Mohon izin untuk berbagi sedikit cerita mengenai pengalaman dalam berinvestasi di pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI). Saya sudah mulai berinvestasi di BEI sejak tahun 2008, menggunakan hasil tabungan dari bekerja dan berbisnis selama bertahun2 (dari tahun 1991). Saat itu saya melihat potensi untuk mendapatkan kebebasan finansial dengan jalur ‘membeli’ (saham) perusahaan2 publik yang tercatat sebagai emiten (perusahaan terbuka) di BEI. Hal ini saya dapatkan dari inspirasi dengan membaca berbagai buku, mengikuti berbagai seminar, dan berbincang dengan berbagai tokoh panutan.
Di tahun 2008 itu saya memiliki dana tabungan sekitar 200 juta, yang pada akhirnya dibelikan saham beberapa emiten, dengan harapan perusahaan2 yang dibeli sahamnya dapat terus meningkat kinerjanya (operasional dan finansial), dan harga sahamnya naik serta perusahaan membagikan hasil usaha setiap tahun (bisa sekali ataupun lebih). Saya berharap memperoleh keuntungan dari _capital gain_ (peningkatan harga saham) dan _dividend_ (pembagian keuntungan usaha). Hanya saja, saya sendiri tidak begitu paham bagaimana memilih saham yang baik saat itu sehingga terkesan asal memilih saja berdasarkan diskusi dengan orang di perusahaan sekuritas tempat saya buka akun. Pada tahun 2008 itu saya masih fokus sebagai seorang pengusaha, yang perusahaannya sedang berkembang sejak didirikan tahun 2003, dan juga seorang pendidik yang mengajar di berbagai perguruan tinggi sehingga tidak terlalu bisa fokus belajar bagaimana berinvestasi yang baik.
Di luar perkiraan, pada tahun 2009, saya di berikan kepercayaan oleh pemerintah RI untuk memimpin BUMN sehingga perhatian beralih dari seorang pengusaha dan investor pemula menjadi seorang pimpinan BUMN. Tahun2 berikutnya saya tidak memperhatikan lagi saham2 yang dibeli tahun 2008 itu, dan saat ini nilai saham yang dibeli sekitar 200 juta tadi sudah turun lebih dari 95%, alias nilai sisanya tinggal dibawah 10 juta. Bukan saja saya tidak perhatikan kinerja saham2 tersebut, tetapi juga tidak sampai hati menjualnya karena sudah tidak ada nilai lagi. Hingga tahun 2025 ini, saya masih memiliki saham2 tersebut.
Pengalaman ini membuat saya tidak terlalu tertarik lagi memperhatikan dan berinvestasi di dunia saham. Saya fokus saja pada karir sebagai pimpinan BUMN hingga tahun 2012 (pensiun lebih awal dan meneruskan sekolah ke salah satu perguruan tinggi terbaik dunia), dan kemudian kembali sebagai pengusaha dan pendidik setelah itu. Pada tahun 2014, saya diberikan amanah baru sebagai seorang pimpinan perguruan tinggi (PT) bisnis ternama di Indonesia. Di PTS inilah saya mendapatkan kesempatan bertemu Pak Lo Kheng Hong, seorang investor saham sukses yang dijuluki Warren Buffett nya Indonesia. Kebetulan di tahun 2016, Pak Lo pernah berbagi pengalaman dalam kuliah umum di kampus yang saya pimpin. Saya sangat kagum dengan cerita beliau, dimana beliau sudah berinvestasi berpuluh tahun mulai dengan nilai kecil di tahun 1989, karena memang berasal dari tabungan beliau dari bekerja sebagai pegawai tata usaha di Bank swasta sejak 1987. Di tahun 2016 itu, Pak Lo bercerita bahwa nilai saham yang beliau miliki saat itu sudah mencapai lebih dari 2 trilyun rupiah. Hal ini beliau dapat lakukan karena fokus penuh pada dunia saham sejak pensiun dini sebagai pegawai bank pada tahun 1996, di usia 37 tahun.
Cerita Pak Lo tersebut membuat saya kembali tertarik pada investasi di dunia saham. Akhirnya saya bersemangat untuk mulai membeli kembali saham beberapa emiten, dan menaruh hasil tabungan saya sebesar hampir 300 juta rupiah untuk berinvestasi di BEI di tahun 2016 tersebut. Naasnya, pada tahun 2020 merebak pandemi COVID-2019. IHSG tumbang, dan harga saham berjatuhan. Nilai saham saya turun sekitar 60%, dan harus kembali mengalami _floating loss_ (kerugian yang belum terealisasi). Saya pun tertegun, tapi penasaran karena masih terinspirasi dengan cerita Pak Lo. Saya beranggapan bahwa ini adalah kesempatan langka karena harga saham saat itu tidak merefleksikan nilai perusahaan yang sebenarnya, alias sangat sangat murah.
Seiring dengan pembatasan mobilitas, saya pun jadi banyak waktu luang di rumah. Waktu tersebut akhirnya saya gunakan untuk banyak belajar tentang investasi di dunia saham. Kebetulan perusahaan sekuritas dimana saya menaruh investasi mengirimkan satu file excel yang memberikan analisa terhadap emiten2 yang _undervalue_ dimana tingkat PER dan PBV nya rendah. Akhirnya saya gunakan excel worksheet itu untuk kemudian saya analisa lebih lanjut dalam menentukan emiten2 mana yang kiranya baik untuk dibeli. Tidak terhitung berapa ribu jam yang sudah saya gunakan untuk dapat meningkatkan pengetahuan saya di dunia saham sejak tahun 2020 itu. Hampir setiap hari saya belajar mengenai saham agar bisa lebih baik bertindak sebagai seorang investor.
Sejalan dengan pengetahuan yang meningkat, saya jadi lebih berani untuk berinvestasi. Saya kumpulkan uang2 tabungan selama hampir 30 tahun bekerja untuk diinvestasikan dengan membeli saham emiten2 di BEI. Bahkan uang jaminan hari tua di BPJS Ketenagakerjaan pun saya cairkan untuk diinvestasikan. Berbagai investasi di reksadana pun saya jual untuk dikumpulkan dalam bentuk uang tunai. Saya mulai mencicil membeli saham2 yang saya pelajari punya prospek untuk meningkat kinerjanya (terutama setelah terhantam kondisi pandemi COVID-19) dengan memasukkan tabungan dengan nilai puluhan juta terlebih dahulu, kemudian ratusan juta, hingga dalam 5 tahun terakhir ini tabungan yang saya gunakan untuk membeli saham2 emiten BEI mencapai lebih dari 4,3 milyar rupiah. Tentu uang tersebut berasal dari dana tabungan yang tidak digunakan untuk keperluan sehari2 maupun keperluan mendesak, jadi saya siap dengan risiko yang harus dihadapi. Keperluan sehari2 maupun untuk pendidikan 3 anak dan saya sendiri, sudah disisihkan agar bisa lanjut. Alhamdulillah. Anak2 saya sudah selesai dengan masing2 mendapatkan gelar dari Indonesia dan gelar dari luar negeri (Perancis untuk anak pertama, dan Australia untuk anak kedua dan ketiga). Saya pun masih terus menyelesaikan pendidikan S3 di salah satu universitas terbaik di Indonesia.
Dalam waktu yang relatif singkat, seiring dengan membaiknya situasi COVID-19, saham2 yang saya beli dengan ‘murah’ tersebut naik tajam. Saya ingat dengan kata2 Pak Lo Kheng Hong untuk ‘membeli saham Mercy dengan harga Bajaj’. Dan itulah yang saya coba lakukan. Cari Saham murah untuk dibeli. Menurut Pak Lo ada 6 kriteria dalam membeli saham (sumber: https://cutt.ly/Te7ZKs3P):
1. Yang perlu diperhatikan adalah kejujuran pengendali, direksi, dan komisaris perusahaan. “Jika mereka tidak jujur, saya tidak akan membeli saham perusahaan tersebut".
2. Bidang usaha perusahaan. Menurutnya, tidak semua bidang usaha layak untuk diinvestasikan. Ia hanya akan membeli saham perusahaan yang memiliki bidang usaha yang kuat dan prospektif.
3. Laba perusahaan. Kriteria ini menjadi faktor kunci dalam memilih saham. “Saya tidak mau membeli saham perusahaan yang labanya kecil. Saya hanya membeli saham perusahaan yang labanya besar,” ujarnya.
4. Pertumbuhan bisnis. Menurut Pak Lo, penting untuk melihat apakah laba perusahaan yang diinvestasikan itu bertumbuh atau tidak.
5. Valuasi saham juga harus diperhatikan. Ia menilai perusahana yang bagus sekalipun kalau sudah ketinggian valuasinya tidak menarik untuk dibeli. Pak Lo mengaku hanya membeli perusahaan bagus di harga wajar atau diskon.
6. Dividend yield. Ia melihat emiten dengan dividend yield yang tinggi sangat menarik karena memberikan keuntungan pasif bagi investor.
Perburuan saya untuk mendapatkan saham2 murah di berbagai sektor (pertambangan, energi, investasi, teknologi, kontstruksi, properti, infrastruktur telekomunikasi, dll) dengan kriteria diatas (disesuaikan dengan minat investasi saya) membuahkan hasil. Diawal saya membeli saham banyak emiten (lebih dari 30), dan tentu ada yang untung ada yang rugi. Setelah saham ‘Mercy’ yang saya beli dengan harga ‘Bajaj’ itu harganya naik mendekati atau bahkan melebihi nilai yang ‘wajar’, saya jual. Saya mendapatkan keuntungan lebih dari 100% dari masing2 saham yang dijual tersebut dalam waktu tidak terlalu lama (kurang dari 5 tahun). Terhitung saya mendapatkan bagger dari 11 emiten saham yang mana saya berinvestasi. Ini merupakan pengalaman yang sebelumnya tidak saya alami karena selama kurun waktu 2008-2020 saya membeli saham, saya tidak pernah sekalipun jual karena ingin berinvestasi jangka panjang. Saya juga masih menyimpan beberapa saham yang saat ini floating loss nya masih tinggi.
Salah satu saham yang memberikan saya keuntungan lumayan besar adalah saham PT. Rukun Rahardja Tbk ($RAJA). Saya mulai mencicilnya tahun 2020 dg harga awal 93 rupiah per lembar saham. Seiring dengan kenaikan kinerjanya dan membaiknya pasar saham, harga saham ini pun meningkat, dan saya terus mencicil hingga rata2 pembelian di harga 172 rupiah per lembar. Di tahun 2024, sayapun mulai menjual karena harganya sudah meningkat menjadi 600, 700, 1000 kemudian sampai ke 1.700. Akhirnya nilai investasi sebesar 770 juta rupiah yang saya tanamkan, terjual 5,2 milyar rupiah lebih, atau untung lebih dari 4,4 milyar dari saham di satu emiten ini saja. Hal ini karena saya beli di rata2 172 rupiah, dan jual di rata2 1.164 per lembar saham (naik 570% lebih) dalam 4 tahun. Yang menariknya, harga saham RAJA saat menulis ini melambung menjadi lebih dari 4.000 rupiah per lembar saham. Jadi kalau saja saya sabar menunggu, bisa naik lagi hampir 4 kali lipat.
Namun saya tentu tidak menyesali peluang yang hilang tadi. Hasil dari keuntungan di saham RAJA saya belikan saham di berbagai emiten. Salah satu emiten yang saya pelajari adalah PT. Delta Dunia Makmur Tbk ($DOID), dan akhirnya mulai mencicil dibawah harga 100 per lembar saham, dan akhirnya investasi total sekitar 2,2 milyar dengan harga rata2 saham 328 per lembar. Setelah 4 tahun saya pun mulai menjual dan sudah mendapatkan lebih dari 4 milyar dari hasil penjualan DOID, dan saat ini menyisakan sedikit lagi saham ini. Peningkatan dari saham DOID ini mencapai sekitar 118%.
Di tahun 2023, saya pun mempelajari dan melirik saham PT. Surge Sinergi Digital Tbk ($WIFI). Saya mulai mencicil beli pada saat harganya masih dibawah 200 rupiah per lembar saham. Saya lumayan percaya bahwa perusahaan ini dapat berkembang dengan baik sesuai dengan kriteria Pak Lo Kheng Hong. Sayapun mengalihkan sebagian keuntungan dari dua saham diatas (RAJA dan DOID) hingga akhirnya memiliki lebih dari 1% dari saham yang beredar. Saya menginvestasikan lebih dari 6 milyar rupiah untuk memiliki sejumlah saham tersebut, dengan rata2 pembelian di 240 rupiah per lembar.
Saya sangat percaya pada potensi saham WIFI ini, sehingga berani untuk menaruh porsi signifikan dari portofolio saham di emiten ini. Di luar dugaan, tanggal 13 Januari 2025 keluar berita bahwa tiga tokoh nasional: Pak Hashim Djojohadikusumo, Pak Arwin Rasyid, dan Pak Fadel Muhammad, berinvestasi di emiten WIFI ini melalui perusahaannya masing-masing. Sontak harga sahamnya yang di hari Senin itu masih 394 rupiah per lembar saham, pada penutupan bursa saham di hari Jum’at harganya sudah melonjak menjadi 920 rupiah per lembar saham. WIFI meningkat 133,5% dalam waktu 5 hari kerja. Bagi saya ini hal yang signifikan dan belum pernah saya alami sebelumnya, karena dalam waktu 5 hari itu kenaikan saham saya di WIFI mencapai lebih dari 13 milyar rupiah. Akhirnya saya jual sebagian kecil, dan saya masih simpan saat ini dalam bentuk tunai di rekening. Sejalan dengan waktu, harga saham WIFI sudah mencapai 1.225 per lembar saham di awal bulan Februari 2025, naik sekitar 400% dari harga pembelian rata2 saya.
Tentunya sekelumit cerita ini masih belum usai, karena outlook saya dalam berinvestasi adalah jangka panjang. Investasi total saya di saham yang tadinya ‘hanya’ 4 milyar rupiah lebih, saat ini sudah melonjak menjadi puluhan milyar rupiah. Hal ini belum apa2 dibanding dengan Pak Lo Kheng Hong yang mungkin sudah trilyun rupiah portofolionya, begitu juga dengan anak2 muda seperti Andry Hakim yang dari modal 500 juta saat ini nilai sahamnya sudah ratusan milyar. Sebagai pendidik, saya beranikan diri untuk berbagi cerita ini terutama bagi ketiga anak saya, dan juga saudara2 saya lainnya. Mungkin belum banyak yang tertarik dengan berinvestasi, dan mudah2an cerita ini sedikit dapat membangkitkan semangat. Oh ya, disclaimer yah. Tulisan ini bukan merupakan ajakan beli saham tertentu dan sifatnya untuk tujuan edukatif semata. Sejalan dengan waktu, tentu saya akan update mengenai perkembangan selanjutnya dari perjalanan ini. Semoga ada manfaatnya.
Terima kasih sudah berkenan membaca.