imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Baru baru ini, Grup Lippo yang terdiri dari beberapa entitas, yaitu Lenox Pasifik (LPPS), Prima Cakrawala Sentosa, Multipolar (MLPL), Star Pacific (LPLI), Putera Mulia Indonesia, Ciptadana dan Inti Anugerah Pratama, secara bersama (total 40%) melakukan penjualan saham saham mereka di Bank Nobu (NOBU) kepada Hanhwa Life, perusahaan asuransi asal Korea Selatan.

Tidak semuanya lepas 100% saham, dimana hanya Inti Anugerah Pratama, LPPS dan Ciptadana yang memutuskan menjual keseluruhan sahamnya. Di luar nama nama ini, Lippo masih memegang saham melalui sejumlah entitas lainnya, seperti Matahari Department Store (LPPF). Lippo dan Hanhwa bukan pertama kali bertemu. Sebelumnya pada 2022, Inti Anugerah Pratama menjual keseluruhan kepemilikannya di Lippo General Insurance (LPGI) kepada Hanhwa.

Dalam beberapa tahun terakhir, Lippo banyak melakukan aksi korporasi penjualan bisnis. Misalnya awal tahun ini, mereka menjual grup media B-Universe, yang dipegang First Media Tbk (KBLV) sepenuhnya kepada Enggartiasto Lukita, mantan Menteri Perdagangan. Kemudian, mereka juga menjual Siloam Hospital (SILO) kepada investor CVC. Yang lain, Linknet (LINK) yang membawahi brand First Media, dijual kepada grup Axiata (yang membawahi XL Axiata). Bahkan, sempat ada rencana menjual grup Ciptadana yang teraffiliasi dengan Lippo.

Apa ada dibalik kejadian ini? Mari kita tebak tebakan ~

======

Beberapa tahun ini, grup Lippo tidak habis habisnya bikin geger.

Sebelum pandemi, mereka mencipta Meikarta, proyek kota mandiri yang dikesankan futuristik dibandingkan kota kota serupa. Proyek ini dikembangkan anak usaha Lippo Cikarang (LPCK), karena lokasi Meikarta sendiri ada di dekat wilayah proyek LPCK dan kawasan industri Delta Silicon yang juga dikembangkan LPCK. Namun cita cita hanya jadi cita cita. Masalah hukum terkait tanah di sekitaran Meikarta menyeret nama pejabat Lippo menjadi tersangka di KPK. Sementara itu, proyek ini kemudian terhambat karena satu dan lain hal, termasuk tentunya permodalan. Akhirnya, Lippo Karawaci (LPKR) dan LPCK berkorban banyak dimana pada 201x mereka menderita kerugian terbesar dalam beberapa tahun terakhir, hanya karena pencadangan “investasi” sepenuhnya di pengembang Meikarta.

Seakan tak putus harapan, Lippo pun tetap berupaya mengembangkan Meikarta. Selain masalah duit, dimana ada duit yang terlanjur mengendap disana - dalam bentuk transaksi berelasi, karena Meikarta dijadikan entitas asosiasi akibat adanya investor eksternal (yang anehnya manajemen Lippo bilang ngga tahu ini siapa pada saat rapat di DPR?), tekanan dari pembeli unit dari beberapa bagian Meikarta pun kencang bersuara. Bahkan, mereka pun menggeruduk DPR untuk meminta haknya, agar segera diselesaikan dan serah terima.

Saya ingat betul ketika tim manajemen dari Meikarta dan Lippo hadir di DPR, disaksikan publik lewat live streaming, dan mereka dihujani tekanan maupun kemarahan dari anggota DPR saat itu. Bahkan, nama James Riady pun beberapa kali tersebut dalam rapat DPR itu. Setelah itu, anggota DPR dari komisi xx mendatangi langsung proyek Meikarta yang sebagian sudah jadi, dan ada juga yang mangkrak, dimana mereka mengatakan bahwa Lippo sudah memberi kepastian untuk menyelesaikan proyek ini. Nah, kemudian muncul liputan liputan serah terima beberapa unit apartemen yang jadi bagian Meikarta, saat itu kalau ngga salah di Beritasatu - waktu masih dipegang Lippo sepenuhnya.

Selesai? Belum. LPCK pada Februari 2025 ini berencana menggelar rights issue untuk menambah modal penyelesaian Meikarta. Modal yang digalang mencapai Rp 1,48 Triliun, dimana Kemuning Satiatama, pengendali LPCK langsung (anak usaha LPKR) akan mengambil keseluruhan hak mereka dalam penerbitan saham baru ini. Hal ini dilakukan setelah laporan keuangan kuartal 3 tahun lalu, LPCK menghasilkan kinerja negatif dengan rugi bersih Rp 1,6 Triliun, yang merupakan kerugian terbesar selain kerugian pada 2020 lalu. Kerugian ini disebabkan karena penilaian ulang investasi mereka di Meikarta, melalui Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA). Jadi, pada 2018 lalu sempat dilepas ke investor yang menggunakan nama “Bowsprit Township Development”, yang merupakan DINFRA yang dibentuk Bowsprit Asset Management, anak usaha LPKR, dimana LPCK juga menjadi satu investor dari dana ini.

Jadi aneh ketika manajemen Meikarta dan Lippo mengaku tidak tahu siapa investor dari Meikarta, dengan fakta ini, dimana duitnya muter muter di grup ini.

Situasi Meikarta inilah yang kemudian disebut sebut sejumlah pelaku pasar sebagai sebab dari sejumlah aksi korporasi yang atraktif dari Lippo.

Dari level LPKR, mereka memutuskan menjual sebagian kecil kepemilikan (alia investasi) di LMIRT (Lippo Malls Indonesia Retail Trust) kepada perusahaan Jepang, Century Tokyo pada tahun 2021. Tahun yang sama, mereka melakukan rights issue untuk memberikan hak konversi saham kepada Anderson Investment, perusahaan asal Singapura, yang telah berinvestasi di MPPA sejak 2013. Sepanjang setahunan, Anderson kemudian terus menerus menjual sahamnya di MPPA, baik ketika harganya tinggi karena sentimen investasi GOTO, maupun ketika harganya turun. Pada tahun itu juga, GOTO membeli sekitar 7% saham MPPA dari MLPL. Meski demikian, tahun 2023 MLPL kembali menambah modalnya di MPPA melalui mekanisme rights issue.

Yang lain, tahun 2022 menjadi tahun kelabu untuk grup media Lippo. PHK besar di Beritasatu menjadi awal mula. Beberapa bulan tanpa kepastian, Oktober 2022 mereka mulai menjalin kerja sama dengan Enggartiasto Lukita, mantan Menteri Perdagangan. Disini disebut grup media Lippo dibeli oleh pak Enggar, meski kenyataannya entitas yang membawahi Beritasatu dan sejumlah media lainnya ini masih ada di bawah KBLV. Sampai kemudian akhir 2024 lalu, Lippo memutuskan melepas seluruh bisnis medianya kepada pak Enggar, atau Bersatu Universe Digital Indonesia (B-Universe).

Yang cukup menghebohkan pelaku pasar, adalah apa yang terjadi di LINK dan NOBU. Sebelum penjualan saham Beritasatu dkk di 2024, pada tahun 2022 KBLV sudah menjual kepemilikannya - bersama investor strategisnya, CVC - di LINK kepada grup Axiata (induknya XL). Penjualan ini ceritanya ingin memfokuskan bisnisnya kembali ke bidang media, setelah beberapa tahun KBLV “kebakaran” karena kinerja bisnis yang bersinggungan dengan telekomunikasi, seperti Bolt 4G dan Big TV yang babak belur (bahkan bangkrut), serta penurunan kinerja Beritasatu dkk yang membuat mereka melakukan aksi korporasi sebelumnya.

Dari NOBU, mereka dua kali menggelar rights issue yang diikuti oleh beberapa entitas Lippo, yaitu di tahun 2021 dan 2023, berkaitan dengan kewajiban penambahan modal inti bank 3 Triliun. Setelah aksi korporasi tersebut, sempat ada isu beredar tentang rencana merger dan diskusi dengan Bank MNC Internasional (BABP). Isu ini cukup lekat beberapa bulan, termasuk ketika MNC Land (KPIG) masuk ke NOBU per Mei 2024 lalu. Awal tahun 2025 ini, eh jadinya malah dijual ke Hanhwa Life. Ini pertemuan kedua Lippo dan Hanhwa, setelah Lippo menjual LPGI kepada Hanhwa di 2022.

Pada 2024, LPKR memutuskan menjual kepemilikannya di Siloam Hospital (SILO) kepada investor CVC. Awalnya sekitar 10%, kemudian ditambah 45% sehingga menjadi 55% kepemilikan saham. Mereka kemudian menambah kepemilikan 8% pada Desember 2024, dengan penjualan saham investor eksternal, Prime Health, yang telah berinvestasi di SILO pada 2016.

Memang, Meikarta bisa jadi satu alasan utama. Meski rencana Meikarta bisa saja ngga sebesar yang sudah direncanakan sebelumnya, namun tetap aja perlu modal kan? Namun saya melihat ada alasan lain yang mungkin mendasari manuver manuver ini.

Alasan pertama, berkaitan dengan strategi Lippo untuk fokus di investasi sektor teknologi (terutama melalui MLPL). John Riady, salah satu penerus dan generasi ketiga Lippo menyebut ini beberapa tahun lalu, dimana langkah ini sebagai satu strategi, selain fokus juga pada sektor properti dan kesehatan. Bisnis media, meski relate dengan teknologi, namun memiliki peta yang berbeda dengan sektor ini. Meski bisnis kesehatan menjadi fokus, namun bisnis ini tentu lebih menarik jika dikembangkan pihak lain yang tertarik dengan hal itu. Toh masih ada opsi buyback jika CVC berencana menjual satu waktu. Sementara bisnis keuangan, meski merupakan cikal bakal grup Lippo, tentu situasi hari hari ini menjadi berbeda dibanding sebelumnya. Persaingan menjadi lebih kuat, dan ini membutuhkan permodalan yang kuat.

Alasan kedua, underperform sejumlah bisnis Lippo. Sama seperti kebanyakan konglomerat, pasti ada aja bisnis yang underperform. Namun secara kebetulan, sebagian bisnis Lippo cenderung underperform atau paling minimal menghadapi tantangan terutama 5-6 tahun terakhir. LPPF menghadapi persaingan dengan e-commerce, MLPL diperberat oleh kinerja MPPA yang masih merugi tipis tipis, Beritasatu/BTV (sebelum dijual) menurun kinerjanya, LPKR-LPCK diperberat Meikarta, MLPL sendiri menghadapi tantangan portfolio Investasi mereka di teknologi yang masih menghadapi tantangan sulit. Artinya, konsentrasi perlu dilakukan untuk menghadapi situasi ini, terutama buat LPKR dan LPCK yang memiliki beban memperbaiki kinerja dan citra sekaligus.

Alasan terakhir, simpelnya ya memang ini strategis aja. Bagi entitas “mati” atau induk pengendali seperti LPLI, LPIN dan LPPS, strateginya ya menumpuk aset. Bagi entitas yang masih aktif, tentu ini merupakan perubahan strategi bisnis. Tapi buat entitas “hampir mati” seperti KBLV, tentu ini jadi pertanyaan - mau ngapain selanjutnya? KBLV tidak memiliki bisnis yang kuat setelah penyelesaian bisnis BTV/Beritasatu dkk.

Apapun manuvernya, tentu menarik melihat apa yang akan dilakukan grup yang punya track record “unik” di lantai bursa ini. Apakah merupakan tanda kebangkitan, ataukah sebaliknya?

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$NOBU $BABP $LPKR

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy