Standing in the Middle of Desert (½)
_________________________________
Head to Head $ULTJ vs $CMRY
Outlook Industry
Susu merupakan salah satu minuman yang umum dikonsumsi oleh setiap orang di segala usia guna memenuhi pelbagai nutrisi penting bagi tubuh. Susu sendiri dapat di sajikan dalam berbagai bentuk seperti Susu UHT, Susu Bubuk, Susu Segar, dan Susu Pasteurisasi.
Data dari Kemenperin menjabarkan bahwa pangsa pasar susu cair nasional sebesar 37.4%, susu kental manis 25.9%, susu bubuk 15.6% dan eskirm 12.6%. Dari pangsa Pasar 37.4% tersebut mewakili nilai IDR 23 Triliun dengan 68% pangsa pasar susu rasa, 4% Susu Putih Segar dan 27% susu UHT.
Market susu Indonesia tergolong rendah jika dibanding dengan regional. Tingkat konsumsi susu nasional hanya sekitar 16.9 Kg/kapita/tahun jauh dibawah negara lain seperti Filipina 17.8 Thailand 22.2, Myanmar 26.7 dan Malaysia 36.2. Rendahnya tingkat konsumsi nasional dipengaruhi oleh multi aspek mulai dari rendahnya produksi nasional, mahalnya harga susu, angka lactose intoleran yang tinggi, hingga kesenjangan ekonomi nasional.
Indsutri susu Nasional mengalami pelbagai hambatan di hulu. Per 2023 tercatat hanya terdapat sekitar 507.000 ekor sapi perah secara nasional yang jika di rata rata hanya terdapat 2-3 ekor sapi/peternak. Fakta ini diperparah dengan produktivitas sapi yang hanya di angka 9.5L/ekor/hari jauh dibanding standart global yang berada di sekitar angka 30L/ekor/hari. Hal ini membuat produksi Susu Segar Dalam Negeri (SSDN) stagnan dalam 6 tahun terakhir. Produksi nasional hanya berkutat di angka 950 ribu ton pertahun dan tidak pernah berhasil tembus 1juta ton. Industri SSDN pada 2023 hanya mampu memenuhi 18% kebutuhan nasional angka ini menurun jika dibandingkan pada tahun 2018 di angka 22%.
Kondisi ini membuat produsen pengolahan susu tak memiliki pilihan lain selain mengekspor dari luar negeri. Susu ekspor sendiri dikirim mayoritas dalam bentuk skim dengan harga yang lebih murah dibanding SSDN. hal ini disebabkan karena dibebaskannya bea masuk untuk susu dari Australia dan Selandia Baru sehingga harganya dapat lebih murah 1000-2000 per liter. Merespon hal ini, peternak lokal juga harus menurunkan harga jual mereka di sekitar 7000 per liter jauh dari harga keekonomian di 9000 per liter.
Dari segi konsumen juga terdapat hambatan yang tidak dapat dielakkan. Angka prevalensi laktosa di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Dengan anak usia 3-5 tahun yang mencapai 21%, usia 6-11 tahun pada 57% dan 12-14 tahun di 73%. Data ini mengindikasikan peningkatan angka yang menunjukkan pola seiring bertambahnya usia semakin tinggi pravelansi nya.
Angka yang tinggi ini diduga merupakan efek dari rendahya eksposur kalangan dewasa Indonesia pada susu. Budaya minum susu hanya sampai usia anak-anak membuat orang dewasa tidak terbiasa memproduksi enzim laktase secara optimal sehingga membuat hasil akhir angka pravelansi lactose intoleran yang tinggi.
Pemerintah menetapkan blueprint untuk tahun 2013-2025 yang bertujuan untuk mecapai kemadirian susu dengan target konsumso 30kg/kapita peningkatan produksi susu guna memenuhi 60% kebutuhan nasional dan penambahan populasi sapi menjadi 1.8 juta ekor dengan produktivitas 20L/ekor/hari.
Budaya minum susu belum mengakar di masyarakat Indonesia, hal ini disebabkan oleh pendapatan perkapita yang masih rendah sehingga masyarakat masih memfokuskan pada pemenuhan sandang, pangan, papan utama dibanding susu yang dianggap sebagai bahan makanan komplementer. Diharapkan dengan meningkatnya pendapatan perkapita dan peningkatan jumlah penduduk Indonesia akan membuat industri susu bertumbuh kedepanya. Dan diharapkan akan menimbulkan multiplier effect bagi industri mulai dari hulu hingga hilir.
Dari segala kerumitan dan kendala di Industri, terdapat dua survivor yang masih tetap konsisten untuk bertumbuh dan menolak untuk tumbang. Pada kesempatan selanjutnya akan kita kulik lebih dalam emiten ULTJ dan CMRY, yang mana kira-kira akan unggul dan mana yang akan menjadi tempat investasi yang baik…