Teknik Valuasi Saham
Valuasi adalah proses untuk menentukan nilai intrinsik suatu perusahaan atau saham berdasarkan indikator finansialnya. Ada banyak teknik valuasi. Tapi yang sering dipakai Pak Toto untuk jualan bakso itu tidak banyak. https://bit.ly/3XemeAx
馃敟PBV (Price to Book Value)
Rumus PBV = Harga Saham / Nilai Buku per Saham.
Kegunaan PBV untuk menunjukkan seberapa besar harga saham dibandingkan dengan nilai buku perusahaan (aset bersih).
馃幆Interpretasi
PBV < 1 : Saham undervalued (harga lebih rendah dari nilai buku).
PBV > 1: Saham overvalued (harga lebih tinggi dari nilai buku).
Kelonggaran, biasanya dianggap baik jika PBV < 1,5, namun bergantung pada sektor.
馃敟PER (Price to Earnings Ratio)
Rumus PER = Harga Saham / Laba Bersih per Saham (EPS).
Kegunaan PER untuk mengukur seberapa besar harga saham dibandingkan dengan laba per sahamnya. https://bit.ly/3XemeAx
馃幆Interpretasi
PER rendah < 15 : Saham undervalued atau pertumbuhan laba rendah.
PER tinggi > 15 : Saham overvalued atau ekspektasi pertumbuhan laba tinggi.
Idealnya PER antara 0-15 dianggap menarik, tetapi bervariasi tergantung sektor.
馃敟PFCF (Price to Free Cash Flow)
Rumus PFCF = Harga Saham / Arus Kas Bebas per Saham.
Kegunaan PFCF untuk mengukur harga saham terhadap arus kas bebas yang dihasilkan perusahaan.
馃幆Interpretasi
PFCF rendah <10 : Saham undervalued atau arus kas yang stabil dan sehat.
PFCF tinggi >10 : Saham overvalued atau arus kas rendah.
Idealnya PFCF rendah menunjukkan efisiensi perusahaan dalam menghasilkan arus kas bebas. https://bit.ly/3XemeAx
馃敟EV/EBITDA (Enterprise Value to EBITDA)
Rumus EV/EBITDA = (Kapitalisasi Pasar + Utang - Kas) / EBITDA.
Kegunaan EV/EBITDA untuk menilai perusahaan tanpa memperhatikan struktur modal (utang atau ekuitas). Munger dan Buffett biasanya menyebut ini sebagai valuasi bulldodol.
馃幆Interpretasi
EV/EBITDA rendah <10: Saham undervalued.
EV/EBITDA tinggi >10: Saham overvalued atau ekspektasi pertumbuhan tinggi.
馃敟EV/EBIT (Enterprise Value to EBIT)
Rumus: EV/EBIT = (Kapitalisasi Pasar + Utang - Kas) / EBIT.
Kegunaan mirip dengan EV/EBITDA tetapi memperhitungkan depresiasi dan amortisasi.
馃幆Interpretasi
EV/EBIT rendah: Saham undervalued.
EV/EBIT tinggi: Saham overvalued.
Ideal: Nilai < 10 sering dianggap menarik.
馃敟Cara Menggunakan
PBV cocok untuk sektor dengan aset besar (misal: perbankan).
PER relevan untuk sektor dengan laba yang stabil.
PFCF lebih akurat untuk perusahaan yang fokus pada arus kas.
EV/EBITDA dan EV/EBIT berguna untuk membandingkan perusahaan lintas sektor karena memperhitungkan struktur modal dan kinerja operasional.
Penggunaan rasio valuasi harus disesuaikan dengan konteks sektor industri dan kondisi pasar.
EV/EBITDA sering disebut sebagai rasio valuasi favorit investor karena sederhana dan dianggap mampu menunjukkan efisiensi operasional perusahaan tanpa terpengaruh oleh struktur modal atau beban pajak. Tapi, banyak analis menyebutnya "valuasi bullshit" karena beberapa kelemahan yang cukup signifikan. Pertama, EV/EBITDA ini mengabaikan belanja modal (CapEx), padahal belanja modal itu penting untuk mempertahankan atau mengembangkan bisnis. Misalnya, perusahaan tambang atau manufaktur dengan CapEx besar bisa terlihat murah berdasarkan rasio ini, padahal sebenarnya profitabilitasnya kecil setelah investasi besar-besaran.
Selain itu, EV/EBITDA nggak memperhitungkan beban pajak dan bunga. EBITDA (Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization) hanyalah metrik mentah yang nggak menunjukkan keuntungan bersih yang benar-benar masuk ke kantong pemegang saham. Jadinya, perusahaan dengan utang besar atau pajak tinggi bisa terlihat lebih menarik daripada kenyataannya. Apalagi, EBITDA sendiri rentan manipulasi. Misalnya, manajemen bisa mengategorikan beberapa biaya sebagai "non-operasional" atau "sekali waktu", bikin angka EBITDA tampak lebih kinclong. https://bit.ly/3YGX6Dc
Yang lebih parah, EV/EBITDA ini juga mengabaikan depresiasi dan amortisasi, padahal itu adalah biaya nyata, terutama buat perusahaan yang berbasis aset berat seperti pabrik atau tambang. Misalnya, perusahaan tambang yang terus menghabiskan aset tambangnya pelan-pelan, depresiasi itu penting karena merepresentasikan pengurangan nilai tersebut. Dengan mengabaikan depresiasi, perusahaan ini bisa terlihat jauh lebih sehat daripada yang sebenarnya.
Banyak orang pakai EV/EBITDA untuk membandingkan perusahaan lintas sektor, yang sebenarnya nggak cocok. Sektor yang intensif modal, seperti utilitas atau energi, nggak bisa dibandingkan begitu saja dengan sektor teknologi atau jasa. Karakteristik industri yang sangat berbeda bikin rasio ini sering misleading.
Jadi, meskipun EV/EBITDA itu berguna buat perbandingan dalam satu sektor, jangan jadikan satu-satunya acuan. Pas dipakai bareng metrik lain seperti PER, PFCF, atau bahkan EV/EBIT, hasilnya bakal jauh lebih relevan. Dalam valuasi, nggak ada formula tunggal yang sakti. Konteks dan analisis mendalam tetap jadi kunci. https://bit.ly/3YGX6Dc
Kalau bicara mana yang lebih akurat, jawabannya tergantung pada konteks perusahaan, industrinya, dan apa yang mau kita analisis. Tiap rasio valuasi punya kelebihan dan kelemahan, jadi memilih yang paling akurat berarti harus menyesuaikan dengan situasi tertentu.
1. PER (Price to Earnings Ratio)
PER cocok buat perusahaan dengan laba stabil dan sedikit item luar biasa (extraordinary items). Kalau kamu mau melihat seberapa mahal harga saham dibandingkan laba bersih, PER bisa diandalkan. Tapi hati-hati, PER bisa menyesatkan kalau labanya fluktuatif atau ada banyak biaya non-recurring.
2. PBV (Price to Book Value)
PBV akurat buat perusahaan yang berbasis aset, seperti perbankan atau properti. Rasio ini memberi gambaran apakah harga saham terlalu mahal dibandingkan aset bersih. Tapi untuk sektor teknologi atau jasa yang punya intangible assets besar, PBV sering nggak relevan.
3. PFCF (Price to Free Cash Flow)
Kalau fokus kamu arus kas bebas (free cash flow), PFCF adalah metrik paling akurat. Ini menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan uang tunai nyata, yang sering lebih penting daripada laba akuntansi. Cocok untuk perusahaan yang cash flow-nya stabil seperti utilitas atau ritel besar.
4. EV/EBITDA (Enterprise Value to EBITDA)
EV/EBITDA bagus untuk membandingkan efisiensi operasional perusahaan lintas sektor, terutama yang punya struktur modal berbeda (utang vs ekuitas). Tapi ingat, ini sering "bullshit" kalau nggak memperhitungkan CapEx dan beban keuangan.
5. EV/EBIT (Enterprise Value to EBIT)
EV/EBIT lebih akurat untuk perusahaan yang memiliki belanja modal besar atau depresiasi signifikan. Rasio ini memperhitungkan depresiasi, jadi lebih realistis untuk sektor dengan aset tetap besar seperti tambang atau manufaktur.
Kalau diringkas:
Untuk perusahaan berbasis aset = PBV lebih akurat.
Untuk sektor yang fokus laba = PER bisa diandalkan, tapi jangan lupa cek stabilitas laba.
Untuk cash flow = PFCF adalah yang terbaik, terutama untuk perusahaan dengan arus kas stabil.
Untuk lintas sektor = EV/EBITDA sering digunakan, tapi hati-hati dengan CapEx besar.
Untuk sektor intensif aset = EV/EBIT lebih cocok karena memperhitungkan depresiasi.
Jadi, nggak ada rasio yang "paling akurat" untuk semua situasi. Kombinasi beberapa rasio, disesuaikan dengan karakteristik perusahaan dan industrinya, adalah cara terbaik untuk mendapatkan gambaran valuasi yang benar-benar solid. https://bit.ly/3YGX6Dc
Pada akhirnya semua valuasi investor ritel itu kalah sama valuasi bandar.
Untuk diskusi lebih lanjut tentang saham bisa lewat External Community Pintar Nyangkut di Telegram dengan mendaftarkan diri ke External Community menggunakan kode: A38138 (caranya bisa cek di link).
https://stockbit.com/post/12823473
Dan jangan lupa kunjungi聽 Pintarsaham di sini 聽
https://bit.ly/3QtahWa
Sedangkan untuk rekomendasi belajar saham bisa cek di sini https://bit.ly/3YGX6Dc
Disclaimer: http://bit.ly/3RznNpU
https://bit.ly/44osZSV
https://bit.ly/47hnUgG
https://bit.ly/47eBu4b
https://bit.ly/3LsxlQJ
$ADRO $AADI $BBRI
1/3