetap nol besar.
BEI bisa saja terus berusaha membangun citra seolah mereka peduli terhadap kondisi pasar, tapi tanpa perubahan konkret di regulasi, kepercayaan investor tidak akan kembali. Pasar modal itu bukan soal retorika, tapi soal kepercayaan, transparansi, dan stabilitas. Kalau BEI benar-benar ingin menyelamatkan IHSG, maka bukan dengan wacana kosong, tapi dengan tindakan nyata yang memperbaiki regulasi dan sistem pengawasan.
Dalam kondisi seperti ini, investor ritel harus tetap semangat dan jangan sampai kapok seperti Presiden Prabowo. Pasar memang sedang tidak bersahabat, tapi justru di saat seperti ini, peluang terbaik biasanya muncul. Fokuslah pada perusahaan dengan valuasi murah, dividend yield di atas 10%, utang minimal, dan cashflow tebal.
Strateginya jelas: beli cicil-cicil, selot-selot, never all in. Kita tidak pernah tahu di mana bottom saham atau sampai kapan IHSG akan terus anjlok. Yang bisa dilakukan adalah mencicil akumulasi saham dengan fundamental kuat, yang cenderung bisa bertahan saat krisis dan bangkit lebih dulu ketika kondisi membaik. Cicil selot selot never all In. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Jangan terlalu berharap pada BEI atau pemerintah karena mereka tidak akan menyelamatkan kita. Bursa sibuk dengan wacana, regulasi berantakan, dan pemerintah lebih peduli dengan proyek lain dibanding menjaga pasar modal. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita adalah manajemen perusahaan yang jujur dan diri kita sendiri sebagai investor yang sabar, disiplin, dan rasional.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ADRO $AADI $PANI
1/10