imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Beberapa waktu terakhir, situasi di bisnis skincare (perawatan kulit) definisi sangat menarik perhatian. Termasuk bagi saya.

Bagaimana tidak, bisnis skincare sekarang ini membolak balik pandangan dan menyajikan pemandangan ajaib. Dulu bisnis skincare berfokus pada penelitian dan unsur medis, sekarang bisnis skincare berfokus pada flexing pemiliknya - sampai sampai disebut bahwa bisnis ini cuma jadi ladang cuci uang (money laundering) karena lebih kental flexing dibanding mutu produk. Dulu bisnis skincare cenderung bermodal besar besaran, sekarang bisnis skincare definisi “efisien” dengan maklon (white label), bahkan bisa efisien lagi dengan “impor dari Tiongkok”. Dulu bisnis skincare membuat pemiliknya menjalankan bisnisnya secara etik dan beradab, sekarang bisnis skincare membuat pemiliknya jadi gila dan rela menjatuhkan kompetitor sekeras kerasnya, bahkan rela bikin drama ribut ribut demi marketing dan mempertahankan diri (entah dari siapa dan apa?).

Misalnya keributan yang disebabkan oleh kehadiran influencer binti dokter binti pengusaha skincare, Dokter Detektif atau Doktif, yang bikin geger pemilik skincare lain dan bahkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Bahkan, gegara skincare juga, berhasil membawa salah satu pemilik skincare yang disebut money laundering ke meja hijau.

Ada apa sih ini?

Topik serupa soal skincare, pernah saya bahas juga di QR di 2 slide terakhir.

=======

Sejak beberapa tahun ini, bisnis skincare definisi beneran rame dibandingkan sebelumnya. Saya mendeteksi ini, terutama setelah pandemi dan jualan online di e-commerce jadi marak digunakan. Berbeda dengan sebelum sebelumnya, yang hanya menampilkan beberapa nama besar saja, yang berhasil menguasai media dan media sosial. Hal ini terjadi karena, tentu, kemudahan berbelanja online yang membuat pemain pemain skala kecil menengah bisa masuk dan bersaing dengan level yang sama dengan pemain besar. Selain itu, kebutuhan akan skincare yang harganya kompetitif (murah, maksudnya) mulai meningkat karena tantangan ekonomi yang terjadi setelah pandemi, diteambah dengan maraknya influencer beauty (kecantikan) yang muncul bersamaan di situasi tersebut.

Kemunculan dua hal bersamaan ini, membuat orang orang mulai menyadari skincare menjadi penting juga, sama seperti halnya kosmetik yang sehari hari mereka gunakan. Apalagi tren cantik natural (seakan akan) no make up membuat adanya dukungan lebih lanjut buat skincare, bahkan lebih besar porsi skincarenya dibandingkan kosmetiknya. Ini mengingat effort untuk cantik natural (dengan kosmetik) memang harus dibantu dengan kondisi kulit yang memadai untuk membuatnya kelihatan natural. Itulah alasan kenapa viral banyak curhatan para ciwi ciwi (cewek cewek alias perempuan) di media sosial yang bilang untuk jadi natural (seakan) no make up seperti yang dipengen para cowo cowo (lelaki) itu definisi mengeluarkan duit yang lebih besar lagi. Bukan hanya soal kosmetiknya, tapi skincarenya juga. Jadi, bagi cowo cowo, bantuin modal dong! Wkwkwkwkw ~

Motivasi memakai skincare jadi meningkat, ditambah dengan beberapa kali viral konten glow up (jadi lebih bersinar) mereka mereka yang (tanpa bermaksud bodyshaming) sebelumnya disebut “bulukan” atau ngga kelihatan bibit bibit cakepnya, kemudian jadi syedep bener cakepnya. Meski ada banyak faktor lain yang membuat mereka glow up, misalnya karena di masa lampau aktivitas mereka banyakan di luar (panas panasan) dan membuat mereka ngga mikirin soal ginian, faktor turunan dari orang tuanya yang punya bibit cakep hingga potensi operasi atau perawatan kulit di klinik yang nilainya mehong (alias mahal), namun skincare yang tepat juga dapat membantu bibit bibit cakepnya kelihatan.

Secara basic, skincare sendiri digolongkan dalam beberapa kebutuhan. Ada skincare yang berfokus memperbaiki kondisi kulit, ada yang berfokus membuat cerah (sudah ngga boleh sebut putih yes, dianggap ngga inklusif soalnya), ada yang berfokus menghilangkan jerawat, ada yang berfokus melindungi (sunscreen) dan ada yang berfokus pada anti penuaan (anti aging). Selain itu, skincare pun juga digolongkan berdasarkan jenis kelaminnya. Ada skincare yang berfokus di perempuan - yang jadi konsumen terbesar sehingga tidak perlu disebut for Woman/Women dan ada yang berfokus di lelaki - yang masih jadi peluang pertumbuhan kedepan, namun terhalang stigmatisasi lelaki tidak bercerita (eh) lelaki tidak merawat diri. Meski pemainnya tambah banyak, tapi produk yang mereka jual cenderung sama sama bermain di kategori kategori tadi. Hanya beda di masing-masing pemain ada kategori yang cenderung diunggulkan oleh mereka, sehingga dari sisi branding dan marketing akan difokuskan kesana.

Dengan popularitas skincare yang meningkat, tentu menjadi peluang bisnis yang menggiurkan, bukan? Ngga heran pemainnya tiap hari terus bertambah, dengan berbagai latar belakang pemiliknya. Termasuk, kalangan selebritas pun mulai banyak cicip sektor ini, seperti Nagita Slavina dan Luna Maya. Sementara, pemain pemain eksisting seperti Martha Tilaar (MBTO), Mustika Ratu (MRAT), Wardah grup, Unilever (UNVR) hingga Viva Cosmetics pun meningkatkan level kompetitif mereka, dengan mengandalkan keterkenalan nama mereka yang sudah lama terjadi. Tinggal tantangannya tentu mempertahankan relevansi merek mereka pada generasi generasi pengguna skincare, yang tentu (lagi lagi) didominasi anak muda.

Bukan hanya skincare as a product, namun klinik kecantikan pun juga meningkat popularitasnya, dan mereka punya skincare juga. Hal ini terjadi karena klinik kecantikan biasanya punya solusi yang customize (spesial) untuk kondisi kulit yang berbeda. Karena ada kondisi kondisi yang tidak bisa ditangani hanya dengan skincare yang dijual secara umum, yang punya formulasi mirip mirip - hanya beda persen kandungan dan tentu saja produsennya, terutama kalo maklon lokal atau dari Tiongkok. Misalnya jika isu kulitnya terjadi secara menahun, seperti jerawat dan breakout yang tidak ditangani serius sejak dini. Meski dari sisi permodalan, klinik kecantikan lebih butuh banyak duit dan lebih rumit karena perizinan, kebutuhan dokternya dsb, namun level persaingan di klinik kecantikan juga sama kerasnya. Begitupun drama keributannya. Seperti yang terjadi antara Doktif tadi dan Dr. Richard Lee, owner klinik Athena, yang sama sama punya klinik kecantikannya sendiri.

Sayangnya, pemain yang makin banyak tidak berarti kualitasnya meningkat juga. Selain karena banyak skincare “instan” berkat jasa maklon dan produk Tiongkok “dibranding produk lokal” - yang penting murah, fokus sebagian pemilik skincare yang malah menjual flexing harta mereka yang disebut berasal dari jualan produk ini, membuat apapun bisa mereka lakukan. Termasuk, rela menjual produk produk yang kurang berkualitas, bahkan berbahaya untuk kulit dengan kandungan produk yang sejak dulu dianggap obat keras dengan penggunaan terbatas, bahkan terlarang - misalnya Merkuri dan Hydroquinone.

Situasi ini tentu memprihatinkan, karena bukan hanya berdampak pada kesehatan, juga berdampak pada menguras kantong. Mengingat masih banyak produk skincare yang dijual itu antara menguras duit karena harga mahal - tapi kurang efektif, atau harganya murah - tapi tetap berpotensi kurang efektif, bahkan bisa jadi ada bahan berbahaya. Dalam situasi ini, kehadiran dan ketegasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjadi penting. Masalahnya, ada semacam distrust (ketidakpercayaan) sebagian masyarakat terhadap kinerja BPOM - terutama setelah peristiwa gagal ginjal karena obat sirup yang bikin nyess hati emak emak (yang juga pengguna skincare), yang membuat mereka merasa perlu rely on ( bergantung) pada orang orang yang dianggap “kredibel” dan akhirnya membuat populer orang orang seperti Doktif.

Meski dalam hal medis atau kedokteran, kita bisa dan wajib minta second opinion (pendapat lain), namun dalam hal informasi umum atau sesuatu yang seharusnya mengacu pada satu sumber seperti legalitas obat dan makanan, seharusnya ngga ada sumber informasi ganda seperti ini. Posisi BPOM harus lebih kuat dari influencer manapun, dan harusnya lebih tegas, karena merekalah yang mengeluarkan izin, bukan Doktif. Selain itu, posisi BPOM yang cenderung lebih netral karena mereka bukan sekaligus pelaku usaha, juga menjadi alasan lain. BPOM harus memenangkan kembali kepercayaan masyarakat, apalagi dengan tipikal masyarakat kita yang cenderung emosional dan tidak terlalu paham urusan medis beginian, memenangkan emosi lebih penting dari sekadar memenangkan regulasi semata.

Tanpa bermaksud meragukan kemampuan dan kapasitas Doktif maupun influencer serupa yang menyelidiki makanan maupun skincare, mereka mereka ini juga memiliki usaha sendiri - jadi influencer yang menyelidiki ginian pun juga hitungannya usaha dong. Posisi mereka yang dobel seperti ini rawan konflik kepentingan, demi menyukseskan usaha/kantong mereka sendiri dan dengan keterkenalan mereka yang luar biasa, mereka juga berpotensi menggiring opini publik untuk salah/memfitnah dan jika kepleset bisa menyebarkan hoax. Resikonya jadi tinggi dan mereka harus siap dengan konsekuensi, bukan hanya siap dengan pujian dan terima kasih.

Begitu ~

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi, serta Twitter/X @plbkinvestasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$MRAT $MBTO $UNVR

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy