imageProfile
Potential Junk
Potential Spam

Mantab om tulisannya.

Urun sumbang sedikit koreksi ya biar lebih tajam tesis analisisnya:

馃棬 4.1 - 5.8 sen / kWh yang disebut di artikel bukan biaya pembangunan, tapi biaya pokok produksi (BPP) atau harga jual listrik. Satuan biaya pembangunan (seharusnya: "biaya imvestasi") itu adalah dalam USD /Watt, bukan USD / kWh. Untuk nilai yang menggunakan satuan USD/kWh itu adalah antara biaya pokok produksi atau harga jual listrik. Yang mana komponennya tidak hanya biaya investasi saja, tapi juga termasuk O&M dan juga finance cost.

馃棬 lanjut lagi, harga murah PLTA sesuai di atas, biasanya adalah untuk PLTA skala kecil (mini hydro / micro hydro) yang tidak membutuhkan dam dan reservoir besar, serta energi primer (hidrologi) yang melimpah. Pada kenyataannya, sulit PLTA besar agak sulit menghasilkan tarif murah. Misal: PLTA batangtoru di sumatera kapasitas 510 MW yg saat ini sedang dibangun, harga jual listriknya adalah 12.8 sen /kWh. Memang ada beberapa PLTA besar yang tarifnya murah seperti PLTA Poso (7 sen /kwh) dan PLTA smelter inalum seperti PLTA asahan, PLTA tangga, dan PLTA sigura-gura. PLTA tersebut bisa murah karena menggunakan danau alam sebagai sumber airnya.

馃棬 saat ini untuk PLTS skala komersial di indonesia, harga jual listriknya tidak lagi di Rp. 4712 /kWh, tapi sudah cukup murah di Rp. 752 - 1080 /kWh (usd 4.7 - 6.8 sen /kWh).

馃棬 $ADRO juga memiliki proyek wind, yaitu PLTB tanah laut dengan harga jual listrik kurleb sama dengan PLTS di atas

馃棬 untuk PLTA hingga 9000MW, itu adalah berbeda dengan PLTA yang sedang dikembangkan ADRO. PLTA yang dikembangkan ADRO via PT Kayan Hydropower Nusantara adalah PLTA mentarang dengan kapasitas 1375MW. Sementara PLT Kayan dengan kapasitas total 9000MW adalah dikembangkan oleh PT Kayan Hydro Energi, bukan afiliasi dari ADRO

馃棬 PLTA mentarang bukan PLTA skala besar pertama di indonesia. Karena sudah ada PLTA skala besar yang sudah ada sebelumnya misalnya PLTA Cirata kapasitas 1008 MW (dibangun zaman soeharto), PLTA Cisokan 1040 MW (sedang konstruksi) dsb

Untuk pengimbang analisis biar tidak overhype, perlu juga ditambah juga analisis di sisi risiko. Kalau dari sudut pandang ane sbb:

馃挱 pembangunan PLTA membutuhkan waktu paling cepat 5 tahun. Karena kompleksitas social & enviro (relokasi ribuan penduduk, perusakan habitat endemik, dll), biasanya proyek PLTA besar selalu molor ke 7 - 10 tahun. Sehingga realistisnya, PLTA mentarang baru beroperasi di 2033 - 2035.

馃挱 Mengingat smelter aluminium sudah dibangun duluan, maka besar kemungkinan smelter akan beroperasi terlebih dahulu sekitar 7-10 tahun dengan menggunakan listrik non PLTA.

馃挱 Target awal produksi smelter $ADMR adalah 500.000 ton setahun. Ini butuh listrik sekitar 7GWH setahun (atau 1140 MW , CF 70%).

馃挱 saat ini, daya mampu pembangkit sistem kalimantan timur adalah sekitar 546 MW, artinya jauh lebih kecil daripada kebutuhan smelter. Sehingga untuk operasional smelter dibutuhkan either sewa pembangkit mobile interim atau dengan skema lain.

馃挱 either way, harga listriknya pasti mahal. Padahal komponen biaya produksi aluminium adalah 40% di energi listrik. Jika dipaksakan produksi dengan mekanisme ini, risikonya adalah harga aluminiumnya menjadi tidak kompetitif.

馃挱 apa upaya ADRO menutup stop gap penyediaan listrik dari semenjak smelter selesai (estimasi 2025) hingga PLTA mentarang selesai dibangun (estimasi 2035)? Ini yang perlu diperjelas karena risiko cukup tinggi. secara ada beberapa case seperti ini sebelumnya. yaitu smelter sudah dibangun, tapi listrik murah & sustainable belum ada, sehingga terpaksa harus idle dulu smelternya selama beberapa tahun

Read more...
2013-2025 Stockbit 路AboutContactHelpHouse RulesTermsPrivacy