The Fed Cut Rate yang Ketiga di 2024
The Federal Reserve kembali menurunkan suku bunga acuannya sebesar 0,25 persen pada hari Rabu, menjadi 4,25 persen. Ini merupakan pemangkasan ketiga tahun ini, setelah sebelumnya melakukan penurunan 0,5 persen pada September dan 0,25 persen bulan lalu. Namun, yang membuat pasar terguncang adalah keputusan Fed untuk memperlambat laju pemotongan suku bunga di tahun depan. Para pembuat kebijakan kini memperkirakan hanya akan ada dua pemangkasan suku bunga pada 2025, dibandingkan proyeksi sebelumnya sebanyak empat kali. Kecewa Pak Toto, gagal upgrade skill https://bit.ly/3YGX6Dc
Pasar saham langsung bereaksi negatif terhadap pengumuman ini. Dow Jones Industrial Average anjlok lebih dari 1.100 poin, atau sekitar 2,5 persen, sementara Nasdaq terpuruk hingga 3,5 persen—hari terburuk bagi pasar saham dalam empat bulan terakhir. Investor khawatir suku bunga yang tetap tinggi akan memperlambat ekspansi bisnis dan meningkatkan biaya pinjaman, mulai dari hipotek hingga kartu kredit.
Jerome Powell, Ketua The Fed, menjelaskan bahwa perlambatan ini mencerminkan inflasi yang masih tinggi, yang tercatat 2,8 persen pada Oktober untuk inflasi inti (core inflation). Angka ini masih jauh di atas target 2 persen. Powell menambahkan, kebijakan ini juga dipengaruhi oleh posisi suku bunga saat ini yang mendekati tingkat "netral," yaitu tingkat suku bunga yang tidak mendorong atau menghambat pertumbuhan ekonomi. Yang penting sih dividen harus tetap gede https://bit.ly/3OZWjZR
Sementara itu, proyeksi inflasi untuk 2025 diperkirakan hanya akan turun sedikit menjadi 2,5 persen dari angka sekarang di 2,3 persen. Powell menyebutkan bahwa langkah hati-hati ini serupa dengan "mengemudi di malam berkabut"—artinya, lebih baik melambat daripada mengambil risiko besar. Namun, nada kebijakan ini dinilai cukup "hawkish" oleh ekonom seperti Blerina Uruci dari T. Rowe Price, yang menyoroti adanya perbedaan pendapat di internal The Fed, dengan empat anggota mendukung suku bunga tetap tinggi.
Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang masih kuat juga menjadi dilema bagi The Fed. Di satu sisi, ekonomi AS terus tumbuh dengan laju yang solid, namun pasar tenaga kerja mulai melambat, dengan tingkat pengangguran naik menjadi 4,2 persen, meski masih rendah secara historis. Powell menyatakan bahwa tidak diperlukan perlambatan tambahan di pasar tenaga kerja untuk menurunkan inflasi ke target. Dividen tetap yang utama https://bit.ly/3OZWjZR
Investor juga cemas terhadap kebijakan presiden terpilih Donald Trump yang bisa berdampak pada inflasi dan ekonomi. Pemotongan pajak yang diusulkan Trump berpotensi meningkatkan pertumbuhan, sementara ancaman tarif impor dan deportasi massal dapat memperburuk inflasi. Proyeksi ini menambah ketidakpastian arah kebijakan The Fed.
Pada akhirnya, langkah The Fed ini mencerminkan kehati-hatian dalam menyeimbangkan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengendalikan inflasi yang tetap tinggi. Namun, dengan pasar yang bereaksi keras dan prospek kebijakan yang lebih ketat, tahun depan mungkin akan penuh tantangan bagi investor dan dunia usaha.
The Fed Rate
Desember 2023: 5,25%–5,50%.
Desember 2024: 4,25%–4,50%.
Penurunan sebesar 18,6% sepanjang tahun, mencerminkan upaya The Fed untuk menyesuaikan diri dengan inflasi yang masih tinggi.
BI Rate
Tetap stabil sepanjang tahun di level 6,00%, menunjukkan fokus Bank Indonesia pada stabilitas moneter di tengah pelemahan rupiah.
USD/IDR (Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS)
Desember 2023: Rp15.451 per USD.
Desember 2024: Rp16.120 per USD.
Rupiah melemah sebesar 4,33%, dipengaruhi oleh penguatan dolar AS dan arus keluar modal dari negara berkembang. The Fed sudah cut rate pun, dollar tetap lebih strong dari rupiah yang hold rate. Selemah itu kah rupiah. https://bit.ly/3OZWjZR
IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan)
Desember 2023: 7.119,52.
Desember 2024: 7.200.
Mengalami kenaikan moderat sebesar 1,13%, mencerminkan stabilitas relatif di pasar saham domestik.
Nasdaq Composite Index
Desember 2023: 11.146,06.
Desember 2024: 12.300.
Tumbuh sebesar 10,35%, menunjukkan pemulihan signifikan di sektor teknologi dan optimisme investor.
Inflasi AS
Inflasi inti di AS tercatat 2,8% pada Oktober 2024, jauh di atas target 2%, sehingga memengaruhi keputusan The Fed untuk lebih hati-hati dalam pemangkasan suku bunga.
Reaksi Pasar Global Saat The Fed Umumkan Cut Rate 18 Desember 2024
Dow Jones Industrial Average turun lebih dari 1.100 poin (2,5%) setelah pengumuman pemangkasan The Fed terakhir.
Nasdaq turun 3,5% pada hari yang sama, mencatatkan hari terburuk dalam empat bulan terakhir.
Kebijakan Moneter dan Risiko
The Fed memperkirakan hanya akan ada dua pemangkasan suku bunga di 2025, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya (empat kali).
Kebijakan ekonomi AS, termasuk pemotongan pajak dan potensi tarif impor, menjadi risiko tambahan terhadap inflasi global.
Keputusan Federal Reserve (The Fed) menurunkan suku bunga acuannya untuk ketiga kali pada 2024 ternyata memberikan dampak yang cukup terasa di pasar saham global, termasuk Indonesia dan Nasdaq. Penurunan sebesar 0,25 persen menjadi 4,25 persen diharapkan bisa meredam tekanan ekonomi, tetapi respons pasar menunjukkan cerita berbeda. Pasar saham Indonesia dan nilai tukar rupiah ikut merasakan tekanan, sementara Nasdaq menunjukkan volatilitas tinggi.
Di Indonesia, IHSG hanya mampu naik tipis sebesar 1,13 persen sepanjang tahun, dari 7.119,52 pada Desember 2023 menjadi 7.200 pada Desember 2024. Kenaikan ini terbilang minim, terutama jika dibandingkan dengan Nasdaq yang tumbuh lebih agresif sebesar 10,35 persen dari 11.146,06 menjadi 12.300 poin. Pasar saham Indonesia tertekan oleh sentimen global, terutama kekhawatiran terhadap laju pemulihan ekonomi dan lambatnya aliran modal asing. Saham-saham berbasis komoditas, yang biasanya menjadi andalan, mengalami tekanan karena ketidakpastian permintaan global. Di sisi lain, saham Indonesia yang naik hanya saham geng 9 naga. Saham cacing tidak ada yang naik.
Sementara itu, rupiah melemah sebesar 4,33 persen sepanjang tahun, dari Rp15.451 per USD pada Desember 2023 menjadi Rp16.120 per USD di Desember 2024. Pelemahan ini tidak lepas dari penguatan dolar AS yang didorong oleh suku bunga tinggi The Fed. Kondisi ini membuat investor asing menarik modal dari pasar Indonesia untuk dialihkan ke aset berbasis dolar yang dianggap lebih aman. Bank Indonesia tetap mempertahankan BI Rate di level 6,00 persen sepanjang tahun, tetapi langkah ini belum cukup untuk menahan tekanan eksternal. Dampaknya, biaya impor meningkat, yang berisiko menekan perusahaan berbasis konsumsi dan manufaktur di Indonesia. https://bit.ly/3OZWjZR
Di Nasdaq, situasinya sedikit berbeda. Indeks teknologi ini mencatat pertumbuhan 10,35 persen sepanjang tahun, meskipun sempat mengalami hari-hari terburuk seperti pada penurunan 3,5 persen setelah pengumuman kebijakan The Fed terbaru. Kinerja Nasdaq menunjukkan pemulihan yang kuat, didorong oleh optimisme investor terhadap sektor teknologi yang terus berkembang meskipun ada ketidakpastian global. Saham-saham teknologi besar menjadi motor penggerak indeks, sementara pasar lainnya lebih berhati-hati menghadapi inflasi yang masih tinggi.
Kebijakan moneter The Fed memberikan tekanan signifikan pada pasar saham Indonesia dan nilai tukar rupiah, sementara Nasdaq tetap menunjukkan ketahanan yang lebih baik. Investor global masih cenderung fokus pada aset berbasis dolar, meninggalkan pasar negara berkembang seperti Indonesia untuk sementara waktu. Tahun depan akan menjadi tantangan besar, terutama untuk menjaga stabilitas di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Untuk diskusi lebih lanjut bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138
(caranya cek gambar terakhir)
Link Panduan https://stockbit.com/post/13223345
Dan jangan lupa kunjungi Pintarsaham di sini
https://bit.ly/3QtahWa
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
https://bit.ly/44osZSV
https://bit.ly/47hnUgG
https://bit.ly/47eBu4b
https://bit.ly/3LsxlQJ
$USDIDR $IHSG $BTPS
1/3