imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Korupsi Kredit $BJTM

Korupsi kredit fiktif di perbankan bukan sekadar “kecelakaan sistem,” melainkan ekosistem yang dirancang dengan penuh perhitungan oleh mereka yang mengendalikan uang rakyat. Para direktur dan pejabat bank yang terlibat tidak hanya menikmati kehidupan mewah dari uang yang seharusnya berputar di sektor riil, tetapi juga memastikan bahwa skema ini tetap berjalan dengan rapi—setidaknya sampai akhirnya meledak. Dan ketika meledak? Oh, mereka sudah lama menghilang, mungkin sedang menikmati anggur mahal di sebuah vila eksotis di luar negeri, sementara rakyat yang bodoh masih sibuk bertanya-tanya, "Kok bisa ya?" Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Skema paling klasik adalah bonus tahunan yang tetap mengalir deras ke kantong para pejabat karena target kredit yang “tercapai.” Contoh nyata bisa dilihat pada kasus Bank Century yang sempat kolaps setelah terlibat skandal kredit bermasalah. Dengan menciptakan kredit fiktif, angka di laporan keuangan terlihat cantik, membuat mereka tampak seperti jenius di dunia perbankan. Padahal, itu semua cuma fatamorgana. Ini seperti menulis nilai rapor sendiri, lalu memuji diri sendiri sebagai siswa terbaik. Saat kredit macet mulai bermunculan dan kerugian tidak lagi bisa ditutup-tutupi, barulah semua kebusukan ini terbongkar. Sialnya, pada titik ini, mereka biasanya sudah keluar dari sistem dengan selamat, membawa serta bonus yang seharusnya didapat dari kinerja nyata. Dan tentu saja, yang menyelamatkan bank bukan mereka, tapi rakyat yang dipalak pajak demi menutupi lubang yang mereka buat.

Tidak cukup dengan gaji dan bonus, para pejabat ini juga bermain di belakang layar dengan menerima kickback alias setoran balik dari peminjam kredit fiktif. Di kasus Bank Jatim misalnya, skandal Rp569,4 miliar ini bisa berarti ada puluhan hingga ratusan miliar rupiah yang mengalir ke kantong orang dalam. Skema serupa juga terjadi pada kasus PT Bank Negara Indonesia ($BBNI) yang sempat geger dengan skandal kredit fiktif sebesar Rp1,7 triliun pada tahun 2003. Siapa yang tidak tergoda dengan angka segede itu? 5% saja dari total nilai kredit sudah cukup untuk membeli rumah mewah di tengah kota, apalagi kalau persentasenya lebih besar. Bayangkan, orang yang seharusnya menjaga keuangan negara justru memakannya hidup-hidup tanpa rasa malu sedikit pun.

Yang lebih rapi lagi adalah skema pencucian uang melalui perusahaan nominee. Pejabat bank dengan cerdiknya menyamarkan kepemilikan perusahaan yang menerima kredit bodong. Contohnya dalam kasus Bank Bali, di mana dana triliunan rupiah mengalir ke pihak-pihak yang tidak berhak melalui perusahaan perantara. Mungkin di atas kertas, perusahaan ini dimiliki oleh orang kepercayaan, tapi pada akhirnya keuntungan tetap mengalir ke bos-bos bank yang “berjiwa pengusaha.” Begitu kredit cair, dana bisa dialihkan ke berbagai proyek fiktif yang ujung-ujungnya hanya menjadi angka-angka di atas kertas. Lucunya, ketika akhirnya terungkap, yang dihukum hanyalah orang-orang kelas teri, sementara para dalang utama tetap hidup nyaman.

Ada juga trik culas lain, yaitu pinjaman fiktif untuk menyerap dana dengan risiko nol. Mereka tahu betul bahwa kredit ini tidak akan pernah dikembalikan, jadi kenapa tidak sekalian saja dimanfaatkan? Cukup gunakan orang lain sebagai peminjam boneka, tarik dana miliaran rupiah, lalu lenyap sebelum kejahatan ini tercium. Sistem bank memang dirancang untuk mempercayai angkanya sendiri, jadi kalau angka sudah dimanipulasi dengan baik, semuanya tampak baik-baik saja—sampai tidak lagi. Dan ketika semuanya runtuh? Tentu saja, para pelaku utama sudah menghilang dengan nyaman, meninggalkan rakyat dan pemerintah untuk berurusan dengan kekacauan yang mereka buat. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu ada permainan di sektor denda dan restrukturisasi kredit. Ketika kredit mulai tampak macet, skenario yang dimainkan adalah menawarkan solusi “damai” kepada peminjam, tentu dengan bayaran yang tidak sedikit. Kasus seperti Bank Century ($BCIC) menunjukkan bagaimana skema ini bisa dijalankan selama bertahun-tahun tanpa ada deteksi awal. Mau tenor diperpanjang? Mau denda dihapus? Bisa diatur, asal ada uang pelicin. Ini bukan lagi strategi perbankan, melainkan strategi mafia kelas atas yang beroperasi di gedung-gedung berkaca dengan dasi yang selalu rapi. Dan yang lebih menjijikkan? Semua ini sering kali dilindungi oleh hukum yang dibuat oleh orang-orang yang juga berada di lingkaran yang sama.

Hasil dari semua kejahatan ini biasanya dialihkan ke aset dan bisnis pribadi. Contohnya bisa dilihat dari kasus Jiwasraya, di mana hasil korupsi dialihkan ke investasi yang tidak sehat dan properti mewah. Tidak mungkin kan, mereka menikmati hasil korupsi dengan gaya hidup yang terlalu mencolok? Jadi lebih baik disimpan dalam bentuk properti, kendaraan mewah, atau bisnis yang kelihatannya sah. Ketika kasus mulai terendus, mereka sudah siap dengan jalan keluar yang elegan: jual aset, bersih-bersih nama, lalu tinggal di luar negeri dengan tenang. Sementara itu, rakyat biasa yang terkena dampaknya? Silakan tetap bekerja keras, bayar pajak, dan berharap keajaiban agar bank yang kolaps ini bisa kembali normal.

Tentu saja, semua ini tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan dari dalam. Auditor internal atau otoritas pengawas yang seharusnya menjadi benteng terakhir malah bisa diajak kompromi. Cukup berikan bagian mereka, dan semua laporan keuangan akan tampak sempurna. Kasus skandal Bank Duta di era 1990-an membuktikan bagaimana kesalahan pengawasan bisa membuat kerugian mencapai ratusan miliar rupiah. Selama angka-angka masih terlihat bagus, tidak akan ada alarm bahaya. Mereka semua bermain dalam satu simfoni yang harmonis—setidaknya sampai akhirnya ada yang membuka mulut atau kejadian tak terduga seperti krisis keuangan yang memperlihatkan semua lubang yang selama ini ditutupi. Tapi bahkan jika terbongkar, mereka selalu punya jalan keluar. Selalu.

Akhirnya, ketika semuanya terbongkar, siapa yang kena dampaknya? Ya, bukan mereka. Bank akan menyerap kerugian, pemerintah mungkin akan menyuntikkan dana talangan, dan rakyat biasa yang harus membayar harganya melalui pajak dan berbagai kebijakan yang semakin menekan. Sementara itu, para dalangnya mungkin sudah menikmati matahari tropis di negara bebas ekstradisi, menertawakan sistem yang mereka manipulasi selama bertahun-tahun. Dan kalian yang masih percaya bahwa perbankan dikendalikan oleh orang-orang baik? Silakan terus percaya, sementara mereka tertawa menikmati hasil rampokan mereka. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Bayangkan ada seorang direktur bank bernama Pak Budi, seorang pria yang dikenal sebagai "visioner" di industri perbankan. Dia selalu berbicara di seminar tentang bagaimana pertumbuhan kredit adalah kunci keberhasilan bank. Setiap tahun, di bawah kepemimpinannya, kredit bank tumbuh pesat—laporan keuangan terlihat cemerlang, para pemegang saham senang, dan tentu saja, Pak Budi menerima bonus tahunan yang luar biasa.

Tahun ini, Pak Budi berhasil menyalurkan kredit Rp10 triliun, melampaui target yang ditetapkan oleh bank sebesar Rp8 triliun. Hasilnya? Bonus Rp50 miliar langsung masuk ke rekeningnya, ditambah berbagai fasilitas seperti mobil mewah, perjalanan ke luar negeri, dan opsi saham perusahaan. “Kinerja yang luar biasa!” kata dewan direksi, tanpa tahu atau tanpa peduli dari mana kredit ini sebenarnya berasal.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, dari Rp10 triliun kredit yang disalurkan, Rp3 triliun adalah kredit fiktif yang diberikan ke perusahaan-perusahaan bodong. Sebagian besar perusahaan ini tidak punya bisnis nyata—hanya nama di atas kertas dengan alamat yang kalau dicek, ternyata rumah kosong atau ruko kecil. Beberapa perusahaan ini dimiliki oleh teman dekat Pak Budi, bahkan ada yang masih menggunakan nomor HP asistennya sendiri. Tapi karena di atas kertas semuanya terlihat “sesuai prosedur,” tidak ada yang menggugat.

Tahun pertama, semuanya tampak baik-baik saja. Pak Budi kembali menerima bonus karena bank “tumbuh pesat.” Tahun kedua, kredit mulai sedikit macet, tapi belum mencurigakan. Lalu di tahun ketiga, NPL bank melonjak menjadi 10%, tanda bahwa ada banyak kredit yang tidak bisa ditagih. Para analis mulai mempertanyakan, “Kenapa banyak sekali kredit yang gagal bayar?” Namun, sebelum masalah ini meledak, Pak Budi sudah pensiun lebih awal dengan uang pensiun ratusan miliar dan hidup nyaman di luar negeri. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Siapa yang kena dampaknya? Ya, tentu bukan Pak Budi. Bank akhirnya mengalami masalah keuangan, pemerintah masuk tangan membantu dengan dana talangan alias bailout, dan rakyat yang harus menanggung kerugian ini lewat pajak. Sementara itu, Pak Budi mungkin sedang duduk santai di vila pribadinya, menyesap kopi mahal, dan menertawakan betapa mudahnya sistem ini dimanipulasi.

Jadi, apakah kredit tumbuh itu selalu bagus? Tidak juga. Kalau skemanya seperti Pak Budi, itu hanya sementara sebelum akhirnya meledak.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/5

testestestestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy