Harga Minyak Global Anjlok, Pemerintah Diminta Siaga Hadapi Dampak ke APBN
Harga minyak mentah dunia turun drastis, ancam stabilitas APBN 2025. Simak dampak dan respons pemerintah dalam laporan eksklusif berikut.
JAKARTA, https://cutt.ly/ye42l9F8 – Pemerintah Indonesia diminta meningkatkan kewaspadaan menyusul penurunan signifikan harga minyak mentah dunia yang berpotensi menggoyahkan stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Pada Selasa (28/1/2025), harga minyak Brent tercatat turun 1,8% ke posisi 77,08 dolar AS per barel, sementara minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) anjlok 2% menjadi 73,17 dolar AS. Kondisi ini memicu kekhawatiran akan terganggunya realisasi penerimaan negara dan kenaikan risiko defisit anggaran.
Peringatan dari Pakar Ekonomi Indef
Kepala Center Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menegaskan bahwa fluktuasi harga minyak mentah global harus diwaspadai karena berdampak langsung pada dua komponen krusial APBN: penerimaan negara dari sektor migas dan alokasi subsidi energi.
“Penurunan harga minyak berimplikasi pada berkurangnya pendapatan negara, meski di sisi lain subsidi energi juga turut menyusut. Namun, ketergantungan Indonesia pada komoditas ini masih tinggi, sehingga pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipasi,” tegas Rizal dalam diskusi terbatas Indef, Rabu (29/1/2025).
Dampak Ganda pada APBN 2025
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, sektor migas menyumbang sekitar 5-7% penerimaan negara pada APBN 2025. Asumsi harga minyak dalam anggaran tahun ini dipatok 78 dolar AS per barel. Jika harga bertahan di bawah angka tersebut, realisasi pendapatan negara diprediksi meleset Rp8-10 triliun.
Di sisi lain, penurunan harga minyak berpotensi mengurangi beban subsidi energi yang dianggarkan mencapai Rp150 triliun pada 2025. Namun, Rizal mengingatkan bahwa keuntungan ini bisa terhapus jika nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah.
“Jika rupiah terdepresiasi, biaya impor BBM dan gas tetap tinggi meski harga minyak turun. Ini seperti paradoks yang harus diantisipasi,” tambahnya.
Faktor Eksternal yang Memperburuk Risiko
Selain volatilitas harga minyak, pemerintah juga diminta memantau dinamika nilai tukar rupiah dan ketegangan geopolitik global. Konflik di Timur Tengah dan ketidakstabilan pasokan energi Eropa disebutkan Rizal sebagai pemicu potensial kenaikan harga minyak mendadak.
“Harga minyak saat ini tidak sustain karena rentan gejolak geopolitik. Jika terjadi eskalasi konflik, kenaikan 10-15% dalam waktu singkat sangat mungkin terjadi,” ujar Rizal.
Langkah Antisipasi yang Diusulkan
Untuk meminimalkan risiko, Indef merekomendasikan tiga langkah strategis:
Memperkuat instrumen hedging (lindung nilai) untuk mengamankan penerimaan migas.
Mempercepat revisi mekanisme subsidi energi agar lebih tepat sasaran dan hemat anggaran.
Meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Respons Pemerintah
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Keuangan belum memberikan pernyataan resmi terkait penyesuaian APBN 2025. Namun, sumber internal mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mempelajari opsi revisi asumsi makroekonomi jika harga minyak bertahan di kisaran 75-77 dolar AS hingga akhir kuartal I/2025.
Penurunan harga minyak mentah global menjadi ujian berat bagi ketahanan fiskal Indonesia. Di tengah ketergantungan yang masih tinggi pada sektor migas, pemerintah dituntut untuk merancang strategi jangka pendek dan panjang guna menghindari defisit anggaran yang membahayakan stabilitas ekonomi nasional. Kewaspadaan terhadap dinamika global dan fleksibilitas kebijakan menjadi kunci utama menghadapi ketidakpastian ini.
https://cutt.ly/7e42l9Ik
$MEDC $SURE $ESSA