imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Sejak setahunan terakhir, kata boikot menjadi sangat marak digunakan dimana mana, terutama di dunia maya - yang digulirkan pertama oleh netijen di X atau Twitter.

Berawal dari situasi Israel VS Palestina yang tiada usai, kata boikot ini kemudian terus digunakan untuk berbagai situasi berbeda, dan yang menggelorakan selalu berawal dari netijen di X. Mulai dari “boikot” terhadap pendukung 02 (maksudnya Presiden-Wakil Presiden terpilih saat ini) di level kehidupan personal (seperti cinta/pasangan hidup), ancaman “boikot” tidak membayar pajak, “boikot” dengan menarik uang dari bank bank BUMN, boikot terhadap film adaptasi dari Korea The Business Proposal, boikot terhadap media CNN Indonesia hingga yang terbaru adalah boikot terhadap SPBU Pertamina. Semua yang diboikot ini dianggap oleh mereka berdosa semua. Dosanya tidak terampuni, bahkan kalau perlu selamanya. Definisi emosional tingkat tinggi.

Fenomena apa apa boikot ini sudah sampai di level dimana sudah terlalu menyebalkan, terlalu dikotomi (hidup seakan akan cuma hitam putih, hanya soal antagonis VS protagonist macam sinetron), terkesan sebagai solusi instan, tidak menyentuh akar masalah dan lebih kental emosi dibandingkan rasionalitasnya. Mereka ngga berpikir dampak apa apa boikot ini seperti apa, dan cenderung cuma yang penting menjatuhkan, yang penting kelihatan efeknya - berupa kepanikan, yang menurut saya adalah respon biasa yang belum tentu efektif menyentuh akar masalah. Bahkan, aksi apa apa boikot ini justru akan berbalik dampaknya pada mereka mereka yang memboikot ini.

Seperti janji saya di postingan kemarin, inilah kritik saya terhadap tren apa apa boikot ini. Tentu saya akan coba batasi dalam konteks perduitan dan ekonomi, dan mengapa boikot tak bisa efektif.

======

Boikot sendiri sebenarnya adalah sebuah instrumen protes atau kritik, selayaknya demo, tulisan opini dan lainnya, yang bertujuan untuk menegur secara keras sebuah institusi, brand maupun pihak lain yang dianggap bersalah. Teguran ini melalui ketidaksediaan mereka untuk berhubungan dengan pihak tersebut (tidak membeli, tidak berinteraksi dsb). Level boikot ini sama dengan cancel culture yang bermakna mirip mirip. Namun bedanya adalah, cancel culture umumnya dilakukan untuk orang per orang dan dampaknya lebih sadis dari boikot - orang tersebut tidak pernah muncul atau hampir jarang muncul di publik, serta tidak diberi kesempatan apapun untuk muncul.

Dengan standar keras tersebut, jelaslah penggunaan boikot menjadi harus berhati hati. Dampaknya memang bisa besar, meski ini juga bergantung pada bagaimana institusi yang dituju melakukan counter narasi. Counter narasi tentu wajib dilakukan untuk mengatasi dampak, bukan merupakan bagian dari kepanikan dan tidak bisa menjadi tanda bahwa mereka (kang boikot) sukses menumpas sampai ke akar masalah.

Apa yang terjadi pada boikot brand brand multinasional karena Israel VS Palestina sudah menjelaskan, bahwa mereka bisa mengacak acak brand, tapi mereka belum bisa menekan kedigdayaan Israel, yang sampai membuat mereka lumpuh dan tidak bisa menyerang warga Palestina lagi. Mereka lupa bahwa kehadiran brand itu cuma seuprit berkontribusi. Yang lebih bikin geger, ternyata industri dan pemerintah Indonesia membeli sejumlah peralatan dari Israel, meski berinteraksi melalui pihak perantara. Artinya gagal sampai ke akar masalah. Belum lagi kenyataan bahwa ekonomi dan persaingan pasar memang bener bener challenging saat ini.

Yang lain, “boikot” mereka pada pendukung 02 di Pemilu 2024 lalu juga menurut saya gagal. Mereka cuma berbicara tentang grup mereka sendiri. Tapi ngga berpikir realitas bahwa, bukan hanya 58 persen itu mayoritas, sebagai manusia yang merupakan makhluk sosial, tentu “boikot” begini berpotensi merugikan mereka sendiri. Mereka membatasi hubungan dan tidak melihat toleransi sebagai sebuah hal yang terkadang perlu dipertimbangkan dalam hubungan manusia. Untungnya mereka ngga bikin “boikot” tidak mau bekerja di perusahaan atau masuk di bisnis dimana pemilik, user (orang di divisi yang merekrut) atau orang HRD yang mendukung 02. Ngga kebayang kalo mereka sampai begitu - paling mereka juga beralasan ngga bikin gitu karena nyari duit susah, cari kerja susah dan kemudian ngalor ngidul kritik kemana mana.

Hal inilah yang juga akan saya lihat di boikot boikot terbaru mereka, seperti penarikan duit dari bank BUMN dan boikot terhadap SPBU Pertamina. Semua boikot ini menurut saya tetap berpotensi gagal, cuma bergema di grup mereka sendiri. Kenapa?

Pertama, relevansi isu. Tidak semua orang menganggap isu itu sama pentingnya. Definisi jelas, karena relevansi dan minat satu orang dengan yang lain akan berbeda. Ada yang cuma minat di hiburan aja, ngga di yang serius serius. Jikapun ada yang minat di isu serius dan mengkritik hal yang sama, mereka pun punya action dan pendekatan berbeda dengan kang boikot tersebut. Apalagi dengan fragmentasi media dan konten saat ini (karena media sosial), dimana tidak semua orang terpapar atau terpengaruh isu yang sama. Ngga semua orang terpapar pada isu perselingkuhan so called Influencer yang ngga jelas karyanya apa, cuma banyakan followers. Begitupun yang terpapar isu perselingkuhan Influencer itu ngga semuanya terpapar isu serius.

Kedua, bertentangan dengan realitas. Mereka dalam tuntutannya mengharapkan semua pihak menjejakkan kaki di tanah, untuk bisa melihat tuntutan mereka secara jernih. Tapi mereka lupa, mereka sendiri ngga menjejakkan kaki di tanah saat melakukan aksi ini. Cabang bank BRI masih lebih banyak dan lebih tersebar di luar Jawa dibandingkan BCA, CIMB Niaga dan bank swasta serupa. Bank mini bin digital kayak Seabank atau Bank Jago? Belum banyak dikenal. SPBU Pertamina masih yang terbanyak di Indonesia. Swasta yang mendekati cuma Shell, tapi kejauhan. Vivo, BP, AKR cuma seuprit dan terfokus di wilayah tertentu. Situasi realitas yang sialan ini dan ngga ideal memang terjadi, dan penyebab utamanya ya… Karena mereka swasta. Cari pasar yang ekonomis, masuk hitungannya. Selain itu, realitas ini dibentuk oleh sistem, peraturan dan berbagai faktor eksternal yang ngga ideal.

Ketiga, ada yang perhatikan kesamaan dari semua isu isu tersebut? Yap, mereka “kalah” jika berhadapan dengan isu duit. Mereka boleh solid dan kuat urusan suara, soal kenceng kencengan suara. Tapi kalau berhubungan dengan duit? Entar dulu. Realitas membuat mereka ngga bisa sepenuhnya boikot dalam kasus Israel VS Palestina - ada unsur keterpaksaan dan darurat. Mereka pun juga ngga pernah kepikiran boikot pemilik, user dan HRD perusahaan atau bisnis yang dukung 02. Sekarang, sebagian dari mereka pusing cari SPBU swasta yang ngga tersebar merata di seluruh Indonesia, demi menghindari SPBU Pertamina. Bahkan, ada yang menyebarkan “dosa” masing masing SPBU swasta, mulai dari dihubungkan ke Israel sampai ada yang terkait dengan Presiden Prabowo. Nah, bingung lagi kan pilih yang mana? Mosok mau diboikot juga itu semua?

Jika mereka beneran mau boikot bank BUMN, mereka akan melawan pendana pendana atau nasabah yang besar besar,seperti pengusaha dan konglomerat. Selain itu, mereka akan berhadapan dengan sesama nasabah kaum proletar yang akan mengeluh kesulitan berpindah bank dan punya seribu alasan untuk tetap di bank BUMN.

Jadilah boikot itu ngga pernah sampai ke akar masalah. Ngga bisa jadi solusi satu satunya - yang ideal. Malah potensi mbulet aja gitu, balik ke diri mereka sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena itu, meski boikot sebenernya adalah prinsip pribadi, namun tidak semua isu selayaknya perlu diboikot. Bisa gila kalau apa apa diboikot, ngga puas dikit boikot, ngga puas dikit boikot. Gila. Pikirkan dampak yang mungkin terjadi dari apa apa boikot ini, terutama di dalam kondisi ekonomi yang seperti sekarang ini.

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$PGEO $UNVR $MAPA

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy