imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Transisi Siklus

Pasar komoditas global sekarang lagi ada di masa transisi besar-besaran. Kalau dulu semua mata tertuju ke China dengan proyek infrastruktur dan urbanisasi gila-gilaan, sekarang cerita itu udah mulai selesai. Batu bara, misalnya, yang dulunya jadi raja pembangkit listrik di sana, sekarang malah numpuk di gudang. Harganya sekarang di $114,45 per ton, turun 0,82%. China memang lagi ngebut produksi sampai target 4,82 miliar ton di 2025, tapi permintaannya nggak sejalan. Curah hujan tinggi bikin pembangkit hidro lebih populer, dan itu bikin stok batu bara mereka naik 12% sampai Oktober 2024. Ini mirip sama gas alam Eropa, yang sekarang harganya €46,43 per megawatt-jam, turun 1,49%. Walaupun cuaca dingin bikin permintaan naik, stok gas cuma 65%—lebih rendah dari tahun lalu. Dan dengan Uni Eropa yang mau melarang impor LNG Rusia, situasinya makin nggak jelas. Gas dan batu bara ini jadi kayak saudara yang sama-sama tertekan karena dunia sekarang lebih milih energi hijau. Pak Toto bukan saudara mereka https://bit.ly/3YGX6Dc

Kalau ngomongin minyak, cerita minyak Brent nggak kalah menarik. Sekarang harganya di $81,27 per barel, turun 0,93%. Sanksi AS ke Rusia memang jadi salah satu penyebab, tapi ada drama lain. Banyak minyak ketahan di lepas pantai China karena aturan perdagangan yang belum beres. India dan China udah buru-buru beli dari Arab Saudi buat jaga-jaga, tapi pasar tetap nggak bergerak signifikan. Sama halnya dengan minyak sawit, yang sekarang di MYR 4.284 per ton, turun 1,79%. Ekspor Malaysia lagi lemah banget, turun sampai 23,7% di Januari dibanding Desember. India, yang biasanya jadi pembeli besar, malah ngurangin impor 41% karena minyak nabati lain lebih murah. Meski begitu, minyak sawit masih punya harapan dari kebijakan biodiesel seperti B40 di Indonesia dan peningkatan permintaan biodiesel di AS.

Sementara itu, baja yang dulu jadi simbol pertumbuhan China juga mulai kehilangan momentum. Produksi baja China sekarang di titik terendah empat tahun, dan konsumsi baja diperkirakan turun 2-3% tahun ini. Iron ore, bahan utama baja, juga nggak jauh beda. Harganya diprediksi turun ke $80 per ton pada 2025, jauh dari $140 per ton di awal 2024. Pabrik baja di China mulai pensiun, terutama yang polutif dan nggak efisien. Sekarang mereka fokus ke baja berkualitas tinggi yang emisinya lebih rendah. Tapi buat global, nggak ada yang bisa menggantikan permintaan baja sebesar China. India memang naik, tapi produksinya baru seperdelapan dari China.

Kalau bahan bangunan kayak kayu, justru ceritanya beda. Lumber sekarang harganya di $595,28 per seribu papan kaki, naik 1,49%. Lonjakan aplikasi hipotek di AS yang naik 33,3% bikin permintaan konstruksi tinggi, meskipun suku bunga masih di atas 7%. Tapi ada kendala juga. Tarif impor kayu dari Kanada yang 25% bikin pembeli AS harus stok lebih banyak. Produksi domestik? Jangan harap. Pabrik tutup, tenaga kerja kurang. Jadi wajar kalau harga naik terus. Pak Toto mau jualan kayu https://bit.ly/3C0UedC

Di sisi lain, emas tetap jadi bintang. Harganya sekarang di $2.715,24 per ons, naik 0,73%. Ekspektasi kalau The Fed bakal nurunin suku bunga bikin orang balik lirik emas. Apalagi data inflasi AS mulai melandai, jadi emas yang nggak kasih imbal hasil tetap menarik. Walaupun ada angin segar dari Timur Tengah setelah kesepakatan damai Israel-Hamas, emas tetap jadi pilihan di tengah ketidakpastian.

Nah, sekarang siklus baru mulai muncul. Kalau dulu super-cycle komoditas didorong oleh konstruksi besar-besaran di China, sekarang semuanya beralih ke energi hijau. Logam seperti tembaga, lithium, dan nikel jadi rebutan. Permintaan tembaga diperkirakan naik 50% sampai 2040, sementara lithium melonjak tujuh kali lipat. Perusahaan tambang besar kayak BHP dan Rio Tinto sekarang nggak lagi fokus ke iron ore, tapi ke logam untuk transisi energi. Tapi masalahnya, logam hijau ini nilainya nggak sebesar komoditas lama. Ditambah lagi, geopolitik makin rumit. Negara-negara Barat berlomba bikin rantai pasok sendiri supaya nggak tergantung sama China. AS bahkan mulai intervensi proyek tambang di Afrika buat amankan pasokan kritis. Dunia udah berubah, dan pemain di pasar komoditas harus siap adaptasi. Kalau nggak, ya tinggal jadi cerita lama.

Industri baja sekarang lagi masuk fase "seleksi alam," terutama setelah China menghadapi krisis besar di sektor propertinya. Dulu, waktu China lagi jor-joran bangun gedung, jalan, dan kota baru, semua pabrik baja—besar, kecil, sampai yang teknologinya udah uzur—ikut pesta. Permintaan baja saat itu luar biasa tinggi, didorong oleh sektor properti yang booming. Salah satu simbol utamanya ya Evergrande, raksasa properti yang borong baja untuk proyek-proyek mewah mereka. Tapi sekarang ceritanya beda. Produksi baja China anjlok ke level terendah dalam empat tahun pada 2024, dan permintaan baja diperkirakan turun lagi 2-3% tahun ini. Penyebab utamanya jelas: kolapsnya Evergrande bukan cuma bikin sektor properti lesu, tapi juga memukul rantai pasok bahan bangunan, termasuk baja.

Evergrande yang dulunya jadi motor pertumbuhan tiba-tiba tumbang karena lilitan utang yang nggak sanggup mereka bayar. Efeknya kayak domino—proyek-proyek properti banyak yang mandek atau bahkan dibatalkan total. Padahal, sektor properti ini dulunya nyumbang sekitar 25% GDP China. Begitu properti melambat, permintaan baja buat konstruksi ikut terjun bebas. Gedung-gedung yang dulunya jadi simbol pembangunan sekarang berubah jadi kerangka beton nggak selesai-selesai. Lebih parahnya lagi, banyak perusahaan properti lain di China ikut terguncang karena masalah utang yang sama, bikin situasi makin runyam.

Di tengah lesunya permintaan domestik, pabrik-pabrik baja China terpaksa mengandalkan ekspor besar-besaran untuk menjaga operasi tetap berjalan. Tahun 2024, ekspor baja China mencapai 111 juta ton, tertinggi dalam sembilan tahun. Tapi, ekspor ini sering dianggap sebagai dumping—menjual baja dengan harga di bawah biaya produksi atau harga domestik mereka. Strategi ini bikin pasar baja global banjir produk murah, yang dampaknya langsung terasa di negara-negara seperti Indonesia.

Baja murah dari China bikin pabrik baja lokal di Indonesia kesulitan bersaing. Biaya produksi di sini biasanya lebih tinggi karena skala produksi yang kecil, efisiensi yang belum optimal, dan ketergantungan pada bahan baku impor. Ketika baja China dijual murah, margin keuntungan pabrik lokal tergerus habis, bahkan beberapa terpaksa gulung tikar. Dalam jangka pendek, konsumen mungkin senang karena harga baja lebih terjangkau, tapi dalam jangka panjang, ini bisa bikin Indonesia kehilangan kemandirian industri baja.

Masalahnya bukan cuma ekonomi, tapi juga strategis. Baja itu tulang punggung pembangunan infrastruktur—dari jalan tol, jembatan, sampai gedung pencakar langit. Kalau pabrik baja lokal banyak yang tutup, Indonesia jadi tergantung pada impor. Ketergantungan ini berisiko besar, terutama kalau harga baja impor tiba-tiba melonjak atau pasokan terganggu.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sadar akan risiko ini. Untuk melindungi industri baja lokal, mereka sering memberlakukan tarif anti-dumping pada baja impor dari China. Tapi sayangnya, ini belum sepenuhnya efektif. Baja China sering masuk dengan trik, seperti lewat negara ketiga atau dikategorikan sebagai produk baja lain yang nggak kena tarif tambahan.

Menariknya, di tengah situasi ini, pabrik-pabrik baja yang bertahan justru bisa makin kuat. Biasanya, mereka adalah perusahaan yang punya teknologi modern, seperti electric arc furnace (EAF) yang hemat energi dan efisien. Mereka juga nggak cuma mengandalkan baja konstruksi seperti rebar, tapi mulai diversifikasi ke produk seperti flat steel untuk sektor otomotif dan elektronik, yang permintaannya lebih stabil. Selain itu, survivor ini biasanya punya keuangan sehat dan cadangan kas cukup untuk bertahan di masa sulit. Bahkan, mereka sering memanfaatkan krisis untuk beli aset murah dari pabrik yang bangkrut.

Intinya, dumping baja China memang bikin persaingan jadi lebih keras, tapi juga menciptakan peluang untuk perusahaan yang cerdas dan adaptif. Industri baja global sekarang lagi berubah, dan hanya pemain yang kuat, inovatif, dan punya strategi jangka panjang yang bakal tetap relevan. Untuk Indonesia, perlindungan terhadap industri lokal harus dibarengi dengan dorongan inovasi dan efisiensi, supaya kita nggak cuma jadi pasar, tapi juga produsen baja yang tangguh.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
(caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Dan jangan lupa kunjungi  Pintarsaham di sini  
https://bit.ly/3QtahWa

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
https://bit.ly/44osZSV
https://bit.ly/47hnUgG
https://bit.ly/47eBu4b
https://bit.ly/3LsxlQJ
$ADRO $AADI $KRAS

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy