Nasib Karyawan dan Investor PT Sritex: Antara Ketidakpastian dan Kekecewaan
Penutupan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) pada 1 Maret 2025 menjadi pukulan telak bagi 8.400 karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kabar ini bukan hanya mengguncang dunia industri tekstil nasional, tetapi juga menimbulkan keresahan mendalam di kalangan pekerja dan investor yang selama ini menggantungkan harapan pada perusahaan raksasa ini.
Karyawan: Antara Ketidakpastian dan Harapan yang Pudar
Berdasarkan hasil pertemuan internal perusahaan, karyawan di-PHK per 28 Februari 2025, dan janji pesangon serta Tunjangan Hari Raya (THR) masih mengambang karena bergantung pada hasil penjualan aset atau masuknya investor baru. Hal ini menimbulkan kecemasan besar, mengingat banyak pekerja yang telah mengabdi bertahun-tahun kini harus menghadapi ketidakpastian ekonomi tanpa kepastian hak mereka terpenuhi.
Seorang pekerja yang enggan disebut namanya mengungkapkan kekecewaannya, "Kami sudah bekerja bertahun-tahun, tapi saat perusahaan kolaps, kami hanya bisa berharap tanpa kepastian. Bagaimana kami bisa memenuhi kebutuhan keluarga?"
Selain itu, gaji yang "diusahakan" untuk dibayarkan pada 28 Februari 2025 juga memunculkan pertanyaan: apakah benar-benar akan terealisasi? Banyak karyawan yang mengandalkan gaji terakhir ini untuk bertahan hidup setelah kehilangan pekerjaan. Ditambah lagi, pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pun masih memiliki prosedur rumit yang semakin memperumit kondisi pekerja yang kini terkatung-katung.
Investor: Saham yang Disuspend dan Kepercayaan yang Hancur
Bukan hanya karyawan yang terkena dampaknya, tetapi juga investor yang selama ini menanamkan modal di saham Sritex (SRIL). Perusahaan yang dulunya merupakan kebanggaan industri tekstil Indonesia kini justru meninggalkan catatan kelam bagi pemegang sahamnya.
Dengan penutupan total perusahaan, saham Sritex mengalami suspensi perdagangan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Bagi investor ritel yang masih memegang saham SRIL, suspensi ini menjadi mimpi buruk karena mereka tidak bisa menjual sahamnya dan terjebak dalam ketidakpastian.
Seorang investor mengeluhkan, "Saya dulu percaya Sritex sebagai perusahaan besar dengan prospek cerah, tapi sekarang sahamnya disuspend dan tidak bisa dijual. Saya tidak tahu kapan atau apakah saya masih bisa menarik investasi saya."
Pelajaran dari Kejatuhan Sritex
Kasus Sritex menjadi pengingat keras bahwa perusahaan besar pun tidak kebal terhadap masalah finansial dan manajemen yang buruk. Bagi karyawan, penting untuk selalu memiliki tabungan darurat dan mencari peluang kerja lain sebelum terjadi hal yang tidak diinginkan. Sementara bagi investor, diversifikasi portofolio menjadi langkah wajib agar tidak terlalu bergantung pada satu emiten saja.
Kini, nasib 8.400 karyawan dan ribuan investor Sritex masih dalam ketidakpastian. Apakah pesangon dan hak-hak karyawan akan benar-benar dibayarkan? Apakah suspensi saham SRIL akan dicabut atau justru berakhir dengan delisting? Hanya waktu yang bisa menjawab. Namun, satu hal yang pasti: kepercayaan yang telah hilang tidak akan mudah dipulihkan.
$SRIL
1/2