$ARNA: Laba Anjlok
PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) adalah salah satu pemain lama di industri keramik yang sudah beroperasi sejak 1995. Perusahaan ini berpusat di Jakarta Barat dengan pabrik yang tersebar di Jatiuwung, Tangerang. Fokus bisnisnya adalah produksi ubin keramik untuk pasar menengah ke bawah, dengan strategi efisiensi biaya dan distribusi yang lebih mengandalkan jaringan nasional dibandingkan dengan ekspansi yang ambisius. Sejak IPO pada tahun 2001 dengan harga saham Rp120 per lembar, ARNA terus berkembang dan kini memiliki 7,34 miliar lembar saham yang beredar. Pemegang saham utamanya masih dikuasai oleh Tandean Rustandy dengan 38,63%, disusul oleh PT Suprakreasi Eradinamika dengan 15,02%, sementara investor institusi asing seperti BBH Luxembourg hanya memiliki 5,27%. Sisanya, seperti biasa, dipegang oleh masyarakat dengan porsi kecil yang kalaupun mau jual beli saham ini, dampaknya tidak akan signifikan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Di sektor manajemen, tidak banyak yang berubah. Komisaris utama masih dijabat oleh Marsetio dengan Edwin Pamimpin Situmorang sebagai wakilnya, dan dua komisaris independen, Karsanto dan Alex Soleman Willem Retraubun, yang mungkin tugasnya lebih banyak memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang benar ketimbang membuat keputusan strategis. Tandean Rustandy masih memimpin sebagai Direktur Utama, didampingi oleh Edy Suyanto dan George Elnadus Supit yang menjabat sebagai Direktur Independen. Dengan komposisi yang relatif stabil ini, ARNA tampaknya memilih jalur konservatif dalam menjalankan bisnisnya. Jumlah karyawan per 2024 tercatat sebanyak 2.108 orang, turun dari 2.132 di tahun sebelumnya. Angka ini kecil, tapi tetap mengindikasikan adanya perampingan atau efisiensi, entah karena otomatisasi atau sekadar tidak memperpanjang kontrak kerja. Gaji dan tunjangan direksi dan komisaris pun turun dari Rp18,17 miliar menjadi Rp17,33 miliar, yang mungkin bisa dianggap sebagai sinyal penghematan, atau bisa juga hanya angka kosmetik yang tidak terlalu berdampak pada keseimbangan keuangan perusahaan.
Kalau melihat laporan keuangan, total aset ARNA mengalami kenaikan tipis menjadi Rp2,66 triliun dari sebelumnya Rp2,62 triliun, naik sekitar 1,56%. Aset lancar justru turun 4,3% menjadi Rp1,51 triliun, terutama karena kas dan setara kas yang menyusut Rp48,8 miliar atau turun 11,1%. Persediaan juga turun tajam sebesar 34,8%, yang bisa berarti dua hal: produk terjual lebih cepat dari yang diproduksi, atau perusahaan memangkas stok untuk mengurangi beban penyimpanan dan risiko penurunan harga. Sementara itu, aset tidak lancar naik 10,4% menjadi Rp1,15 triliun, yang sebagian besar berasal dari kenaikan aset tetap sebesar Rp98,9 miliar. Artinya, ARNA masih aktif berinvestasi dalam peralatan dan fasilitas produksi, yang di atas kertas tentu terlihat baik.
Dari sisi liabilitas, angka totalnya naik menjadi Rp783,8 miliar dari Rp765,5 miliar, atau naik 2,4%. Peningkatan ini terjadi di liabilitas jangka pendek yang naik cukup signifikan, yaitu 10,1% menjadi Rp717,9 miliar, dengan utang usaha ke pihak ketiga meningkat Rp19,1 miliar atau sekitar 6,2%. Di sisi lain, liabilitas jangka panjang justru turun drastis 41,9% menjadi Rp65,8 miliar, yang menandakan adanya pelunasan utang bank jangka panjang. Secara struktur, ini langkah yang logis karena beban bunga akan semakin ringan. Namun, tetap ada pertanyaan apakah penurunan utang ini diimbangi dengan arus kas yang cukup untuk menopang operasional perusahaan.
Ekuitas ARNA juga mengalami kenaikan menjadi Rp1,87 triliun dari Rp1,85 triliun, naik sekitar 1,2%. Retained earnings meningkat 6,5% menjadi Rp1,89 triliun, yang menunjukkan perusahaan masih mampu mencetak laba meskipun tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun, yang lebih menarik adalah agresivitas ARNA dalam membeli kembali sahamnya sendiri. Pembelian saham tresuri meningkat dari Rp49,6 miliar menjadi Rp145,5 miliar. Biasanya, buyback saham dilakukan untuk menjaga harga saham tetap menarik bagi investor, tetapi jika dilakukan dalam jumlah besar tanpa alasan yang jelas, bisa juga dipertanyakan apakah ini memang strategi yang cermat atau hanya sekadar permainan kosmetik di laporan keuangan. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
Pendapatan ARNA tumbuh dari Rp2,44 triliun menjadi Rp2,63 triliun, naik 7,6%. Namun, pertumbuhan ini tidak serta-merta meningkatkan profitabilitas karena laba usaha justru turun 4,0% menjadi Rp549,0 miliar. Laba bersih juga turun 4,3% menjadi Rp429,5 miliar, dengan net profit margin yang turun dari 18,3% menjadi 16,3%. Ini terjadi karena beban pokok penjualan (COGS) naik lebih cepat dari pertumbuhan revenue. COGS melonjak 11,98% menjadi Rp1,73 triliun, terutama karena kenaikan biaya bahan baku dan pabrikasi. Margin laba kotor akhirnya turun menjadi 34,3%, jauh di bawah standar ideal Warren Buffett yang mensyaratkan lebih dari 40%.
Beban operasional pun mengalami kenaikan, dengan total SGA naik 7,6% menjadi Rp366,98 miliar. Yang paling besar adalah pengangkutan dan pengiriman yang naik 14,6%, serta gaji karyawan yang meningkat 14,9%. Yang agak aneh, biaya pemasaran justru turun 41,7%, seolah-olah perusahaan tidak terlalu peduli dengan branding dan lebih memilih mengandalkan jaringan distribusi yang sudah ada. Hasilnya, SGA margin mencapai 40,6%, yang jauh dari angka ideal 30%.
Di sisi arus kas, ada kabar baik karena CFO meningkat drastis 80,5% menjadi Rp620,9 miliar, jauh lebih besar dibanding laba bersih. Ini mengindikasikan bahwa perusahaan mampu mengonversi pendapatannya menjadi kas dengan lebih baik. Namun, arus kas pendanaan negatif Rp475,7 miliar karena pembayaran dividen Rp309,8 miliar dan pembelian saham tresuri Rp95,9 miliar. Kas akhir tahun turun 11,1%, menunjukkan adanya tekanan pada likuiditas.
Dari segi utang, ARNA seharusnya tidak perlu khawatir karena CFO sebesar Rp620,9 miliar lebih dari cukup untuk melunasi total utang berbunga yang hanya Rp155,6 miliar. Bahkan jika perusahaan mau, seluruh utang berbunga bisa dilunasi dalam satu tahun. Namun, kas yang tersedia Rp391,8 miliar masih belum cukup untuk menutup seluruh liabilitas jangka pendek yang mencapai Rp717,9 miliar. Jika manajemen tidak terlalu agresif dalam membayar dividen dan melakukan buyback saham, utang bisa lunas lebih cepat.
Kalau bicara soal pelanggan terbesar ARNA jawabannya sebenarnya sudah bisa ditebak. Dari total pendapatan Rp2,63 triliun, Rp2,22 triliun atau 84,5% berasal dari transaksi dengan pihak berelasi. Dan siapa lagi kalau bukan PT Catur Sentosa Adiprana Tbk ($CSAP) yang jadi rajanya. CSA menyumbang Rp1,82 triliun, atau 69,15% dari total revenue ARNA. Dengan kata lain, ARNA ini ibarat supplier setia yang hampir seluruh hidupnya bergantung pada satu pelanggan utama.
Selain CSA, ada beberapa pelanggan lain yang ikut menyumbang pendapatan, meskipun porsinya jauh lebih kecil. CALS menyumbang Rp224,1 miliar (8,51%), CHS menyumbang Rp111,8 miliar (4,25%), dan CLS menyumbang Rp78,3 miliar (2,98%). Sementara itu, penjualan ke pihak ketiga hanya Rp409,7 miliar atau 15,5% dari total revenue. Ini artinya, hanya segelintir revenue yang benar-benar berasal dari pasar terbuka. Sisanya? Ya, masih dalam lingkaran yang sama.
Ketergantungan seperti ini memang nyaman—selama hubungan bisnis tetap harmonis. Tapi, di sisi lain, ini juga mengandung risiko besar. Kalau suatu hari CSA memutuskan untuk mencari supplier lain atau menegosiasikan harga lebih murah, ARNA bakal langsung kena dampaknya. Jadi, meskipun perusahaan mencatat pertumbuhan revenue yang stabil, pertanyaannya adalah: apakah ini pertumbuhan yang sehat, atau hanya ilusi yang bergantung pada satu pelanggan besar?
Dengan komposisi pelanggan seperti ini, ARNA lebih mirip sebagai "divisi produksi" dari CSA ketimbang perusahaan yang benar-benar berdiri sendiri. Seharusnya, perusahaan dengan valuasi triliunan memiliki diversifikasi pelanggan yang lebih luas, bukan malah terlalu nyaman dalam satu hubungan bisnis yang mendominasi segalanya. Atau mungkin, ARNA sudah cukup puas dengan status quo, dan tidak terlalu tertarik untuk mengambil risiko ekspansi yang sebenarnya bisa membuka peluang lebih besar? Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
ARNA punya pabrik di berbagai lokasi strategis di Indonesia, tapi kalau kita lihat lebih dalam, strategis itu bisa berarti banyak hal. Mereka punya fasilitas di Serang, Banten, yang melayani pasar barat Indonesia, lalu ada di Wringin Anom dan Randegan, Jawa Timur, yang jadi pusat produksi di timur, dan satu lagi di Ogan Ilir, Palembang, untuk pasar Sumatera. Kalau sekilas, kelihatannya mereka menyebar produksi dengan cerdas. Tapi kalau kita berpikir sedikit lebih kritis, apakah ini benar-benar soal strategi distribusi atau hanya cara untuk menekan biaya tenaga kerja dan pajak daerah? Bisa saja lokasinya dipilih bukan karena kedekatan dengan pelanggan, tapi karena lebih murah secara operasional.
Kalau kita bicara segmen bisnis, ARNA membaginya menjadi dua: manufaktur dan distribusi. Di atas kertas, ini terlihat bagus, karena ada peran yang jelas. Manufaktur kerja keras bikin ubin, distribusi yang menikmati revenue besar. Tapi begitu masuk ke angka, kita tahu bahwa ini cuma masalah pencatatan. Penjualan eksternal dari manufaktur cuma Rp97,19 miliar, sementara dari distribusi Rp2,53 triliun. Dan jangan lupa, ada transaksi antar segmen Rp2,46 triliun, yang akhirnya dieliminasi karena ya… ARNA jualan ke diri sendiri. Laba usaha dari manufaktur Rp964,14 miliar, dari distribusi cuma Rp20,04 miliar, tapi begitu semua dihitung ulang, laba usaha keseluruhan jadi Rp549,03 miliar. Jadi, pada dasarnya, ARNA ini seperti pabrik yang kerja keras, tapi revenue dikendalikan oleh satu jaringan distribusi yang sudah ditentukan sejak awal.
Secara geografis, ARNA masih sangat bergantung pada pasar Jawa. Penjualan di Jawa mencapai Rp1,39 triliun (52,8%), sementara luar Jawa menyumbang Rp1,24 triliun (47,2%). Kalau kita bicara aset, Jawa Barat punya Rp1,09 triliun, Jawa Timur Rp1,16 triliun, dan Sumatra Selatan Rp406,83 miliar. Dari angka ini, bisa disimpulkan bahwa walaupun luar Jawa lumayan besar, tetap saja pusat bisnis mereka masih di Pulau Jawa. Jadi kalau ada yang berharap ARNA ini punya ekspansi besar ke luar Jawa atau internasional, lebih baik jangan terlalu berharap banyak.
Lalu, bagaimana dengan branding, lisensi, atau royalti? Tidak ada. ARNA bukan perusahaan yang sibuk mendaftarkan hak kekayaan intelektual atau mengembangkan merek sebagai aset yang bisa dimonetisasi. Mereka juga tidak punya skema lisensi dengan pihak ketiga, dan laporan keuangan mereka tidak menunjukkan adanya pembayaran royalti ke siapa pun. Jadi, bisa dibilang, ARNA ini bukan perusahaan yang bergantung pada kekuatan merek, tapi lebih ke strategi produksi massal dengan efisiensi operasional tinggi. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf
ARNA adalah contoh sempurna dari perusahaan yang bermain aman. Mereka tidak terlalu repot dengan diversifikasi pelanggan karena sudah punya satu distributor utama yang setia. Mereka tidak sibuk dengan branding atau inovasi produk yang memerlukan hak paten, karena toh jualannya tetap laku. Selama jaringan distribusi mereka tetap berjalan seperti sekarang, ARNA mungkin akan tetap nyaman di jalur yang sama tanpa banyak perubahan. Tapi kalau suatu hari CSAP atau pelanggan utama mereka berubah pikiran, bisa jadi ini akan menjadi masalah besar. Untuk saat ini, model bisnis ini masih aman, tapi apakah ini model yang tahan lama? Itu pertanyaan yang masih perlu dicermati.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
1/3