imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Second Level of Thinking: Apakah Merger Selalu Indah?

Tadi share tulisan lama Howard Marks tentang second level of thinking di External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan Kode External Community A38138 https://stockbit.com/post/13223345

Dalam dunia investasi, banyak orang cuma lihat angka di laporan keuangan dan langsung bikin kesimpulan. Pendapatan naik? Bagus! Laba melonjak? Berarti bisnis makin kuat! Tapi kalau cuma berhenti di situ, kita masih terjebak dalam first-level thinking, alias pemikiran tingkat pertama yang hanya melihat permukaan tanpa menggali lebih dalam. Second-level thinking, seperti yang diajarkan oleh Howard Marks, menuntut kita untuk bertanya lebih jauh: Apakah pertumbuhan laba ini berkelanjutan? Apakah ada risiko yang tidak terlihat? Bagaimana perusahaan mengelola utang dan arus kasnya? Ini penting karena laba yang naik belum tentu berarti perusahaan benar-benar sehat. Bisa jadi itu cuma efek sementara dari pemangkasan biaya atau keuntungan akuntansi yang nggak berulang. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Ambil contoh $EXCL. Laporan keuangannya mencatat laba naik 45,45% menjadi 1,85 Triliun, sementara pendapatan hanya naik 6,40% menjadi 34,39 Triliun. Dari luar, ini kelihatan bagus. Tapi kalau kita pakai second-level thinking, pertanyaan pertama yang muncul adalah kenapa laba naik jauh lebih besar dibanding pendapatan? Idealnya, kalau bisnis tumbuh sehat, pertumbuhan laba dan pendapatan harus sejalan. Kalau laba naik lebih cepat dari pendapatan, bisa jadi ada faktor lain yang mempengaruhi, misalnya efisiensi biaya operasional atau penurunan beban keuangan. Kita lihat lebih dalam, ternyata kontribusi laba dari entitas asosiasi naik 56% menjadi 297,83 Miliar. Ini artinya, sebagian laba EXCL bukan berasal dari bisnis inti, tapi dari investasi mereka di perusahaan lain. Kalau investasi ini stabil dan terus menghasilkan keuntungan, maka ini kabar baik. Tapi kalau ini hanya efek dari kenaikan valuasi atau keuntungan sekali jalan dari pelepasan aset, maka ke depan angkanya bisa turun.

Selain itu, ada faktor pengurangan liabilitas yang bikin laba terlihat lebih besar. Total liabilitas EXCL turun 3,03% menjadi 59,96 Triliun dari sebelumnya 61,83 Triliun. Ini seolah-olah menunjukkan pengurangan utang, tapi second-level thinking mengajarkan kita buat nggak langsung percaya angka di permukaan. Kita harus tanya lebih dalam: Apakah ini karena benar-benar membayar utang atau hanya restrukturisasi utang? Kadang, perusahaan nggak betul-betul mengurangi utangnya, tapi hanya mengganti utang jangka pendek dengan utang jangka panjang, atau menerbitkan obligasi baru untuk menunda kewajiban yang jatuh tempo. Contoh kasus yang pernah terjadi adalah PT Bakrie Telecom yang dulu agresif berekspansi dengan utang besar. Di awal, bisnis mereka terlihat berkembang pesat, tapi ternyata sebagian besar pertumbuhan itu dibiayai dengan pinjaman. Ketika akhirnya mereka nggak bisa bayar bunga dan cicilan utang, mereka harus melakukan restrukturisasi utang yang merugikan investor. Kalau EXCL nggak hati-hati mengelola utangnya, skenario serupa bisa terjadi.

Sekarang kita masuk ke bagian yang lebih krusial: apakah EXCL bisa membayar utangnya hanya dengan arus kas operasional? Salah satu indikator utama yang harus kita lihat adalah CFO (Cash Flow from Operations) atau arus kas operasional. Tahun ini, CFO EXCL naik 10,81% menjadi 17,83 Triliun, yang berarti bisnisnya menghasilkan lebih banyak uang tunai dari operasionalnya. Ini bagus, karena menunjukkan EXCL nggak sepenuhnya bergantung pada utang atau pendanaan eksternal untuk menjalankan operasinya. Tapi apakah CFO ini cukup buat membayar utang berbunga? Cara simpelnya, kita bisa cek rasio CFO terhadap utang berbunga. Kalau EXCL bisa membayar seluruh utangnya hanya dengan CFO dalam waktu kurang dari 5 tahun, maka utangnya masih dalam batas wajar. Tapi kalau butuh lebih dari 5 tahun, berarti ada risiko tekanan likuiditas di masa depan.

Selain itu, kita juga harus lihat CFI (Cash Flow from Investing), yang menunjukkan apakah EXCL masih agresif dalam investasi atau sudah mulai konservatif. CFI EXCL mencatat pengeluaran -11,37 Triliun, sedikit lebih besar dibandingkan tahun lalu yang -10,38 Triliun. Ini menunjukkan bahwa EXCL masih terus melakukan belanja modal (Capex) dalam jumlah besar, mungkin untuk memperluas jaringan atau meningkatkan infrastruktur. Ini bisa jadi langkah yang baik kalau investasi ini menghasilkan return yang bagus dan bisa meningkatkan pendapatan di masa depan. Tapi kalau investasi ini nggak menghasilkan pertumbuhan revenue yang signifikan, malah bisa jadi beban keuangan. Banyak perusahaan yang gagal karena terlalu agresif investasi tanpa mempertimbangkan apakah bisnisnya benar-benar bisa mendukung biaya ekspansi ini. Salah satu contohnya adalah WeWork, yang terus ekspansi besar-besaran tapi akhirnya gagal karena model bisnisnya nggak cukup kuat untuk menopang pertumbuhan itu. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Lalu ada CFF (Cash Flow from Financing), yang menunjukkan bagaimana EXCL mengelola pendanaan dari utang atau ekuitas. Tahun ini, CFF EXCL negatif -6,05 Triliun, yang berarti EXCL mulai mengurangi ketergantungannya pada pendanaan eksternal. Ini bisa jadi sinyal positif kalau mereka benar-benar sudah cukup mandiri dan bisa tumbuh tanpa utang baru. Tapi kalau ternyata ini karena mereka kesulitan mendapat pinjaman baru, maka ini justru bisa jadi tanda bahaya.

Dan sekarang kita sampai ke salah satu faktor terbesar yang bisa mengubah wajah EXCL ke depan: merger dengan Smartfren. Kalau pakai first-level thinking, merger ini kelihatan bagus karena dua perusahaan besar bergabung, sehingga skala bisnis makin besar. Tapi second-level thinking mengajarkan kita untuk bertanya lebih dalam: Apakah merger ini akan meningkatkan efisiensi atau malah menambah beban utang? Apakah EXCL harus mengambil utang tambahan untuk mendanai merger ini? Apakah sinergi dari merger ini cukup kuat untuk menghasilkan kas lebih besar dan menutupi tambahan beban finansial? Lihat saja contoh merger AOL dan Time Warner di tahun 2000. Semua orang berpikir merger ini bakal menciptakan sinergi luar biasa, tapi setelah digabung, ternyata justru Time Warner harus menanggung utang besar dari AOL dan kehilangan nilai perusahaan dalam beberapa tahun. Kalau EXCL nggak hati-hati dalam mengelola merger ini, mereka bisa menghadapi masalah yang sama.

Second-level thinking adalah senjata wajib kalau kita mau jadi investor yang sukses dalam jangka panjang. Kalau kita cuma melihat angka di permukaan tanpa menggali lebih dalam, kita bisa terjebak dalam jebakan pertumbuhan semu. Dalam kasus EXCL, ada beberapa poin utama yang harus diperhatikan: pertama, utang EXCL memang berkurang, tapi kita harus lihat apakah ini karena benar-benar melunasi utang atau hanya restrukturisasi. Kedua, CFO EXCL meningkat, tapi kita harus cek apakah ini cukup untuk menutup utang berbunga dalam waktu kurang dari 5 tahun. Ketiga, CFI menunjukkan EXCL masih agresif dalam belanja modal, tapi kalau investasi ini nggak menghasilkan revenue yang sepadan, bisa jadi beban keuangan. Keempat, CFF negatif menunjukkan EXCL mulai mengurangi ketergantungan pada utang baru, yang bisa jadi tanda positif kalau bisnisnya memang sudah cukup kuat. Dan kelima, merger dengan Smartfren bisa jadi faktor penentu apakah EXCL akan semakin kuat atau malah menambah beban utang yang berat.

Dari sini, kita bisa lihat bahwa melihat laporan keuangan saja tidak cukup. Kita harus menggali lebih dalam untuk memahami apakah pertumbuhan EXCL benar-benar sehat atau hanya ilusi sementara. Kalau kita hanya melihat kenaikan laba dan pendapatan tanpa memperhatikan bagaimana perusahaan mengelola utang dan arus kasnya, kita bisa terjebak dalam first-level thinking dan mengambil keputusan investasi yang kurang tepat. Karena di dunia investasi, yang sukses bukanlah yang paling cepat membeli saham, tapi yang paling dalam berpikir sebelum bertindak.

Merger selalu terdengar seperti ide bagus. Dua perusahaan bergabung, katanya supaya lebih kuat, lebih efisien, dan lebih mendominasi pasar. "Dua kepala lebih baik dari satu," katanya. Tapi dalam banyak kasus, merger justru berakhir seperti pernikahan selebriti yang penuh drama—banyak janji manis di awal, tapi akhirnya berujung perceraian dengan harta gono-gini yang bikin sakit kepala.

Lihat saja Daimler dan Chrysler, dua raksasa otomotif yang memutuskan menikah pada 1998 dengan mahar 36 miliar dolar AS. Daimler dari Jerman, dengan standar engineering tinggi dan budaya perusahaan yang kaku. Chrysler dari Amerika, lebih santai dan inovatif. Apa yang bisa salah? Oh, banyak. Daimler menganggap Chrysler terlalu ceroboh, Chrysler menganggap Daimler terlalu birokratis. Seperti pasangan yang menikah tanpa benar-benar ngobrol soal kebiasaan sehari-hari, mereka mulai bertengkar soal cara mengelola bisnis. Pada 2007, Daimler menyerah dan menjual Chrysler ke Cerberus Capital dengan harga 7,4 miliar dolar AS—lebih murah dari harga yang mereka bayar dulu. Jadi? Daimler rugi miliaran dolar hanya karena salah pilih pasangan.

Kalau itu belum cukup tragis, mari kita bicara tentang HP dan Compaq, kisah tentang dua perusahaan yang berpikir bisa bersaing dengan Dell dan IBM kalau bersatu. Tahun 2001, HP membeli Compaq dengan harga 25 miliar dolar AS. Masalahnya? Compaq itu produsen PC murah, sementara HP terkenal dengan produk premium dan printer. Gabungin dua strategi yang beda jauh? Jenius. Pelanggan bingung, eksekutif ribut sendiri, dan akhirnya HP malah kehilangan fokus di bisnis utama mereka. Hasilnya? Pada 2011, HP keluar dari bisnis PC karena mereka sadar sudah salah langkah. Dua perusahaan yang tadinya sehat, malah jadi lebih lemah gara-gara merger bodoh. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Tapi kalau kita bicara soal merger gagal, sulit untuk mengalahkan eBay dan Skype di tahun 2005. eBay, platform jual-beli online, berpikir akan lebih baik kalau pembeli dan penjual bisa ngobrol langsung lewat Skype. Sounds smart? Tidak juga. Masalahnya, siapa yang butuh video call buat beli sepatu bekas? Pembeli eBay nggak peduli sama Skype, mereka cuma mau barang murah dan transaksi cepat. Akhirnya, setelah menyadari bahwa Skype sama sekali nggak relevan buat bisnis mereka, eBay menjual 70% saham Skype dengan harga yang lebih murah dari yang mereka beli. Beberapa tahun kemudian, Microsoft datang, membeli Skype, dan sukses mengintegrasikannya ke dalam ekosistem mereka. Jadi? eBay membuang miliaran dolar hanya untuk jadi mak comblang gratis buat Microsoft.

Kalau itu belum cukup bikin geleng-geleng kepala, mari kita bahas Sprint dan Nextel, salah satu merger paling bodoh dalam sejarah telekomunikasi. Sprint dan Nextel merger tahun 2005 dengan nilai 35 miliar dolar AS, berharap bisa menjadi operator seluler raksasa di Amerika Serikat. Masalahnya? Sprint pakai jaringan CDMA, Nextel pakai jaringan iDEN. Seperti pasangan yang punya bahasa berbeda dan nggak mau belajar bahasa satu sama lain. Sprint harus mengeluarkan miliaran dolar hanya untuk mencoba mengintegrasikan jaringan mereka, dan tetap gagal. Pelanggan Nextel kabur, Sprint rugi besar, dan pada 2013 mereka menyerah dengan menutup layanan Nextel sepenuhnya. Bayangkan beli rumah mewah tapi harus bongkar total karena semua pipa dan kabel listriknya salah pasang.

Kalau masih belum cukup tragis, mari kita bicara tentang Quaker Oats dan Snapple. Quaker Oats, perusahaan makanan sehat, melihat Snapple—merek minuman ringan yang sedang naik daun—dan berpikir, "Kalau kami sukses dengan Gatorade, pasti bisa sukses dengan Snapple juga!" Dengan keyakinan tinggi, mereka membeli Snapple dengan harga 1,7 miliar dolar AS pada 1994. Sayangnya, mereka lupa satu hal: Snapple bukan Gatorade. Snapple dijual lewat toko independen dan distributor kecil, sedangkan Gatorade dijual lewat supermarket besar. Quaker mencoba memasarkan Snapple dengan cara yang sama seperti Gatorade, dan hasilnya? Bencana. Distribusi rusak, pelanggan kecewa, dan hanya dua tahun kemudian, mereka terpaksa menjual Snapple dengan harga 300 juta dolar AS—hanya seperlima dari harga belinya. Bayangkan beli mobil Ferrari dengan harga mahal, lalu jual lagi hanya dapat uang buat beli motor bebek.

Sekarang, mari kita bicara tentang EXCL dan Smartfren. Apakah merger ini akan menjadi contoh sukses atau malah masuk daftar kegagalan spektakuler seperti yang sudah kita bahas tadi? Kalau kita pakai first-level thinking, merger ini kelihatan bagus—dua operator bergabung, skala bisnis makin besar, jaringan makin luas. Tapi apakah benar begitu? Kita harus tanya lebih dalam: Apakah EXCL harus menanggung utang Smartfren? Seberapa besar biaya integrasi pasca-merger? Apakah pelanggan Smartfren akan tetap setia setelah merger? Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Sprint dan Nextel gagal karena teknologi mereka tidak kompatibel. Apakah EXCL dan Smartfren memiliki jaringan yang bisa benar-benar diintegrasikan tanpa masalah besar? HP dan Compaq gagal karena masuk ke segmen yang tidak menguntungkan. Apakah EXCL benar-benar mendapatkan sesuatu yang bernilai dari Smartfren, atau hanya memperbesar skala tanpa nilai tambah yang nyata? Daimler dan Chrysler gagal karena perbedaan budaya perusahaan. Apakah EXCL dan Smartfren punya pendekatan yang selaras dalam manajemen dan strategi bisnis? eBay dan Skype gagal karena tidak ada sinergi bisnis yang jelas. Apakah EXCL dan Smartfren akan menghasilkan lebih banyak revenue bersama dibandingkan jika beroperasi sendiri-sendiri?

Sejarah sudah banyak memberi pelajaran. Merger bukan soal menambahkan angka di laporan keuangan, tapi soal apakah dua perusahaan benar-benar bisa berjalan bersama tanpa saling menjatuhkan. Kalau EXCL tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jelas, maka merger dengan Smartfren bisa berakhir seperti AOL dan Time Warner—salah satu blunder bisnis terbesar sepanjang masa.

Banyak merger yang gagal dengan spektakuler, tapi ada juga yang sukses luar biasa. Kadang dua perusahaan memang ditakdirkan untuk bersama, bukan cuma sekadar "coba-coba" lalu berujung cerai dengan harta gono-gini. Merger yang sukses bukan cuma soal gabungin angka revenue di laporan keuangan, tapi soal apakah kedua perusahaan benar-benar bisa saling melengkapi dan menciptakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar jumlah keduanya.

Lihat saja Disney & Pixar (2006), merger yang membuktikan kalau kombinasi yang tepat bisa menciptakan mahakarya. Disney membeli Pixar dengan harga 7,4 miliar dolar AS, dan pada saat itu banyak yang skeptis. Kenapa? Karena Pixar sudah sukses sendiri dengan film-film seperti Toy Story dan Finding Nemo, sementara Disney, meskipun masih kuat, sedang mengalami penurunan dalam kreativitas film animasi mereka. Apa yang bisa Pixar dapat dari Disney? Apa yang bisa Disney dapat dari Pixar? Jawabannya: Sinergi sempurna. Upgrade skill https://cutt.ly/ge3LaGFx

Disney punya jaringan distribusi dan pemasaran global yang luar biasa, sementara Pixar punya tim kreatif terbaik di dunia animasi. Disney tahu satu hal yang sangat penting: Jangan ganggu Pixar. Mereka membiarkan Pixar tetap beroperasi secara independen, tetap menjaga budaya kreatif mereka, dan hasilnya? Setelah merger, Pixar merilis film-film legendaris seperti Up, Inside Out, Coco, dan Toy Story 3, yang semuanya sukses besar di box office dan bahkan memenangkan Oscar. Disney tidak hanya menghidupkan kembali kejayaan animasi mereka, tapi juga menciptakan miliaran dolar dari satu keputusan bisnis yang brilian.

Kalau itu masih belum cukup bikin EXCL dan Smartfren berpikir, mari kita lihat Facebook & Instagram (2012). Pada saat itu, Facebook membeli Instagram hanya dengan 1 miliar dolar AS. Kedengarannya murah sekarang, tapi pada saat itu banyak yang bilang Zuckerberg sudah kehilangan akal sehatnya. Instagram hanya punya 13 karyawan, tanpa revenue yang jelas, dan hanya aplikasi berbagi foto. Kenapa Facebook mau bayar semahal itu buat sesuatu yang belum terbukti? Jawabannya: Karena Mark Zuckerberg bisa melihat masa depan.

Facebook tahu bahwa Instagram bisa menjadi ancaman jika dibiarkan tumbuh sendiri. Mereka tidak ingin mengulang kesalahan yang dilakukan oleh banyak perusahaan besar yang meremehkan startup kecil. Jadi, apa yang dilakukan Facebook? Mereka tidak mengutak-atik Instagram. Instagram tetap beroperasi secara independen, tapi dengan dukungan infrastruktur, teknologi, dan jaringan iklan dari Facebook. Hasilnya? Sekarang Instagram bernilai lebih dari 100 miliar dolar AS dan menjadi salah satu aplikasi paling dominan di dunia media sosial. Bayangkan investasi 1 miliar dolar yang sekarang bernilai 100 kali lipat. Jenius.

Tapi kalau kita bicara tentang merger yang mengubah industri, Google & Android (2005) harus masuk daftar. Google membeli Android dengan harga hanya 50 juta dolar AS. Yes, 50 juta, lebih murah dari banyak rumah mewah di Beverly Hills. Pada saat itu, Android hanya perusahaan kecil yang sedang mengembangkan sistem operasi open-source untuk ponsel. Banyak yang mengira Google hanya ingin main-main di dunia mobile.

Tapi apa yang terjadi? Google menggunakan Android untuk membangun ekosistem yang sekarang menguasai lebih dari 70% pasar smartphone global. Dengan model open-source, mereka membiarkan banyak produsen ponsel seperti Samsung, Xiaomi, dan OnePlus menggunakan sistem operasi mereka, sekaligus mendorong pengguna masuk ke ekosistem layanan Google seperti Search, Maps, dan YouTube. Sekarang, hampir semua orang yang pakai ponsel Android secara tidak sadar menggunakan layanan Google setiap hari.

Dan bagaimana kalau kita bicara merger yang menyelamatkan perusahaan dari kehancuran? Amazon & Whole Foods (2017) adalah contoh sempurna. Saat itu, Whole Foods, jaringan supermarket premium di Amerika Serikat, mulai kehilangan daya saing karena harga produk mereka lebih mahal dibandingkan pesaing seperti Walmart dan Target. Amazon, yang ingin masuk ke bisnis ritel fisik, melihat ini sebagai peluang emas. Jadi, mereka membeli Whole Foods dengan harga 13,7 miliar dolar AS. Upgrade skill https://cutt.ly/Ve3nZHZf

Orang-orang awalnya bingung, kenapa Amazon, raja e-commerce, mau beli supermarket? Jawabannya sederhana: Distribusi dan data. Dengan mengakuisisi Whole Foods, Amazon mendapatkan ratusan toko fisik yang bisa mereka gunakan untuk logistik pengiriman bahan makanan dan produk lainnya. Selain itu, mereka mendapatkan akses ke data belanja pelanggan yang bisa digunakan untuk menyempurnakan algoritma rekomendasi produk mereka. Hasilnya? Whole Foods tetap mempertahankan identitas premium mereka, tapi dengan harga yang lebih kompetitif berkat strategi efisiensi Amazon. Dan Amazon? Mereka sekarang punya jaringan ritel fisik yang bisa diintegrasikan dengan platform e-commerce mereka. Win-win.

Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil EXCL dan Smartfren dari semua merger sukses ini? Pertama, jangan hancurkan budaya yang sudah sukses. Disney tidak menghancurkan Pixar, Facebook tidak merombak Instagram, dan Google membiarkan Android berkembang dengan caranya sendiri. Kedua, merger harus punya tujuan yang jelas. Amazon membeli Whole Foods bukan untuk sekadar menambah revenue, tapi untuk membangun ekosistem yang lebih besar. Ketiga, jangan hanya melihat keuntungan jangka pendek. Zuckerberg melihat Instagram sebagai investasi jangka panjang, bukan hanya untuk mengalahkan pesaing saat itu.

Kalau EXCL dan Smartfren hanya bergabung demi skala yang lebih besar tanpa ada sinergi nyata, maka ini hanya akan menjadi merger yang gagal seperti Sprint dan Nextel. Tapi kalau mereka benar-benar bisa menciptakan sesuatu yang lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya, maka ini bisa menjadi salah satu merger paling sukses di industri telekomunikasi Indonesia. Pilihannya ada di tangan mereka: ingin jadi Disney & Pixar, atau ingin jadi Daimler & Chrysler?

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Dan jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$FREN $TLKM

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy