[%DvWJ%] sebenarny tidak ada krisis covid, tp pemerintahan kita buat krisis sendiri.., memang mantep sekali oke [%cdgY%] Oke [%HnEX%]

@skydrugz27 sebenarny tidak ada krisis covid, tp pemerintahan kita buat krisis sendiri.., memang mantep sekali oke $CGAS Oke $PGAS

Kebijakan Kontradiktif: Tambah Jumlah Kementerian Sampai Gemuk Gemoy Tapi Anggaran Dipangkas

Bayangkan ada orang gemuk yang sadar berat badannya berlebihan. Alih-alih diet dan olahraga, dia malah makan lebih banyak, tapi di saat yang sama, dia juga mengurangi anggaran buat beli makanan. Hasilnya? Makin gendut tapi makin kelaparan. Ini persis seperti yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan kebijakan birokrasi terbaru: jumlah kementerian ditambah, tapi anggarannya dipotong. Jenius atau ngawur?Upgrade Skill Bakso Pak Toto https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Per 2024, Indonesia punya 48 kementerian, jauh lebih banyak dibandingkan Vietnam yang hanya 21 kementerian setelah perampingan besar-besaran. Sementara itu, Amerika Serikat hanya memiliki 15 departemen eksekutif dan mereka baik-baik saja. Bahkan, Trump dulu memangkas banyak lembaga dengan alasan birokrasi terlalu ribet dan boros. Indonesia? Justru semakin menambah jumlah kementerian seolah-olah solusi dari masalah birokrasi adalah dengan membuat lebih banyak birokrasi.

Tapi tunggu dulu, ini belum selesai. Jumlah kementerian bertambah, tapi anggarannya dipangkas! Beberapa kementerian bahkan dipotong hingga 80%, seperti Kementerian PUPR yang kehilangan dana besar untuk infrastruktur, dan Kementerian Komunikasi yang anggarannya dipereteli 58,17%. Lalu bagaimana caranya kementerian baru ini bisa berjalan kalau duitnya aja gak cukup? Apa nanti para menteri harus patungan beli ATK? Atau gaji PNS dibayar pakai exposure?

Vietnam, yang dulunya terkenal dengan birokrasi model komunis yang lambat, sekarang justru lebih efisien. Pemerintah mereka mengurangi jumlah kementerian dari 30 menjadi 21, dengan alasan simpel: terlalu banyak kementerian bikin keputusan lebih lambat, koordinasi lebih ribet, dan duit negara malah bocor ke operasional yang gak perlu. Hasilnya? Lebih sedikit kementerian, tapi lebih fokus dan efektif.

Indonesia seharusnya bisa belajar. Tapi enggak, kita malah kebalikannya: nambah kementerian, tapi duitnya dikurangi. Ini sama aja kayak memperbanyak karyawan di warteg, tapi malah mengurangi stok beras. Hasilnya? Banyak pegawai kelaparan, banyak pelanggan yang gak kebagian nasi, dan akhirnya yang untung cuma tukang jual piring karena banyak yang dilempar ke lantai saking frustasinya.

Sementara itu di Amerika, Trump dulu dikenal dengan kebijakan "cut the fat", alias memangkas lembaga pemerintah yang dianggap gak efisien. Contohnya, USAID hampir dihapus karena dianggap terlalu boros. Bahkan ada kebijakan yang membekukan perekrutan pegawai federal biar anggaran gak habis buat gaji pegawai yang kerjanya cuma tanda tangan berkas.

Indonesia? Bukannya memangkas yang gak perlu, kita malah makin banyakin pos jabatan kementerian. Mau efisiensi, tapi makin banyak meja birokrasi yang harus dilewati sebelum kebijakan bisa jalan. Hasilnya? Keputusan lambat, anggaran seret, kerja gak efektif, dan pada akhirnya rakyat yang kena getahnya. Bakso Pak Toto tidak butuh Upgrade birokrasi https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Kalau kita bicara soal banyaknya kementerian di Indonesia, sulit untuk mengabaikan faktor politik balas budi. Seperti pesta pernikahan yang mengundang terlalu banyak tamu, bukan karena mereka penting, tapi karena kalau gak diundang nanti ngambek. Begitu juga dengan kabinet, semakin banyak kementerian, semakin banyak posisi yang bisa dibagikan ke orang-orang yang "berjasa" dalam memenangkan pemilu.

Dalam politik Indonesia, setiap partai koalisi yang ikut mendukung presiden pasti berharap dapat "jatah" di kabinet. Makanya, solusi paling gampang ya perbanyak kementerian biar semua kebagian. Daripada harus memilih siapa yang masuk dan siapa yang ditinggal, lebih baik bikin kementerian baru saja. Masalah kinerja? Nanti aja dipikirin belakangan.

Di Vietnam, jumlah kementerian justru dipangkas dari 30 menjadi 21 untuk efisiensi. Mereka sadar bahwa birokrasi yang terlalu besar hanya memperlambat pengambilan keputusan. Tapi di Indonesia, birokrasi malah diperbesar. Makin banyak meja yang harus dilewati, makin banyak peraturan yang harus disetujui, makin lama kebijakan bisa jalan. Ini sama aja kayak bikin warung makan, tapi punya terlalu banyak kasir, terlalu banyak manajer, sampai akhirnya lupa siapa yang harus masak.

Jadi, kalau ditanya seberapa "aneh" kebijakan ini? Jawabannya: sangat tidak masuk akal. Pemerintah sendiri ingin efisiensi, tapi caranya malah bikin lebih banyak struktur birokrasi dan banyak kementerian. Ini sama aja kayak orang yang pengen hemat bensin, tapi malah beli mobil baru yang lebih boros. Vietnam dan AS menunjukkan bahwa kalau mau lebih efisien, bukan jumlah yang diperbanyak, tapi efektivitas yang ditingkatkan.

Tapi di Indonesia, justru yang terjadi kebalikannya. Kementerian bertambah, anggaran dipotong, tapi ekspektasi tetap tinggi. Jadi pertanyaannya, apakah ini strategi cerdas, atau cuma cara halus buat memperbanyak kursi jabatan sementara anggaran diserahkan ke program populis biar dapat simpati?

Entahlah, mungkin nanti anggaran buat kementerian akan dicari dari donasi rakyat, crowdfunding, atau malah lewat live streaming?

"Guys, donasi dulu biar kebijakan bisa jalan. Nanti kalau targetnya tercapai, menterinya bakal kasih giveaway kebijakan baru!"

Indonesia, selalu unik dalam segala hal.

Buat yang masih bertahan di pasar saham Indonesia, pertanyaan besar bukan lagi cuan atau rugi, tapi lebih ke "masih waras atau udah stres?". Dengan kondisi ekonomi yang makin gak jelas, kebijakan yang sering plot twist, dan bursa yang makin sepi kayak kuburan abis hujan, investor saham Indonesia harusnya nangis atau malah ketawa?

Kalau kita lihat IHSG, pola pergerakannya belakangan ini lebih mirip roller coaster tua: sesekali naik buat kasih harapan, tapi ujung-ujungnya turun lagi tanpa alasan yang jelas. Volume perdagangan makin kecil, likuiditas seret, dan asing malah kabur. Mau jual saham? Nunggu pembeli aja bisa lebih lama dari nunggu janji politisi ditepati. Upgrade skill bandar https://cutt.ly/ge3LaGFx

Bandingkan dengan bursa negara lain, kayak Vietnam yang pertumbuhannya masih oke atau Amerika Serikat yang meskipun kena resesi teknikal tetap jadi magnet buat dana global. Sementara Indonesia? IHSG sering jadi indeks yang naik terakhir dan turun duluan.

Di satu sisi, banyak saham di BEI yang valuasinya udah kelewat murah. PER di bawah 10? Banyak. PBV di bawah 1? Bertebaran. Tapi, masalahnya murah gak selalu berarti menarik kalau gak ada katalis yang bikin investor percaya.

Fundamental bagus pun percuma kalau market gak likuid. Kasus-kasus seperti saham blue chip yang bisa auto reject bawah (ARB) berkali-kali bikin kepercayaan investor makin anjlok. Kalau big caps aja bisa babak belur, apalagi second liner atau saham gorengan?

Investor butuh kepastian, tapi yang ada justru ketidakpastian. Dari kebijakan ekonomi yang berubah-ubah, pajak saham yang bikin malas transaksi, sampai kebijakan soal dividen yang gak jelas arahnya. Aplikasi Coretax yang bangke macet melulu. 

Bursa negara lain berlomba-lomba menarik investor dengan insentif pajak dan regulasi yang lebih ramah. Indonesia? Investor malah dihukum dengan pajak transaksi yang bikin margin makin tipis. Jadi, wajar kalau asing lebih milih taruh duit di luar daripada di sini.

Pasar saham sehat butuh emiten berkualitas dan transparansi tinggi. Tapi di Indonesia, banyak IPO baru yang modal setorannya lebih kecil dari warung nasi uduk, tapi valuasi dibikin langit-langit. Masuk pasar cuma buat exit strategy pemilik lama, bukan buat berkembang. Belum lagi kebijakan shortsell yang tidak bijak karena hanya bisa dilakukan investor gede sedangkan ritel tidak bisa. 

Sementara itu, emiten-emiten lama yang sudah stabil malah banyak yang diakuisisi diam-diam, atau bikin aksi korporasi yang merugikan minoritas. Gak heran kalau jumlah investor ritel makin berkurang. Yang tersisa? Cuma yang masih berharap keajaiban atau memang siap mental rugi.

Kalau lihat kondisi sekarang, mungkin menangis adalah reaksi yang wajar. Tapi di satu sisi, ini juga jadi ajang survival. Yang bisa adaptasi, tetap cuan. Yang gak tahan, ya angkat kaki dulu.

Sampai kapan begini? Gak ada yang tahu. Tapi satu hal yang pasti, pasar saham Indonesia akan selalu unik: penuh harapan, tapi juga penuh jebakan.

Jadi, buat investor saham Indonesia: Mau nangis? Wajar. Mau ketawa? Boleh juga. Mau lanjut investasi? Monggo. Bebas duit masing-masing. 

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/Ve3nZHZf
https://cutt.ly/ge3LaGFx

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$BBCA $BMRI $AADI