imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Potensi CPO dan Pungutan Baru

Kebijakan baru soal kenaikan pungutan ekspor CPO menjadi 10% di tahun 2025 ini sebenarnya muncul di tengah dinamika industri sawit kita yang sedang berusaha beradaptasi dengan segala macam tekanan, baik dari sisi pasar global maupun kebijakan domestik. Kalau kita lihat perjalanan di tahun 2024, ekspor minyak sawit sempat mengalami penurunan nilai, misalnya pada November 2024 nilainya sekitar USD 2,09 miliar, turun dari USD 2,37 miliar di bulan sebelumnya. Volume ekspornya juga ikut turun dari 2,33 juta ton menjadi 1,91 juta ton. Tapi anehnya, harga referensi CPO global justru naik dari USD 1.015,75 per ton di Oktober 2024 menjadi USD 1.090,05 per ton di November 2024. Ini menunjukkan bahwa industri kita kadang dapat “angin segar” di satu sisi (harga naik), tapi di sisi lain justru kalah bersaing atau permintaan turun sehingga volume ekspor ikut menurun.

Sempat ada kebijakan penurunan tarif pungutan ekspor menjadi 7,5% sejak September 2024 (berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2024), yang sebenarnya diharapkan bisa bikin CPO Indonesia lebih kompetitif di pasar internasional. Dulu tarifnya mendekati 11%, jadi penurunan ini cukup signifikan untuk menurunkan biaya bagi eksportir. Nyatanya, perusahaan besar seperti $LSIP Astra Agro Lestari (AALI) dan Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART) mendapat ruang napas untuk meningkatkan margin mereka. Di tengah segala tantangan, dukungan dari kebijakan pungutan ekspor yang lebih rendah sebenarnya bermanfaat untuk menjaga daya saing. Namun, kebijakan ini akan berubah drastis di Januari 2025, karena pemerintah mau menaikkan tarif pungutan ekspor CPO jadi 10%. Alasan utamanya adalah buat mendukung program biodiesel B40, di mana dana pungutan ekspor itu dipakai untuk memberi insentif biodiesel lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Upgrade skill sawit https://bit.ly/3YGX6Dc

Kalau kita bandingkan, pungutan 7,5% yang berlaku tahun 2024 memang terbukti cukup membantu ekspor, tapi di sisi lain pemerintah butuh dana besar untuk lanjut ke tahap B40. Tahun 2024 aja, subsidi biodiesel konon sudah menembus Rp26,23 triliun, dan pasti butuh lebih banyak dana lagi pas implementasi B40 yang konsumsi CPO-nya lebih besar. Itulah kenapa naiknya pungutan ekspor dianggap solusi mengumpulkan pundi-pundi buat subsidi. Namun, kenaikan pungutan dari 7,5% ke 10% ini juga bukan tanpa risiko. Dengan harga referensi CPO global untuk Januari 2025 di kisaran USD 1.059,54 per ton—sedikit turun dari Desember yang USD 1.071,67—biaya tambahan sebesar 10% berarti eksportir harus membayar sekitar USD 105,95 per ton (dibanding sebelumnya sekitar USD 79,47 per ton). Imbasnya, daya saing produk kita bisa menurun, apalagi Malaysia terus menekan biaya produksi mereka. Jadi bisa dibilang, kebijakan ini sedikit “menggerus” margin eksportir dan mempersempit peluang mereka di pasar internasional.

Dari perspektif petani, terutama mereka yang tergabung di Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), kebijakan pungutan ekspor yang naik ini cukup bikin was-was. Soalnya, kalau beban pungutan ekspor meningkat, perusahaan sering memotong harga tandan buah segar (TBS) yang mereka beli dari petani. SPKS memprediksi bisa turun Rp300 sampai Rp500 per kilogram. Buat petani, angka itu lumayan besar, karena bakal berpengaruh ke kemampuan mereka beli pupuk dan merawat kebun. Kalau kebun nggak keurus, produktivitas turun, pasokan buat biodiesel pun bisa ikut terpengaruh. Selain itu, SPKS juga menyoroti soal penyaluran dana pungutan yang katanya 90% dipakai buat subsidi perusahaan biodiesel, sedangkan petani masih merasa dapat porsi kecil. Padahal, kalau mau menjaga kualitas suplai bahan baku, petani juga harus diberi insentif atau minimal dukungan supaya kebunnya tetap produktif.

Di sisi lain, pemerintah bersikukuh kebijakan ini penting buat jaga keberlanjutan biodiesel B40. Kalau program B40 bisa lancar, kita nggak bergantung terus sama impor bahan bakar fosil, dan ini sejalan dengan komitmen transisi energi menuju energi terbarukan. Perusahaan besar seperti $TBLA dan $SMAR juga diuntungkan kalau kebijakan B40 berjalan, karena konsumsi domestik CPO bakal meroket, sehingga mereka bisa kurang pusing soal pasar ekspor yang fluktuatif. Apalagi, sepanjang 2024, ekspor CPO sering goyang akibat tekanan pasar Eropa dan berbagai isu lingkungan. Kalau pasar domestik kuat, setidaknya ada jaminan permintaan yang stabil. Namun, tetap aja, kenaikan pungutan ekspor ini berisiko menurunkan daya saing global. Dan jangan lupa, isu lingkungan dari Uni Eropa belum selesai. Tekanan ESG (Environmental, Social, and Governance) tetap menjadi tantangan besar, sehingga mau tidak mau praktik perkebunan kita harus lebih berkelanjutan agar bisa menjaga reputasi di mata pembeli internasional.

Yang menarik, walaupun pemerintah sedang all-out mendorong biodiesel, fluktuasi harga CPO global akan tetap jadi penentu banyak hal. Di akhir 2024, harga CPO sempat naik ke kisaran USD 1.090,05 per ton, tapi di Januari 2025 malah sedikit turun ke USD 1.059,54. Nggak menutup kemungkinan ke depan harganya akan terus bergejolak, tergantung situasi permintaan, kondisi geopolitik, maupun kebijakan lingkungan dunia. Kalau kita bicara potensi, Indonesia masih di posisi kuat banget di pasar sawit, dengan perusahaan-perusahaan besar yang bisa menunjang kapasitas produksi. Tapi tekanan biaya produksi, seperti pupuk dan energi, bakal terus mengintai. Petani, sebagai ujung tombak, juga kudu diperhatikan kesejahteraannya. Kalau kita mau program B40 berhasil, jangan sampai petani malah terbebani, lalu produktivitas anjlok. Malah rugi sendiri, kan?

Karena itu, ke depan, kuncinya adalah gimana pemerintah bisa mengelola dana pungutan ini dengan transparan dan tetap menjembatani kepentingan petani serta industri besar. Kalau alokasi dananya adil, petani bisa dapat dukungan peremajaan kebun, peningkatan produktivitas, dan berbagai program kesejahteraan lain. Dengan begitu, ketika B40 berjalan, pasokan CPO nggak cuma stabil, tapi juga punya kualitas yang bagus. Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus meyakinkan pasar internasional bahwa kita serius memperbaiki tata kelola sawit, termasuk dengan sertifikasi ISPO. Soalnya, salah satu isu yang bikin pasar Eropa “rehat” dari sawit kita adalah soal keberlanjutan lingkungan. Upgrade skill ESG https://bit.ly/3YGX6Dc

Pada akhirnya, kebijakan pungutan ekspor 10% ini layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, ini akan membantu pendanaan biodiesel, sekaligus menekan ketergantungan pada pasar ekspor yang fluktuatif. Tapi di sisi lain, beban tambahan ini dikhawatirkan menurunkan daya saing, bahkan memukul petani kecil lewat penurunan harga TBS. Masa depan industri sawit Indonesia memang besar potensinya, terbukti dari nilai ekspor yang masih cukup tinggi dan program biodiesel yang ambisius. Tapi tentu segala langkah harus diimbangi dengan kepedulian terhadap petani dan upaya mempertahankan pasar luar negeri. Kalau pemerintah dan pelaku industri bisa menemukan keseimbangan yang pas antara menyejahterakan petani, menjaga daya saing global, dan mengembangkan energi terbarukan, maka kenaikan pungutan ekspor ini mungkin jadi keputusan strategis. Namun, kalau pengelolaan dana tidak transparan, petani diabaikan, dan ekspor semakin kesulitan, industri sawit kita berpotensi masuk ke situasi serba rumit. Jadi, mari kita berharap kebijakan ini diiringi eksekusi yang matang, sehingga industri sawit nasional benar-benar bisa melaju kencang dengan tetap menjaga keseimbangan berbagai kepentingan.

Petani protes karena khawatir beban pungutan ekspor CPO yang lebih tinggi akan bikin harga tandan buah segar (TBS) turun, sehingga pendapatan mereka berkurang dan biaya untuk perawatan kebun jadi terbatas. Sementara itu, pemerintah tetap ingin menaikkan pungutan karena butuh dana lebih besar untuk menjalankan program biodiesel B40 dan mendorong transisi energi ke bahan bakar terbarukan. Melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), pungutan ekspor yang lebih tinggi ini diharapkan bisa menutupi subsidi biodiesel yang terus meningkat. Jadi, meskipun petani merasa keberatan karena harganya bisa ditekan oleh perusahaan pembeli TBS, pemerintah menilai kebijakan ini penting untuk menjaga keberlanjutan program biodiesel dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345

Jangan lupa kunjungi Insight Pintar Nyangkut di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://cutt.ly/ne0pqmLm

Toko Kaos Pintar Nyangkut https://bit.ly/44osZSV

Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU

Read more...

1/3

testestes
2013-2025 Stockbit ·About·ContactHelp·House Rules·Terms·Privacy