imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, pertarungan utama mulai kembali ke harga. Antara yang murah vs mahal.

Namun berbeda dengan persepsi dulu dulu bahwa murah = kurang enak atau kurang bagus, belakangan banyak pelaku usaha memainkan peran dengan jualan murah dengan kualitas yang tidak kalah saing. Hal ini kemudian disebut menggerogoti pemain pemain eksisting yang cenderung memvaluasi diri dengan harga murah karena kualitas dan branding. Misalnya apa yang terjadi di ranah perkopian dan mie mie-an. Atau, dalam lanskap yang lebih luas, apa yang terjadi di dunia transportasi online.

Kok bisa sih mereka jualan harga murah? Ini dia rahasia mereka…

=======

Rahasianya ada banyak. Tinggal dipilih aja mau yang mana.

Bisa murah, karena memang mereka cenderung berbisnis dengan impas atau untung setipis mungkin. Mereka ngga memvaluasi diri mereka tinggi (intrinsik) yang membuat harga harga barang mereka jadi mahal. Bahasa awamnya, jauhi gengsi. Istilah kata, kalau mau dibayangkan iPhone yang jualan branding (unsur intrinsik) yang membuat harganya bisa berlipat lipat, nah iPhone versi (pelaku bisnis) murah ini cuma yang penting cover biaya produksi dan biaya distribusi, plus margin tipis. Bisa jadi, harga iPhone kalau di tangan mereka ini jauh lebih murah. Asumsinya tentu fiturnya bisa jadi dibikin sama atau mungkin ada penyesuaian, tapi tetep kelihatan mirip dan bagus.

Dengan fokus pada margin tipis, mereka bisa menjaga efisiensi disisi operasional, terutama fixed cost (karyawan, listrik, energi, sewa dsb) dan memainkan lebih banyak di variable cost. Jikapun tidak ada variable cost, ya fokusnya pada format bisnis yang lebih efisien fixed cost. Misalnya dengan memilih ruangan sewa kecil dan karyawan yang tidak banyak. Yang lain, mereka bisa memaksimalkan volume disisi omset/pendapatan dan ini diharapkan tumbuh lebih baik dibandingkan biaya biaya operasional.

Bisa lebih murah, karena mereka bikin value added product. Apa yang terjadi pada kopi kopian dan mie mie-an terkenal adalah mereka membuat produk produk value added yang bisa mensubsidi silang makanan atau minuman utama. Mereka bisa murahin kopi dan mienya, tapi ada potensi keuntungan dengan roti, gorengan hingga minuman yang marginnya lebih tinggi. Selain hal hal ini ngga bisa dimurahin (cenderung dibuat premium), tentu makanan dan minuman tambahan ini akan menggoda untuk dinikmati bersama makanan atau minuman utamanya. Ngga mungkin kan yang value added ini dikonsumsi sendirian tanpa kopi dan mienya? Begitupun sebaliknya.

Teori subsidi silang ini, dalam banyak bisnis sudah diterapkan. Misalnya dalam sektor media dan konten, dimana media konvensional seperti televisi membiayai inisiatif bisnis digital media yang cenderung lebih efisien dan peluang pertumbuhannya tinggi. Atau di bisnis rokok atau tembakau, dimana bisnis rokok konvensional/sigaret membiayai inisiatif alternatif rokok/nikotin dan rokok yang dipanaskan, yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Subsidi ini diharapkan membantu membiayai dan sekaligus menambah margin. Selain itu, subsidi membantu diversifikasi produk yang disediakan.

Bisa lebih murah, karena bahan baku yang lebih murah. Ini sih teori umum dalam bisnis, dimana urusan bahan baku yang cukup mempengaruhi laba kotor akan bergantung pada harga bahan bahannya. Semakin kompetitif dari sisi harga, bisa semakin murah. Untuk itu, bisnis akan mencari sumber bahan baku yang paling murah dari sisi harga dan tentunya paling bisa diandalkan. Selain mengandalkan pihak eksternal, jika mereka mampu dan skalanya memungkinkan, mereka bisa memproduksi bahan baku sendiri untuk bisnisnya. Hal ini bisa menekan biaya lumayan.

Bisa lebih murah, yang terakhir, karena ada biaya biaya yang dipotong karena model bisnis pesaing yang diotak atik. Bahasa kerennya, disrupsi. Kalau kasus yang ini, kita bisa inget kejadian munculnya Uber, Grab dan Gojek di masa silam yang “memotong kompas” aturan pemerintah dalam transportasi umum yang penuh dengan biaya ini dan itu. Dengan alasan bahwa mereka perusahaan teknologi dan mengusung konsep ridesharing, beban terkait kendaraan dan bensin sepenuhnya jadi tanggung jawab mitra pengemudi, serta tidak ada kewajiban plat kuning, uji KIR dan lainnya. Mereka cuma berfungsi sebagai perantara. Namun demikian, belakangan mereka mencoba meniru perilaku transportasi umum dalam praktek bisnisnya, meski beban masih sebagian besar ditanggung mitra pengemudi.

Namun demikian, bisa lebih murah ini juga bisa dimanfaatkan dengan tidak sehat. Apa yang terjadi pada sektor tekstil Indonesia yang terpukul dengan impor tekstil asal Tiongkok, baik barang baru maupun bekas, adalah situasi yang tidak adil buat pelaku dalam negeri. Situasi ini jugalah yang dulu sempat jadi keributan saat Uber, Grab dan Gojek muncul.

Itu rahasia yang bener. Kalau rahasia yang negatif mah banyak. Misalnya, jualan dengan bahan dan cara yang ngga bener. Jelas dengan jalan yang ngga bener bisa murah, karena ngga ikut standar pesaing, sehingga mereka bisa seenaknya potong biaya dengan margin yang lebih bagus.

Begitu kira kira ~

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$BIRD $MAPB $SCMA

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy