Apakah Bakat Utamanya Adalah Bikin Ribet?
Ribuan ton kratom yang tertahan di kontainer menjadi potret nyata betapa regulasi pemerintah bisa sangat membingungkan dan kontradiktif. Sebanyak 57 kontainer berisi 1.525 ton kratom siap ekspor sejak Desember 2024 tidak kunjung diberangkatkan karena terganjal izin berlapis. Pengusaha hanya bisa pasrah, sambil menggerutu soal pengeluaran yang terus berjalan tanpa pemasukan. Ironisnya, di tengah krisis devisa yang dihadapi Indonesia, regulasi ini justru menghalangi masuknya potensi miliaran rupiah dari ekspor. Apakah pemerintah sengaja membuat pengusaha repot? Bukan ingin menuduh, tetapi ini seperti tindakan "auto dodol" bagi ekonomi.
Alasan pemerintah sebenarnya cukup jelas: kratom adalah komoditas kontroversial. Di satu sisi, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian melihatnya sebagai potensi devisa yang besar. Di sisi lain, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengkhawatirkan penyalahgunaan kratom sebagai bahan narkotika. Hasilnya, regulasi baru muncul dalam bentuk Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024, yang mengatur jenis, ukuran, hingga proses ekspor kratom. Regulasi ini, meskipun beralasan untuk menjamin keamanan dan standar produk, pada praktiknya malah menciptakan birokrasi berbelit yang membuat pengusaha frustrasi. Pemerintah perlu Upgrade otak https://bit.ly/3YGX6Dc
Dari sisi pengusaha, mereka melihat kebijakan ini tidak masuk akal. Ketua Pekrindo, Yosef, bahkan menyebut, "Negara krisis devisa, tapi malah bikin aturan yang menghambat devisa masuk." Proses ekspor kini memerlukan persetujuan ekspor (PE) dan laporan surveyor (LS), tetapi lembaga surveyor yang bertugas pun belum diputuskan hingga sekarang. Pengusaha akhirnya hanya bisa berharap Januari 2025 membawa perubahan, meski mereka sudah "makan tabungan" selama tiga bulan terakhir.
Ironinya, keputusan Presiden Jokowi pada September 2024 untuk melegalkan ekspor kratom ternyata tidak diikuti oleh implementasi yang cepat dan jelas. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan telah menetapkan standar ekspor melalui Permendag baru, tetapi tanpa mekanisme pelaksanaan yang efisien, kebijakan ini justru jadi beban. Apakah ini soal kontrol, atau ada kepentingan lain yang bermain? Pertanyaan ini mengemuka, tetapi tanpa jawaban yang meyakinkan. https://bit.ly/3YGX6Dc
Lebih dari sekadar masalah devisa, ini adalah soal konsistensi kebijakan. Jika pemerintah serius ingin mendukung ekspor dan pengusaha, proses seperti penunjukan surveyor harus dipercepat, dan aturan yang tumpang tindih harus disederhanakan. Tanpa langkah konkret, kebijakan ini hanya akan terlihat dodolitik—membuat ekonomi tersandung oleh aturan yang dibuat sendiri. Sebuah ironi yang sebenarnya bisa dihindari dengan sedikit logika dan keberpihakan pada kepentingan bersama.
Bayangin aja, ada ribuan ton kratom yang udah siap ekspor, pembelinya nunggu, pengusahanya udah kerja keras, eh malah mandek gara-gara izin ini-itu yang belum beres. Ibaratnya, kita lagi kehausan banget, ada air di depan mata, tapi nggak bisa minum gara-gara gelasnya masih dicari. Lucu banget, kan? Di tengah negara butuh devisa, malah devisa itu ditahan sama aturan yang kayak jebakan Batman.
Pengusaha cuma bisa gigit jari. Mereka bilang udah “makan tabungan” tiga bulan terakhir, karena regulasi ini bikin semua jadi ribet. Padahal presiden sendiri udah bilang, ekspor kratom legal. Tapi kenyataannya, aturan yang katanya mau bikin rapi malah bikin semua jalan di tempat. Surveyor buat ngecek kratom aja belum ditunjuk. Jadi ya, barangnya nunggu di kontainer, nggak ke mana-mana.
Susah buat nggak heran, sebenarnya apa sih yang dipikirin? Mau ekspor aja kok ribet banget. Kayak pemerintah senang banget ngelihat orang susah. Bukannya bantu mempermudah biar devisa masuk, ini malah kayak ngajarin pengusaha cara bertahan hidup di tengah aturan yang nggak jelas. Kalo memang ini niatnya buat ngatur, ya ngatur aja yang bener, jangan bikin orang pusing. Tapi kalo ujung-ujungnya cuma nunda-nunda tanpa solusi, ya orang-orang bakal mikir, ini pemerintah sebenarnya niat bantu, atau cuma sibuk mikirin hal yang nggak penting? Hanya sekedar bertanya.
Bicara soal ganja dan kratom, keduanya sering dibanding-bandingkan dari sisi bahaya dan manfaat, padahal latar belakang penelitian dan konteks penggunaannya berbeda. Ganja misalnya, menurut data National Institute on Drug Abuse (NIDA) di Amerika Serikat, bisa bikin sekitar 9 persen penggunanya mengalami kecanduan, dan angkanya bisa meningkat jadi 17 persen kalau yang memakai adalah remaja. Dari segi kesehatan mental, penggunaan ganja dalam dosis tinggi atau pada usia muda bisa meningkatkan risiko masalah seperti kecemasan, depresi, sampai skizofrenia. Meski begitu, banyak juga penelitian yang mengakui manfaat medisnya, seperti buat mengatasi nyeri kronis, mual akibat kemoterapi, dan membantu pasien epilepsi. Beberapa negara malah sudah lama “akrab” dengan ganja, contohnya Kanada yang sejak 2018 mengizinkan warganya memiliki sampai 30 gram dan menanam empat tanaman di rumah. Di Amerika Serikat, walaupun statusnya ilegal di level federal, beberapa negara bagian seperti Colorado dan California sudah memberi lampu hijau untuk rekreasi maupun medis. Lain cerita di Belanda yang meski tetap menganggap ganja ilegal, punya kebijakan toleransi di coffeeshops. Thailand pun mulai melonggarkan regulasinya untuk kepentingan medis sejak Juni 2022, meskipun kabarnya akan memperketat aturan dan melarang pemakaian rekreasional di akhir 2024. https://bit.ly/3YGX6Dc
Di sisi lain, kratom adalah tanaman yang mengandung senyawa mitragynine yang kerjanya mirip opioid. U.S. Food and Drug Administration (FDA) pernah melaporkan beberapa kasus kematian yang dikaitkan dengan kratom, walaupun seringnya ternyata ada campuran obat lain, sehingga sulit bilang kratom adalah penyebab tunggal. Dari kacamata tradisional, kratom sudah lama dipakai sebagai penghilang nyeri dan ada juga yang pakai buat bantu mereka berhenti dari opioid yang lebih kuat, tapi manfaat ini masih kontroversial secara medis. Badan Narkotika Nasional (BNN) Indonesia bahkan menyebut kratom bisa “10 kali lebih berbahaya daripada ganja atau kokain,” walaupun sampai saat ini bukti ilmiah yang benar-benar solid soal itu masih kurang. Hal yang jelas adalah potensi kecanduan dan gejala putus zatnya memang cukup berat, mirip opioid, sehingga memang perlu diteliti lebih lanjut. Dari sisi kasus overdosis, ganja hampir tak pernah dilaporkan jadi penyebab fatal, sementara kratom sudah ada laporan, meski umumnya terjadi kalau tercampur dengan zat lain.
Regulasi di Indonesia soal ekspor kratom saat ini juga bikin pusing, terutama buat pengusaha yang merasa siap jualan, tapi malah kebentur prosedur yang berbelit-belit. Sekilas, terbitnya Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 dari Kementerian Perdagangan terdengar seperti langkah positif agar ekspor kratom lebih terarah. Namun, praktiknya di lapangan masih terganjal masalah teknis, misalnya soal penunjukan surveyor atau perbedaan pandangan dengan Badan Narkotika Nasional yang masih ragu soal keamanan kratom. Ibaratnya, satu instansi mengatur ini, instansi lain mengatur itu, belum lagi Kementerian Pertanian yang ngurus standar produknya. Alhasil, aturan yang niatnya mau bikin “tertib” ekspor malah jadi berlapis-lapis dan bikin ribet, padahal devisa dari ekspor itu, kan, bisa menguntungkan negara juga.
Kalau bicara soal siapa yang bikin aturan ribet, biasanya jawabannya nggak cuma satu pihak. Dalam kasus ekspor kratom ini, aturan ribet muncul dari kombinasi berbagai instansi pemerintah yang nggak sinkron satu sama lain. Ada Kementerian Perdagangan yang bertanggung jawab soal tata niaga ekspor, lalu Kementerian Pertanian yang ngurus soal standar produk. Belum lagi Badan Narkotika Nasional (BNN), yang khawatir kratom bisa disalahgunakan. Jadi, masing-masing institusi punya "kepentingan" sendiri, dan hasilnya? Ya, aturan yang saling tumpang tindih. https://bit.ly/3YGX6Dc
Contohnya, Kementerian Perdagangan udah keluarkan Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 buat ngatur syarat dan standar ekspor kratom. Tapi ternyata, pelaksanaannya masih terganjal hal-hal teknis seperti penunjukan surveyor. Sementara itu, ada juga desakan dari pihak lain yang nggak sepenuhnya setuju kratom diekspor karena dianggap berpotensi bahaya. Jadinya, aturan yang niatnya mau rapi malah bikin proses jadi macet di tengah jalan.
Kalau ditanya siapa yang harus disalahkan? Mungkin bukan satu pihak aja. Tapi jelas, kurangnya koordinasi antarinstansi adalah penyebab utama. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing, tapi lupa bahwa yang paling dirugikan adalah pengusaha yang cuma pengen barangnya bisa dijual dan devisa bisa masuk ke negara. Kalau koordinasi ini nggak diperbaiki, ya aturan seperti ini bakal terus bikin ribet.
Yang lucu (atau mungkin ironis) adalah Presiden sudah memberi lampu hijau buat legalisasi ekspor kratom, tapi ternyata di bawahnya mekanisme belum disiapkan secara sinkron. Situasinya jadi seperti ajang latihan sabar bagi para pengusaha yang harus menunggu izin dan laporan surveyor yang belum jelas kapan rampung. Mungkin pemerintah punya strategi jangka panjang yang orang awam belum paham, atau mungkin sekadar kurang koordinasi antarinstansi—yang jelas, ribuan ton kratom menumpuk dan pelaku usaha cuma bisa gigit jari sambil menunggu “lampu hijau” beneran. Kalau ditanya siapa yang salah, jawabannya tentu bukan satu pihak saja, tapi kurangnya koordinasi ini harus diakui jadi biang keladi utama.
Pada akhirnya, kisah ganja dan kratom ini memperlihatkan bahwa pemerintah di berbagai negara punya pendekatan yang berbeda-beda, tergantung persepsi dan riset yang tersedia. Di Thailand, ganja jadi legal untuk medis, tapi kemudian mau diperketat lagi untuk rekreasi. Di Amerika Serikat, ganja masih ilegal federal tapi legal di beberapa negara bagian. Di Indonesia sendiri, wacana legalisasi ganja medis sempat menyeruak, sementara kratom masih jadi perdebatan panjang. Yang jelas, baik ganja maupun kratom punya risiko sekaligus potensi manfaat. Soal apakah kratom benar-benar lebih berbahaya daripada ganja sampai 10 kali lipat seperti klaim BNN atau tidak, rasanya kita masih perlu lebih banyak data ilmiah yang tegas. Yang pasti, semua pihak setuju bahwa edukasi, koordinasi, serta regulasi yang jelas dan mudah dipahami jauh lebih penting daripada terus memperpanjang debat yang tak ada ujungnya, apalagi sampai mengorbankan peluang ekonomi yang sebenarnya bisa digarap dengan bijak.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm
Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
$KLBF $PYFA $DVLA
1/3