imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ironi Besar Indonesia: Produksi Nikel Gede untuk Menyenangkan Siapa?

Dunia sedang bergerak cepat ke era kendaraan listrik, dan yang dulu dianggap tak tergoyahkan kini mulai kepayahan. Tesla, si ikon EV yang pernah dielu-elukan, kini mulai kena realitas. Tahun 2024, untuk pertama kalinya dalam 12 tahun, penjualannya malah turun ke 1,79 juta unit, lebih rendah dari 1,81 juta unit di 2023. Sementara itu, BYD melesat tanpa hambatan, mencatatkan penjualan 4,27 juta unit, naik 41%. Apa rahasianya? Baterai LFP (Lithium Iron Phosphate), yang lebih murah, lebih tahan lama, lebih aman—dan tidak butuh nikel sama sekali. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Sementara itu di Indonesia, ironinya begitu kental sampai bikin kepala geleng-geleng. Kita punya cadangan nikel terbesar di dunia, seharusnya berada di garis depan revolusi kendaraan listrik. Tapi apa yang terjadi? Mobil listrik yang paling laku di Indonesia justru tidak menggunakan nikel. BYD M6 dan Wuling Binguo EV, yang mendominasi pasar EV lokal, memakai baterai LFP yang tidak butuh nikel sama sekali. Kita gali nikel seperti orang kesetanan, tapi uangnya dinikmati orang lain.

Pemerintah, dengan optimisme yang hampir delusional, berpikir bahwa semua kendaraan listrik akan butuh baterai NMC (Nickel Manganese Cobalt). Maka lahirlah proyek hilirisasi nikel yang dikemas sebagai penyelamat ekonomi. Smelter dibangun di mana-mana, seperti warung kopi yang muncul di setiap sudut kota. Tapi dunia berubah lebih cepat dari ekspektasi mereka. Mayoritas pabrikan EV sudah hijrah ke LFP, dan sekarang smelter-smelter yang dibangun dengan penuh kebanggaan ini berpotensi menjadi besi tua yang tidak ada gunanya.

Dan apa yang lebih menggelikan? Semua ini dilakukan atas nama “green energy,” padahal yang terjadi di lapangan justru kehancuran lingkungan besar-besaran. Katanya nikel itu untuk ESG dan Green Economy. ESG apa itu kalau nambang masih rusak hutan dan alam? Apa bedanya dengan tambang coal? Wong sama-sama pakai ekskavator.

Hutan-hutan Sulawesi dan Maluku digunduli tanpa ampun. Ribuan hektar hutan yang tadinya kaya biodiversitas diratakan demi tambang nikel.

Air sungai berubah jadi lumpur beracun. Sungai yang dulu bisa diminum langsung oleh warga lokal sekarang penuh sedimen dan limbah tambang.

Masyarakat adat digusur demi ekspansi tambang. Mereka yang sudah tinggal di sana turun-temurun harus angkat kaki karena “pembangunan.”

Jadi, atas nama energi hijau, Indonesia justru menghancurkan lingkungan sendiri. Ndasmu energi ijo. Kita menghancurkan ekosistem yang sudah ada, meracuni sungai, dan menggusur masyarakat lokal untuk menambang nikel yang ternyata tidak laku. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lebih konyol lagi, Indonesia memproduksi nikel seperti orang kesurupan, tanpa berpikir apakah ada pembeli atau tidak. Dari 65 juta ton di 2021, melesat ke hampir 300 juta ton di 2024. Pemerintah bukannya menyesuaikan produksi dengan permintaan, malah tancap gas seolah-olah dunia akan selalu membutuhkan nikel. Akibatnya? Harga nikel global jeblok ke bawah $16.000 per ton, membuat banyak tambang di luar negeri bangkrut karena tidak bisa bersaing dengan Indonesia yang jual murah seperti barang obral di Ramayana.

Dan sekarang, ketika semua sudah terlanjur rusak, pemerintah baru sadar mereka sudah menciptakan bencana ekonomi dan ekologi. Tahun 2025, produksi rencananya akan dipangkas ke 150 juta ton untuk "menyeimbangkan pasar". Tapi apakah ini cukup untuk menyelamatkan harga? Atau hanya usaha panik setelah membuat kekacauan? Jika dunia sudah tidak lagi lapar akan nikel, pemangkasan ini hanya akan jadi usaha sia-sia yang datang terlambat.

Dan bagian paling menggelikan sekaligus menyebalkan? Sementara industri nikel megap-megap, pemerintah justru membebaskan bea masuk untuk kendaraan listrik impor. Melalui PMK Nomor 10 Tahun 2024, bea masuk kendaraan listrik impor dibebaskan hingga 2025, ditambah insentif PPNBM. Alih-alih membangun industri kendaraan listrik nasional, Indonesia malah jadi pasar bebas buat pabrikan China. Dengan kata lain, kita memproduksi nikel tanpa pembeli, sementara mobil listrik China yang masuk ke Indonesia malah tidak butuh nikel untuk baterai karena mereka pakai LFP. Benar-benar sabotase terhadap diri sendiri. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Hasil dari kebijakan aneh ini? Sebuah komedi tragis.

Nikel Indonesia bisa berubah jadi barang rongsokan. Jika tren LFP terus mendominasi, permintaan nikel untuk baterai EV bisa runtuh total. Nikel akhirnya hanya jadi stainless steel.

Smelter yang dibangun dengan gegap gempita bisa menjadi monumen nasional seperti Hambalang dan IKN. Uang triliunan rupiah yang dihamburkan bisa berakhir sebagai proyek sia-sia.

Tambang-tambang dengan biaya produksi tinggi bakal mati perlahan. Dengan rata-rata cash cost $11.000 per ton, dan harga jual yang makin nyungsep, banyak pemain industri akan tumbang satu per satu.

Lingkungan sudah keburu hancur. Hutan-hutan sudah dibabat, sungai sudah rusak, masyarakat adat sudah diusir—dan semua ini demi industri yang bahkan tidak dibutuhkan dunia.

Industri otomotif lokal mati suri. Insentif impor mobil listrik membuat Indonesia menjadi pasar empuk bagi pabrikan China, sementara industri lokal masih sibuk mengurus regulasi dan TKDN. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Jadi, sekarang pertanyaannya: Mau terus jadi budak hilirisasi nikel yang sudah kehilangan relevansi, atau akhirnya sadar bahwa kita sudah tersesat? Jika tidak segera ada perubahan strategi, Indonesia akan menjadi produsen nikel terbesar di dunia yang tidak lagi dibutuhkan siapa pun, sambil mewariskan kerusakan lingkungan yang tak bisa diperbaiki.

Indonesia mati-matian gali nikel, bikin smelter di mana-mana, hancurin hutan, buang miliaran dolar buat hilirisasi, tapi lihat kenyataannya: mayoritas mobil listrik yang laris di sini malah nggak butuh nikel sama sekali. Tahun 2024, pasar mobil listrik Indonesia meledak dengan 44.557 unit terjual, naik 161% dari tahun sebelumnya. Hebat? Nggak juga. Karena yang panen untung justru China, bukan kita.

Lihat saja daftar mobil listrik terlaris tahun 2024

1. BYD M6 – 6.124 unit → LFP (Blade Battery)

2. Wuling Binguo EV – 5.156 unit → LFP

3. BYD Seal – 4.828 unit → LFP (Blade Battery)

4. Wuling Air ev – 4.440 unit → LFP

5. Chery Omoda E5 – 4.425 unit → LFP

6. Wuling Cloud EV – 3.521 unit → LFP

7. BYD Atto 3 – 3.291 unit → LFP (Blade Battery)

8. MG 4 EV – 2.340 unit → LFP

9. Hyundai Ioniq 5 – 1.561 unit → NMC (Nickel-Based)

10. Hyundai Kona EV – 1.196 unit → LFP (Varian terbaru)

Jadi ini hasilnya: Indonesia gali nikel habis-habisan, tapi mayoritas mobil listrik yang laku di sini justru nggak pakai nikel. Pemerintah bukannya ngelindungi industri kendaraan listrik dalam negeri, malah ngasih karpet merah buat mobil listrik impor. Lewat PMK Nomor 10 Tahun 2024, bea masuk mobil listrik 0% sampai 2025, ditambah insentif PPNBM biar makin murah. Hasilnya? Mobil listrik impor dari China masuk dengan harga miring, sementara kendaraan listrik dalam negeri cuma bisa gigit jari. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lebih konyol lagi, China bukan cuma menang di pasar mobil listrik Indonesia, tapi juga ngeruk nikel kita dengan harga murah. Indonesia nambang nikel besar-besaran, dari 65 juta ton di 2021 jadi hampir 300 juta ton di 2024, padahal dunia sudah mulai ninggalin baterai berbasis nikel. Tesla, BYD, Wuling, MG, Hyundai—semua beralih ke LFP, tapi kita masih sibuk bangun smelter buat sesuatu yang permintaannya makin berkurang. Lalu pas harga nikel jatuh ke bawah $16.000 per ton, kita panik sendiri.

Siapa yang untung? China, oligarki tambang, dan segelintir elite yang sudah lebih dulu pegang proyek smelter. Mereka udah balik modal dari dulu, sementara yang baru masuk ke bisnis ini harus nyungsep kena harga nikel yang ambruk. Siapa yang rugi? Rakyat, buruh tambang, industri kendaraan listrik dalam negeri, dan tentu saja lingkungan. Hutan udah habis, sungai udah tercemar, masyarakat adat terusir, tapi semua ini cuma demi industri nikel yang ternyata nggak dibutuhkan sebanyak yang kita kira.

Jadi pertanyaannya, ini kita lagi bangun industri atau lagi ngegali kuburan ekonomi sendiri?

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$ANTM $MBMA $NCKL

Read more...

1/4

testestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy