imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Ini adalah cerita yang saya dengerin dari konten perbincangan di media sosial, lebih tepatnya dari Tiktok. Bahasanya kira kira gini…

“Jadi ada temen gue, punya klinik perawatan kulit. Dia kan tau kalo nak muda itu potensi besar ya sekarang ini dari sisi pasar, jadinya dia bikinlah klinik khusus buat kalangan nak muda, buat gen Z gitulah ya. Harganya dibikin sesuai buat kantong mereka, look kliniknya juga dibikin sesuai selera mereka.”

“Efektif ga?”

“Ngga tuh ternyata. Yang suka dateng ke sana lagi lagi tetep umur umur om tantenya (bisa diduga sekitar 35-50 tahun). Ternyata selain emang perawatan muka gitu biasanya jadi konsumsi om tante biar terkesan muda, ya emang nak muda belum berorientasi ke sana yes. Masih mikir nongkrong, jajan, liburan gitu ya…”

Ceritanya ini obrolan antara dua orang usia 40an dan obrolannya tentang awet muda dan #mengurusdiri.

Saat mendengar ini, saya kemudian melihat kembali bahwa sejak beberapa tahun ini fenomena marketing dan bisnis selalu berputar tentang anak muda. Mulai dari bagaimana memanjakan nak muda, menarik nak muda, menggunakan bahasa bahasa atau konten yang viral di kalangan mereka, termasuk overused (penggunaan berlebihan) istilah Gen Z - sampai judul sinetron dan program TV lainnya pun pakai kata Gen Z - selayaknya overused istilah millenial hingga ke level pemerintah. Semua difokuskan ke nak muda, seakan akan isi pasar konsumen isinya anak muda semua.

Sebenernya, bagaimana sih menyasar nak muda yang sebenernya? Ini adalah pendapat dan pengamatan saya, sebagai bagian kecil dari konsumen nak muda yang mereka sasar.

=======

Salah satu hal yang sering saya amati di media sosial adalah soal kuliner atau tempat makan minuman yang viral. Untuk membuktikan seberapa viralnya tempat tersebut, selalu ada adegan antri sampai makan waktu setengah jam atau satu jam. Bayangin, buat coba aja butuh waktu sendiri. Sementara pas makannya, paling juga ngga sampai 15 menit. Kemudian muncul perdebatan, tentang seberapa worth it (layak?) untuk nyobain selama itu?

Tentu bukan masalah viralnya yang penting. Tapi tentang anak anak muda itu yang rela antri cuma buat cobain makanan atau minuman viral, yang setelah dicoba pun ternyata belum tentu se-worth it Itu. Ini menjelaskan satu fenomena yang sudah dikenal sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Takut ketinggalan dan ini menjadi ciri khas anak anak muda, terutama yang kesehariannya berkaitan dengan media sosial. Tapi, secara nature anak anak muda biasanya cenderung berani mengambil resiko dan cenderung berani mencoba hal baru, sehingga viral ke viral seperti ini biasanya akan mereka ikuti terus menerus. Mereka haus akan hal baru, dan rela menyisihkan anggaran untuk itu.

Namun demikian, mereka bukan tipikal yang dicucuk hidungnya. Sebagian dari mereka cenderung kritis terhadap hal hal viral, sehingga mereka akan mempergunakan sumber daya yang tersedia untuk menilainya. Percakapan di media sosial, rekomendasi temen atau keluarga, review di media sosial dan Google Review/Google Maps menjadi sumber daya yang mereka gunakan. Mereka akan mempertimbangkan sumber daya ini untuk menentukan apakah hal viral itu worth it atau ngga. Mereka juga melihat detail, misalnya kalau di makanan minuman, mereka ingin melihat detail makanannya seperti apa, isinya apa hingga apa cerita di baliknya makanan ini.

Karena itu, bisnis atau produk benar benar harus memaintain dan memonitoring sumber daya tersebut, yang bisa dimanfaatkan sebagai analisis maupun evaluasi strategi, serta tindakan insidentil jika ada event atau viral yang memungkinkan mereka masuk. Mereka juga perlu memaintain untuk menjaga presensi mereka optimal dan tidak disesatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya ketika pernah ada viral spam edit nomor telepon banyak tempat di Google Maps/Google Review yang menyesatkan dan membuat penipuan. Nah, brand atau bisnis harus memantau ini sebagai bentuk verifikasi keaslian.

Yang lain, anak muda itu ngga semuanya membutuhkan hal baru yang 100% baru ada di tahun ini atau saat ini. Terkadang, hal hal jadul atau legendaris juga menjadi minat mereka. Mereka menaruh perhatian juga pada apa yang terjadi di masa lalu, dan membandingkannya dengan hari ini. Selain itu, dunia digital yang terkadang bikin capek, baik dari sisi fisik maupun mental, membuat ada dari anak muda ini cenderung mencari jalan untuk kembali ke era “analog”. Ini yang membuat, misalnya, ada tren anak anak muda ini berburu kamera film atau kamera jadul lainnya. Atau ada yang mengkoleksi barang barang jadul, dan memilih bergaya ala tren tren jadul.

Mereka pun juga ikut terpapar lagu lagu jaman dulu, yang biasanya diinfluence (dikenalin) sama orang tuanya atau keluarganya, dan akhirnya jadi suka. Hal ini, jika dimanfaatkan secara tepat, bisa membuat penyanyi jaman dulu bisa diidolakan anak muda jaman sekarang. Misalnya yang terjadi pada Kahitna. Meski kebanyakan lagu lagu hits mereka ada di era sebelum mereka lahir atau saat mereka masih kecil, namun melihat keriuhan penonton Kahitna di sejumlah event atau konser pasti cukup banyak anak mudanya. Mereka pintar memanfaatkan hal ini dengan menyesuaikan pendekatan dan style mereka agar bisa diterima. Hal ini juga didukung dengan influence dari Yovie Widianto, pentolan grup ini, yang juga menghasilkan banyak karya hits untuk penyanyi lain, termasuk lulusan Indonesia Idol, yang menyebabkan nama Kahitna secara tidak langsung terangkat berkat hubungan ini.

Pada level tertentu, lagu lagu jadul yang terkadang viral sebagai sound Tiktok juga membantu kembali popularitas lagunya maupun penyanyinya. Misalnya ketika pernah viral lagi lagu Tuty Wibowo, No Comment, karena sering diputar influencer Bunda Corla saat live di Tiktok. Jadilah anak anak muda ini penasaran dengan lagu lengkapnya beliau, termasuk lagu lagu Tuty Wibowo yang lainnya.

Disini brand atau bisnis, terutama buat mereka yang hadirnya sudah puluhan atau ratusan tahun dan dikenal luas, mereka perlu mengangkat kisah brand atau bisnis mereka dengan cara yang menarik dan membuat anak muda ini penasaran. Pendekatannya tidak selalu harus yang kekinian banget, apalagi sampai rebranding ganti logo yang bikin orang orang jadi lupa sama brandnya. Brand bisa menggunakan pendekatan yang lebih personal, seperti mendorong kisah mulut ke mulut dari level kakek-nenek, ibu-bapak atau om-tante tentang brandnya. Atau mengangkat posisi brand atau bisnis dalam aktivitas keluarga. Misalnya cerita yang mengangkat kehadiran kaleng dan biskuit Khong Guan, serta cerita tentang ibu dan anak, tanpa bapak di kalengnya (wkwkwk). Cerita cerita “perseteruan” misalnya antara pendiri Gaga vs pemilik Indomie, meski tidak relevan dalam persaingan kedua merek mie instan tersebut hari ini, namun juga menjadi contoh cerita brand yang menarik anak muda.

Soal ekonomi dan perduitan, anak muda ini perlu kita definisikan detail posisi mereka. Ada anak muda yang berusia remaja (12-18 tahun), dewasa muda (18-30 tahun) dan menuju dewasa (30-40 tahun). Pada rentang usia yang berbeda, kebutuhan dan kekuatan duit mereka pun juga berbeda. Cara pendekatannya pun juga berbeda dan ini perlu dipertajam. Hal ini bisa membantu mengatasi masalah seperti di awal, yang dikeluhkan saat membuat bisnis. Mana anak muda yang beneran disasar? Kemudian, apa yang bener bener mereka butuhkan? Apakah hanya tempat Instagrammable? Apakah hanya harga murah? Dari situ, kita baru bisa lihat, apakah mereka ini perlu tempat yang khusus memenuhi kebutuhan mereka, atau mereka cukup dengan tempat yang ada, tapi strategi branding, desainnya dibenerin hingga cara pelayanannya diperbaiki?

Yang bisa dipahami adalah, remaja dan dewasa muda tidak memiliki kekuatan duit yang lebih dibandingkan menuju dewasa. Hal ini karena mereka masih umur sekolah/kuliah dan baru merintis pekerjaan, sehingga gajinya belum besar besar banget. Pada usia yang lebih muda, aktualisasi diri seperti nongkrong, liburan, have fun hingga pendidikan (bisa jadi aktualisasi diri juga) menjadi prioritas utama, meski tentu ada yang memprioritaskan hal lain. Berbeda dengan menuju dewasa yang umumnya sudah atau akan berkeluarga, sehingga mulai berpikir jangka panjang, tidak melulu aktualisasi diri dan berpikir lebih konservatif.

Intinya, menyasar anak muda itu sebenernya sama aja seperti menyasar segmen yang lebih kecil dari mereka, atau yang lebih tua dari mereka. Pemahaman pasar, perilaku dan beda antar generasi menjadi penting. Bahkan meski mereka kemudian jadi tuapun, misalnya beda generasi tua dari kelahiran era milenial dengan generasi tua dari kelahiran era boomers akan tetap ada, kemudian fokus pada segmen atau pasar mana yang spesifik dituju. Ngga ada bedanya. Cuma sekarang kita kebantu media sosial untuk memotret mereka. Tapi yang lebih penting dari memahami ini semua adalah, bagaimana kita bisa menyajikan pengalaman, rasa dan keunikan, serta sesuatu yang nempel di tiap generasi.

Pada akhirnya, brand dan bisnis ngga bisa membatasi diri mereka hanya utama di segmen ini saja. Mereka bisa saja mendapat pelanggan dari generasi di luarnya, sehingga menurut saya menjadi penting untuk membuat sebuah pengalaman dan strategi yang universal, sambil mendorong pendalaman pasar di segmen yang dituju.

Seperti halnya perbankan, macam bank BCA, yang tetap relevan buat generasi muda di tengah persaingan antar bank yang memperebutkan generasi ini, meski dana nasabah mereka tentu masih lebih banyak dikontribusikan generasi tua. Pengalaman bagusnya dalam pelayanan dan luasnya pengaruh mereka (jaringan ATM, mesin gesek kartu/EDC hingga kehadiran di online merchant) ngga cuma dirasakan generasi tua, tapi generasi muda juga. Hal ini membuat mereka tetap mempertahankan rekening BCA sebagai pilihan utama, meski mereka punya rekening bank lainnya.

Begitu ~

Bacaan menarik soal saham, investasi dan bisnis lainnya, cek Instagram, TikTok dan Threads @plbk.investasi. Cek juga tulisan lainnya di s. id / plbkrinaliando.

$BBCA $MAPA $ICBP

Read more...

1/2

testes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy