imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

$EAST: Revenue Anjlok

Request salah satu user Stockbit yang pengen bahas EAST di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

PT Eastparc Hotel Tbk (EAST) adalah hotel bintang lima di Yogyakarta yang berdiri sejak 2011 dan mulai beroperasi pada 2013. Dengan total 192 kamar, perusahaan ini berusaha bertahan di industri perhotelan yang keras, mengandalkan penginapan, restoran, kafe, dan event organizer sebagai sumber revenue. Hotelnya memang mewah, tetapi apakah keuangannya juga mewah? Upgrade Skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Dari segi aset, EAST mencatat total kekayaan sebesar Rp487,16 miliar, naik tipis 0,76% dibanding tahun lalu. Kenaikan aset yang nyaris tak terasa ini sebagian besar didukung oleh aset lancar yang bertambah, meskipun porsi aset lancar hanya 4% dari total aset, yaitu Rp19,34 miliar. Sisanya? Ya, 96% dari total asetnya terbenam dalam aset tetap yang tak likuid, terutama bangunan hotel, yang entah bisa dijual cepat atau tidak kalau terjadi krisis. Kas dan setara kas meningkat 32,3% menjadi Rp8,57 miliar—kabar baik? Mungkin, tapi jangan senang dulu. Piutang usaha melonjak 89,9% menjadi Rp5,68 miliar, artinya banyak tamu yang ngutang alias pembayaran belum masuk. Sementara itu, uang muka anjlok 91,4%, tanda bahwa pembayaran lebih banyak dilakukan tahun sebelumnya. Persediaan juga turun 16,2%, bisa jadi karena strategi efisiensi atau malah kurangnya pembelian bahan baku.

Beralih ke liabilitas, di sinilah mulai terlihat kejanggalan. Liabilitas EAST membengkak 23,01% menjadi Rp26,20 miliar, dengan lonjakan utang bank jangka pendek yang tak tanggung-tanggung: +614,3%! dari Rp700 juta ke Rp5,00 miliar. Kenapa tiba-tiba EAST merasa perlu berutang sebesar itu dalam waktu singkat? Mungkinkah ada tekanan keuangan yang lebih besar dari yang terlihat? Sementara itu, utang usaha justru turun 18,3% menjadi Rp1,98 miliar, mungkin karena vendor sudah dibayar lebih cepat—atau mungkin juga karena jumlah pesanan mereka menurun. Liabilitas jangka panjang hanya Rp9,10 miliar, naik 10,4%, yang berarti perusahaan masih lebih mengandalkan utang jangka pendek. Ekuitas masih mendominasi di Rp460,96 miliar atau 94,62% dari total aset, meskipun turun tipis 0,26%. EAST masih bisa dikatakan modal kuat, tapi jika terus berutang tanpa pertumbuhan revenue yang memadai, lama-lama ini bisa jadi masalah.

Sekarang, mari kita lihat bisnis intinya: apakah hotel ini masih menghasilkan uang? Total revenue EAST turun 3,22% menjadi Rp102,93 miliar, yang artinya perusahaan ini seperti treadmill—bergerak tapi tidak maju. Revenue kamar stagnan di Rp69,79 miliar, sedangkan revenue dari makanan dan minuman anjlok 11,29% ke Rp30,02 miliar. Ini agak ironis, mengingat industri makanan dan minuman justru sedang berkembang. Ada juga kategori revenue "lain-lain" sebesar Rp3,12 miliar yang sebelumnya tidak tercatat di 2023. Bisa jadi ini berasal dari usaha sampingan, atau mungkin juga perusahaan mulai berjualan merchandise, siapa tahu? Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Dari segi laba, angka-angka mulai berbicara. Laba kotor turun 2,38% menjadi Rp77,21 miliar, dan laba usaha anjlok lebih dalam 11,22% ke Rp42,38 miliar. Apa penyebabnya? Beban usaha naik 12,89% menjadi Rp32,11 miliar, terutama dari gaji dan tunjangan (+9,68%), biaya perbaikan dan pemeliharaan (+25,89%), serta operasional proyek (+41,22%). Sepertinya EAST mulai lebih banyak menghabiskan uang untuk pemeliharaan daripada mengembangkan bisnisnya. Laba tahun berjalan turun 9,67% menjadi Rp34,72 miliar, dan laba per saham turun 9,77% menjadi Rp8,41. Para investor tentu bertanya-tanya, apakah ini hanya sementara atau tren yang akan berlanjut?

Beralih ke cashflow, arus kas operasi (CFO) turun 14,55% menjadi Rp40,01 miliar. Meskipun masih lebih tinggi dari laba bersih, penurunan ini menunjukkan bahwa perusahaan mulai menghadapi tekanan likuiditas. Kas dari pelanggan tercatat Rp100,60 miliar, selisih Rp2,33 miliar dari revenue, yang berarti masih ada piutang yang belum tertagih. Sementara itu, arus kas dari investasi membengkak menjadi negatif Rp4,89 miliar, hampir dua kali lipat dari tahun lalu, yang bisa jadi merupakan belanja modal (Capex) untuk renovasi atau sekadar pengeluaran tambahan yang belum tentu menghasilkan. Arus kas dari pendanaan juga negatif Rp33,02 miliar, yang berarti perusahaan lebih banyak membayar utang dan dividen dibanding menarik dana baru. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Lalu, apakah EAST bisa membayar utangnya? Jika melihat angka-angka, jawabannya ya, untuk saat ini. CFO sebesar Rp40,01 miliar lebih dari cukup untuk menutup total liabilitas Rp26,20 miliar, dengan rasio 152,67%. Bahkan, utang berbunga yang hanya Rp5,60 miliar bisa dilunasi lebih dari tujuh kali lipat dalam satu tahun. Jadi, tidak ada risiko kebangkrutan dalam waktu dekat. Namun, dengan tren revenue yang stagnan dan beban usaha yang naik, perusahaan ini harus lebih agresif mencari sumber pertumbuhan baru, bukan hanya mengandalkan kenaikan tarif kamar atau berharap tamu datang sendiri.

Bagaimana dengan transaksi pihak berelasi? EAST memberikan pinjaman kecil Rp240 juta ke pihak berelasi—jumlah yang tidak signifikan, tetapi tetap menarik untuk dicermati. Manajemen kunci masih menikmati gaji dan tunjangan sebesar Rp2,73 miliar, angka yang sama dengan tahun lalu. Tidak ada transaksi besar yang mencurigakan, dan tidak ada revenue dari pihak berelasi yang signifikan. Setidaknya dalam hal ini, perusahaan tampaknya masih beroperasi secara wajar, tanpa praktik aneh yang merugikan pemegang saham minoritas.

EAST bukan perusahaan yang bermasalah, tetapi juga bukan perusahaan yang berkembang pesat. Revenue stagnan, beban meningkat, utang melonjak, tetapi masih dalam batas aman. Perusahaan masih punya cukup kas untuk membayar utangnya, tetapi jika pertumbuhan terus melambat, skenario ini bisa berubah. Jika EAST tidak melakukan inovasi dalam bisnisnya, jangan heran kalau beberapa tahun ke depan kita melihat laporan keuangan yang makin membosankan—atau lebih buruk, makin mengkhawatirkan.

EAST tampaknya semakin gemar menjadi "bank dadakan" bagi para tamunya. Piutang usaha mereka melonjak 89,90% menjadi Rp5,68 miliar dibanding tahun lalu yang hanya Rp2,99 miliar. Artinya, makin banyak pelanggan yang menginap tapi belum bayar. Kalau ini karena peningkatan jumlah tamu korporasi, bisa jadi kabar baik. Tapi kalau banyak yang ngutang dan lupa bayar? Ya, tinggal tunggu bencana likuiditas saja. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Piutang ini setara dengan 1,17% dari total aset dan 5,52% dari revenue. Jadi, hampir satu dari setiap 20 rupiah yang mereka hasilkan belum masuk ke kas. Dan jika piutang terus membengkak tanpa ada penyelesaian, EAST bisa mulai berpikir untuk beralih bisnis dari perhotelan ke lembaga pembiayaan.

Lalu, siapa saja pelanggan setia yang lebih suka menunda pembayaran? Nama-nama besar seperti PT Bio Farma (Persero), PT Pamapersada Nusantara $UNTR, PT Bhumi Jepara Services, PT Pertamina Training & Consulting, dan PT Pertamina Hulu Energi masuk dalam daftar. Selain itu, ada juga agen travel yang mungkin masih berusaha merangkak dari keterpurukan pandemi. Fakta bahwa mayoritas pelanggan EAST adalah BUMN dan korporasi besar bisa jadi dua hal: jaminan bahwa mereka pasti bayar (suatu hari nanti), atau jaminan bahwa mereka pasti akan menunda bayar selama mungkin.

Dari segi umur piutang, EAST masih cukup bisa bernapas lega—untuk sekarang. Sebesar Rp3,24 miliar belum jatuh tempo, jadi masih dalam tahap wajar. Tapi jangan terlalu senang dulu, karena sudah ada Rp1,03 miliar yang berusia lebih dari 90 hari alias bisa masuk kategori potensial macet. Itu 18,14% dari total piutang yang entah kapan bisa masuk kas. Apakah EAST harus mulai kirim reminder dengan embel-embel “mohon segera dilunasi, jangan pura-pura lupa”? Mungkin.

Sebagian besar piutang yang jatuh tempo ada di rentang kurang dari 30 hari (Rp752,69 juta), jadi kemungkinan besar ini masih dalam proses pembayaran. Tapi ada Rp290,45 juta yang sudah lebih dari 60 hari dan Rp6,17 juta yang lebih dari 30 hari, yang kalau terus dibiarkan bisa jadi makin sulit ditagih. Mungkin EAST perlu menerapkan sistem pengingat yang lebih agresif—atau sekalian aja, sistem penalti buat yang telat bayar.

EAST punya piutang yang naik pesat, tetapi juga makin banyak yang berisiko jadi bad debt. Sebagai perusahaan yang mengandalkan arus kas untuk tetap bertahan, EAST harus memastikan bahwa piutang mereka benar-benar bisa dikonversi menjadi uang, bukan sekadar angka di laporan keuangan. Kalau tidak, siap-siap saja melihat neraca yang makin berat sebelah dengan angka yang terlihat bagus di atas kertas, tapi kas di rekening tetap seret.

EAST tampaknya mulai menjalankan strategi bisnis yang lebih "kreatif" dengan mengandalkan utang. Kalau dulu mereka hanya berutang kecil-kecilan ke bank sebesar Rp700 juta, tahun ini mereka memutuskan untuk menaikkan level keuangan mereka dengan meminjam Rp5,00 miliar, atau naik 614,3% dalam satu tahun! Siapa yang memberikan modal kerja ini? Tak lain dan tak bukan, $BMRI. EAST tampaknya cukup yakin bahwa mereka bisa mengelola pinjaman ini dengan baik, atau mungkin mereka hanya ingin menikmati sedikit napas tambahan di tengah revenue yang sedang stagnan.

Pinjaman ini memiliki tenor 12 bulan dan diperpanjang terakhir pada 29 November 2024, dengan bunga 9,5% per tahun. Angka ini memang tidak tergolong tinggi, tapi tetap saja, ini adalah beban yang harus dibayar, apakah hotel mereka sedang ramai tamu atau tidak. Dan seperti biasa, setiap tanggal 15 tiap bulan, EAST harus rela menyetor bunga ke Bank Mandiri. Karena kalau tidak? Ya, siap-siap kena penalti dan reputasi kredit bisa turun. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Menariknya, meskipun utang bank melonjak drastis, utang usaha justru turun dari Rp2,42 miliar menjadi Rp1,98 miliar (-18,3%). Apakah ini tanda bahwa EAST mulai lebih disiplin dalam membayar pemasok? Bisa jadi. Atau, ini justru pertanda bahwa aktivitas operasional mereka mulai menurun, sehingga mereka tidak lagi banyak bertransaksi dengan pemasok? Itu lebih mungkin. Jika memang volume bisnis sedang lesu, maka wajar saja utang usaha turun, karena mereka memang tidak membeli banyak barang atau jasa seperti tahun sebelumnya.

Kalau kita lihat lebih dalam, mayoritas utang usaha EAST berasal dari PT Sukanda Jaya, salah satu pemasok besar mereka, sementara sisanya tersebar ke beberapa pemasok dengan nilai transaksi di bawah Rp200 juta. Fakta bahwa EAST tidak memiliki satu pemasok dominan sebenarnya bagus, karena artinya mereka tidak terlalu bergantung pada satu pihak. Tapi di sisi lain, ini juga berarti mereka mungkin tidak punya daya tawar kuat dalam negosiasi pembayaran. Mungkin pemasok sudah cukup lelah dengan skema pembayaran EAST, sehingga mereka tidak mau memberi tenggat waktu yang lebih panjang lagi.

Dari segi umur utang, tampaknya EAST masih cukup rajin bayar tagihan—atau mungkin lebih tepatnya, pemasok mereka sudah tidak mau memberikan kelonggaran lebih jauh. Tidak ada utang usaha yang melebihi 90 hari, jadi sejauh ini mereka masih menjaga kedisiplinan dalam membayar kewajiban. Namun, beberapa utang masih berada dalam rentang 31-60 hari, sementara sisanya ada yang jatuh tempo dalam kurang dari 30 hari. Ini artinya pembayaran tetap berjalan, hanya saja tidak secepat yang diharapkan.

Yang menarik, utang usaha EAST tidak dikenakan jaminan maupun bunga. Ini berarti mereka tidak perlu pusing membayar lebih dari jumlah tagihan yang ada, tidak seperti utang bank mereka yang harus dibayar beserta bunga 9,5%. EAST bisa dibilang cukup pintar dalam memilih sumber pembiayaan: lebih baik utang ke pemasok dengan syarat lunak daripada ke bank yang mengenakan bunga. Tapi, kalau melihat penurunan revenue yang mencapai 3,22%, keputusan mereka untuk mengambil pinjaman bank besar bisa jadi langkah yang penuh risiko.

Lalu, bagaimana dengan kemampuan EAST membayar semua utang ini? Dengan arus kas operasi (CFO) sebesar Rp40,01 miliar, rasio CFO terhadap total liabilitas mencapai 152,67%, artinya mereka masih punya cukup uang untuk menutup semua utangnya kalau memang mau. Bahkan, utang berbunga mereka yang Rp5,60 miliar bisa dilunasi lebih dari 7 kali lipat hanya dengan arus kas operasional. Jadi, secara teknis, mereka masih aman—untuk saat ini.

Namun, ada satu hal yang tidak boleh diabaikan: utang naik, revenue turun. Dengan pendapatan yang menyusut menjadi Rp102,93 miliar, EAST harus benar-benar memastikan bahwa mereka menggunakan utang ini dengan bijak. Jika pinjaman ini digunakan untuk ekspansi atau peningkatan layanan yang bisa menghasilkan lebih banyak revenue di masa depan, oke, itu masuk akal. Tapi kalau ternyata uang ini hanya digunakan untuk menutup biaya operasional yang terus meningkat tanpa ada strategi pertumbuhan jelas, maka EAST hanya menunda masalah yang lebih besar.

EAST memang masih mampu membayar utangnya, tetapi mereka harus lebih waspada dalam mengelola modal kerja. Kalau revenue terus stagnan dan biaya makin besar, maka tidak menutup kemungkinan tahun depan kita akan melihat mereka mengambil pinjaman baru dengan alasan yang sama: "butuh modal kerja." Kalau begitu, apakah EAST sedang membangun bisnis perhotelan yang berkelanjutan atau justru membangun kebiasaan ketergantungan pada utang? Waktu yang akan menjawab.


Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy